Kelima, terdapat pernikahan-warisan, di mana anak lelaki menerima warisan dari ayahnya dengan menikahi ibu kandungnya sendiri setelah kematian ayahnya.
Keenam, terdapat pernikahan-paceklik, di mana suami meminta istrinya untuk menikah lagi dengan orang kaya demi mendapatkan uang dan makanan. Pernikahan ini dilakukan karena tekanan kemiskinan, dan setelah perempuan tersebut menjadi kaya, dia akan kembali kepada suaminya.
Ketujuh, terdapat pernikahan-tukar guling, di mana suami dan istri saling menukar pasangan. Praktik-praktik pernikahan Arab sebelum Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafa al-Rashidin.
Alasan Islam Memperbolehkan Poligami
Kalau poligami adalah "sunah Nabi"; mengapa Nabi Muhammad Saw. (Rasulullah) melarang Ali Ibn Abi Thalib memadu Fatimah? Sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Timidzi, dan Abu Daud pun merekam peristiwa tersebut. Ketika Fatimah akan dipoligami oleh Ali Ibn Abi Thalib, Rasulullah langsung ke masjid, dan berkata:
"Sesungguhnya Bani Hisyam Ibn al-Mughirah telah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali Ibn Abi Thalib, tidak aku izinkan, kecuali Ali Ibn Abi Thalib menceraikan anakku, maka dia bisa menikahi putri mereka. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menggangu perasaannya mengganguku juga dan apa yang menyakitinya menyakitiku juga."
Filsuf sekaligus ulama Muhammad Abduh (1849-1905), menyatakan poligami diperbolehkan karena waktu itu keadaannya sangat memaksa. Pertama, jumlah pria yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita karena meninggal dalam peperangan. Maka, untuk memperbanyak keturunan yang beragama Islam para pria boleh menikahi wanita lebih dari satu.
Maka, dengan poligami, wanita yang dinikahi pria Islam diharapkan masuk Islam dan mempengaruhi sanak keluarganya. Ketiga, dengan berpoligami terjalinlah ikatan pernikahan antar suku yang membentuk tali persaudaraan untuk mencegah peperangan.
Dalam Fi Syi'r al-Jahili, Thaha Husayn mengatakan kalau Al-Quran adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyah (pra-Islam). Menurutnya, perempuan kala itu dalam kondisi termarginalkan dan menyedihkan. Oleh karena itu, QS. al-Nisa (4): 3 harus dilihat sebagai ayat yang belum tuntas.
Menurut Thaha Husain, Al-Quran merupakan produk sejarah yang tak bisa lepas dari konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat Arab jahiliyah saat itu. Untuk menurunkan ajaran etik, moral, maupun hukum, Al-Qur'an membutuhkan waktu dan proses. Thaha Husain mengambil contoh larangan umat Islam meminum khamar , yang membutuhkan waktu hingga tiga kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H