Setelah selesai merevitalisasi 46 halte di tahun 2022, TransJakarta kembali merevitalisasi 10 halte di tahun ini. Apakah revitalisasi kali 10 halte TransJakarta berikutnya menjadi lebih inklusif?
Pada tahun 2022, PT TransJakarta telah melakukan revitaliasi 46 halte. Dari empat puluh enam halte tersebut, PT TransJakarta juga revitalisasi empat halte ikonik, yaitu halte Sarinah, Bundaran HI, Tosari, dan Dukuh Atas. Halte Bundaran HI dan Tosari sendiri pernah menuai kritik di masa pembangunannya.
Melansir Antara, seorang asitek pada bidang urban, pelestarian cagar budaya, dan sejarah, Bambang Eryudhawan menilai pembangunan halte Bundaran HI, menggangu kenyamanan peradaban kota.
"Coba contoh lihat di Tokyo, atau di mana, bikin halte ya bikin halte. Sudah. Enggak usah aneh-aneh. Apalagi yang dibela selfie-selfie-nya. Aduh, masya Allah. Kayak enggak tahu tempat saja," kata Bambang, dikutip dari BBC News Indonesia.
Kemudian, Serajawan, JJ Rizal, melalui akun Twitternya pernah meminta Gubernur DKI Jakarta--waktu itu--Anies Baswedan untuk menghentkan pembangunan halte kembar (halte Bundaran HI dan Tosari) dan bertingkat dua yang berbentuk seperti kapal pesiar.
Menurutnya, selain merusak pemandangan, menilai pembangunan halte ini mengkapitalisaasi kawasan berserajah warisan Presiden Soekarno yang mencakup Monumen Selamat Datang.
Pembangunan yang Mementingkan Keindahan dan Tidak Inklusif untuk Masyarakat
Selain kecewa dengan pembangunan yang bernilai komersial, saya kecewa dengan fungsi dua halte kembar yang berbentuk kapal pesiar tersebut. Untuk apa membangun halte menjadi dua lantai, kalau ujung-ujung kita masih menyebrang di jalan raya. Mengapa tidak lewat Jembatan Penyebrangan Orang (JPO)?
Belum lagi bangunan lantai dua di halte Tosari masih terkena tampias hujan. Jadi, untuk apa pembangunan yang menghabiskan milliar rupiah, selain hanya mempercantik bangunan saja. Saya tidak bisa membayangkan bagiamana kalau seorang lansia atau ibu hamil terjatuh karena lantainya licin.
Lalu pembangunan halte Dukuh Atas 1 dan Dukuh Atas 2 juga turut selesai, serta Jembatan Penyebrang Orang (JPO) yang telah ditutup dari tahun 2019 kembali bisa digunakan. JPO yang memiliki luas kurang lebih 300 meter itu memiliki tampilan baru yang lebih modern, namun tidak memilik nilai fungsi yang lebih baik.
Selain dijadikan JPO, jembatan ini juga dijadikan jalan untuk transit dari halte Dukuh Atas 1 ke halte Dukuh Atas 2 atau sebaliknya. Namun yang jadi masalah adalah jembatan ini terkesan yang penting jadi. Jembatan ini harus dibagi menjadi sangat sempit karena harus dibagi dua dengan JPO yang bukan khusus penumpang TransJakarta.
Dari gambaran di atas, kalian bisa membayangkan bagaimana orang tunanetra berjalan di tempat seperti ini. Belum lagi tidak adanya eskalator atau lift prioritas di halte Dukuh Atas 2 yang membuat para lansia dan para tuna daksa--terutama yang memakai kursi roda--merasa keberatan dengan hal ini.
Lebih Baik Fokus ke Toilet dan Persediaan Air di Toilet pada Malam Hari
Pada 31 Mei hingga 3 Juni tahun 2023, PT TransJakarta kembali melakukan revitalisasi pada 10 halte, yaitu: halte Bundaran Senayan, halte Karet, halte Petamburan, halte Jembartan Baru, halte Cawang Uki, halte Pulomas, halte Pasar Rumput, halte Pancoran Barat, halte Grogol, dan Halte Grogol.
Saya sendiri heran dengan PT TransJakarta, melakukan revitalisasi hanya menambahkan kemacetan saja. Mungkin itu dapat diwajarkan kalau setelah halte-halte yang direvitalisasi mempunyai fungsi yang jauh lebih baik, bukan hanya lebih kelihatan lebih enak dipandang saja.
Salah satunya Halte Pramuka BPKB. Setelah dilakukan revitalisasi, halte ini tidak juga tidak mempunyai toilet. Saya berpikir, daripada melakukan revitalisasi, mengapa PT TransJakarta tidak fokus dengan pembangunan toilet, serta penyediaan air.
Waktu itu, saya naik TransJakarta 13E dari Halimun. Di halte Halimun saya belum merasakan tidak enak badan, namun ketika sampai di underpass Mampang saya merasa pusing dan ingin muntah.
Karena tak kuat, akhirnya saya turun di halte Tendean. Namun, di halte tersebut tidak ada kamar mandi. Saya harus tap-out terlebih dahulu untuk muntah. Baru kemudian saya masuk lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Di lain waktu. Sehabis pulang dari pasar Santa, saya menuju halte Rawa Barat sekaligus ingin membuang air kecil sana. Namun, ketika sampai di halte tersebut, ternyata persediaan air sudah habis kalau sudah malam hari.
Dan akhirnya saya harus menunggu bus sambil menahan kencing sampai halte CSW.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H