Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Sultan Agung

Insya Allah menjadi orang yang berguna bagi semua teman dan keluarga. Pemimpi yang ambisius untuk meraih mimpi yang jauh disana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terima Kasih Pandemi

27 Juni 2021   08:21 Diperbarui: 27 Juni 2021   11:36 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Muhammad Ridwan

Lantunan melodi jangkrik menghiasi malam yang sendu dengan merdunya. Katak pun tak mau kalah ingin meramaikan suasana malam tersebut. Bintang dan bulan menari dengan gembira di langit malam yang bersih tanpa awan. Bulan bersinar penuh energi, menerangi jalan sepi dan pohon-pohon tinggi. 

Ku duduk di depan kost sambil menikmati malam dan secangkir kopi. Menatap lampu jalan yang berkedip-kedip, sambil mengenang kebersamaan itu. Aku sendirian disini, tanpa orang yang kucinta dan sayangi, berjuang meninba ilmu demi masa depanku. Demi mereka yang  selalu memberiku semangat dan nasihat.

Aku Abas Nugrianto, mahasiswa di Universitas Negeri Semarang. Aku anak pertama dan punya satu saudari yang masih duduk di bangku SMP. Aku berasal dari keluarga sederhana yang berkecukupan. Ayahku bekerja sebagai seorang karyawan pabrik di Jakarta. Ibuku bekerja mengurus rumah dan usaha kecil di kampung dibantu adikku.

Aku dan ayahku sama-sama jauh dari rumah. Hal ini terpaksa kami lakukan karena tuntutan keadaan. Rindu untuk bertemu terkadang tak bisa terbendung. Namun sedikit terobati dengan panggilan video dan juga telepon. Tapi panggilan video tidak mampu mengobati rindu di dalam hati ini. 

Rindu akan tawa, senyum dan gurauan saat berkumpul bersama di rumah kecil kami yang sederhana. Aku bisa pulang dua bulan sekali untuk melepas rindu dengan ibu dan juga adikku. 

Namun ayahku tidak bisa seperti itu, jatah liburnya sedikit sekali. Ia hanya bisa pulang ke Blora setiap hari raya Idul Fitri, itu pun juga ayah hanya bisa di rumah selama 10 hari saja. 

Sedih rasanya tidak bisa merasakan pelukannya yang hangat dan tawanya lebih lama. Tapi semua itu ayah lakukan supaya dapur tetap mengepul dan berkecukupan.

Pada suatu malam ketika itu aku tiba-tiba terbangun dan muncul perasaan rindu yang teramat sangat kepada kedua orang tuaku. Aku pun ingin menelpon tapi ini masih jam 3 pagi . 

Mereka pasti sedang beristirahat dari letihnya mencari nafkah. Aku pun memutuskan untuk salat tahajud saja untuk melepas rinduku kepada kedua orang tuaku. 

Alhamdulillah setelah berdzikir dan berdoa hatiku menjadi lebih tenang. Tak lupa aku berdoa agar bisa bertemu dengan ayah lebih lama dan sesegera mungkin.

Hari ini tanggal 9 Januari 2020, tepat dimana hari pertama masuk semester 6 di kampusku. Aku berangkat dengan berjalan kaki seperti biasa. Nah saat itu aku sedang melintas di sebuah warung depan kampus dan mendengar berita tentang virus berbahaya  yang menjagkiti warga Wuhan di Cina. 

Sangat sedih dan kasihan mendengar berita ini. Apalagi dikatakan bahwa virus ini sangat cepat penyebarannya, para ilmuwan juga mengatakan bahwa virus ini bisa menyebar ke seluruh dunia. Mengetahui hal itu aku jadi takut dan berharap bahwa virus ini tidak sampai di Indonesia.

Sebulan berlalu, ternyata harapanku tidak menjadi nyata. Virus itu telah masuk ke Indonesia. Pemerintah waspada, berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menekan penyebarannya. Seluruh masyarakat Indonesia diminta waspada dan patuh akan kebijakan pemerintah. 

Kegiatan pendidikan dirumahkan untuk sementara termasuk juga kegiatan perkuliahan. Dari waktu ke waktu penyebaran virus ini semakin meluas, sehingga berbagai daerah menjadi zona berbahaya.

Aku pun segera pulang ke kampungku di Blora, aku merasa tidak aman di kota besar seperti Semarang, khawatir terjangkit virus ini. Akan tetapi  aku lebih khawatir lagi dengan ayah yang berada di kota Jakarta, kota yang termasuk rawan dan zona merah. 

Beberapa kali kuminta ayah untuk pulang akan tetapi pabrik tempat ayah bekerja masih belum meliburkan kegiatan industrinya. Aku pun berpesan agar ayah selalu berhati-hati dan mematuhi protokol kesehatan.

