Mohon tunggu...
Muhammad Rich
Muhammad Rich Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Bebas, Assistant Vice President

Penulis Bebas dalam Bidang Manajemen Stratejik, Keuangan dan sedang menyelesaikan program pendidikan Doktor pada Bidang Ilmu Manajemen (Stratejik)

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kepemimpinan Strategi: Menciptakan Learning dan Ethical Organization

28 Mei 2024   16:21 Diperbarui: 