Beberapa minggu kemudian akhirnya seluruh karyawan perusahaan ayahku di rumahkan untuk sementara waktu. Alhamdulillah tidak ada pemecatan massal seperti yang sedang ramai diberitakan. 

Untuk pulang ke Blora juga bukan perkara mudah, semua harus melalui proses yang panjang. Ayah harus mendapatkan surat bebas korona, mendapatkan izin dari kepala daerah, dan belum lagi harus karantina mandiri selama 14 hari.

Aku, adik dan ibuku hanya bisa melihatnya dari jauh saat turun dari bus. Ayah dan beberapa teman se daerah di karantina di balai desa Arasi. Semua fasilitas sudah dipersiapkan oleh instansi pemerintah. Kami harus bersabar menunggu 2 minggu untuk bisa memeluk ayah setelah sekian lama.

                                        *****

"Bagaimana kang keadaan di Jakarta waktu sampeyan masih disana?"tanya Pak Khuya sambil menyeruput segelas kopi. Saat itu sedang ada ronda malam sehabis salat tarawih. Ayah juga sudah menyelesaikan karantinanya dua hari sebelum bulan puasa.

"Ngeri kang disana, virus nya juga nggak keliatan jadi bikin waspada. Mau ngapa-ngapain harus hati-hati. Bahkan kalo ada orang yang pingsan di jalan itu nggak ada yang berani deketin, semua takut kalo itu kena korona"jawab ayahku

"Wah ngeri juga ya, tapi kalo lihat berita lebih ngeri di Cina sana, saya sampai merinding denger berintanya"

"Betul Pak Ali. Di Indonesia aja korona ini sudah merusak tatanan negara, berbagai sektor kena dampak, ekonomi, pendidikan, politik, industri, teknologi dan masih banyak lagi. Rakyat kecil jadi menderita karena banyak PHK dan pendapatan jadi berkurang"jelas pak Rona.

"Memang sulit sekali keadaan saat ini, tapi kita harus bersyukur dengan adanya virus ini pak"ucap ayahku. Sontak semua menoleh kaget ke ayahku dan tampak bingung

"Loh, apanya yang disyukuri pak? Keadaannya aja sulit begini" tanya Pak Anton heran.

"Nah begini bapak-bapak semua, walaupun virus ini memberikan dampak yang buruk, tapi tentu saja ada hal positif yang bisa kita ambil dari virus ini. Seperti contohnya adanya virus ini kita jadi ingat akan kematian sehingga lebih banyak beribadah, semua orang sekarang menjadi peduli dan perhatian dengan kesehatan juga kebersihan, selain itu orang-orang sekarang diminta untuk tetap tinggal di rumah sehingga punya banyak waktu berkumpul dengan anggota keluarga mereka, virus ini juga membuat kita menjadi pribadi yang peduli dengan tetangga dan kerabat yang sedang kesulitan. Nah itu beberapa hal yang bisa menjadi contoh dampak positifnya. Jadi musibah itu juga harus kita liat dari sudut pandang positifnya juga. Begitu bapak-bapak.."ucap ayahku panjang lebar dan jelas.

"Oh iya ya kang Budi, baru sadar saya kalo ada dampak positifnya juga hehe"sahut pak Ali diikuti anggukan yang lain. Aku juga ikut mengangguk menyimak obrolan bapak-bapak itu.

"Ya semoga virus ini segera usai lah ya, jadi bisa beraktivitas seperti biasa lagi"sahut pak RT.

"Aamiin" jawab semua bersamaan.

Sekitar pukul 11 semua memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka semua harus bangun pagi untuk sahur dan salat subuh di masjid. Aku juga ikut pulang. Namun sesampainya di rumah aku belum bisa tidur, masih mengingat-ingat ucapan ayah tadi di pos ronda. Semua yang ayah ucapkan itu benar sekali, berdasarkan kenyataan yang terjadi pada keluarga ini. 

Tahun ini adalah pertama kalinya ayah sahur dan berbuka di hari pertama Ramadhan bersama dengan keluarga lengkap. Tentu saja sejak ayah di Jakarta, beliau tidak pernah bisa mendapatkan kesempatan untuk ini. 

Jadi aku bersyukur sekali. Selain itu ayah juga belum tahu kapan untuk kembali ke Jakarta lagi, mengetahui keadaan yang tak menentu ini. Aku gembira mengetahuinya, akhirnya aku bisa merasakan bulan Ramadhan penuh dengan anggota keluarga yang lengkap. Kehangatan dan kebahagiaan masih terasa di rumah sederhana ini.

Terima kasih korona !!! Telah membuat keluarga kami berkumpul. Tapi satu pesanku "Jangan lama-lama di bumi ini, pergilah saat aku merasa kebahagiaan ini sudah cukup"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun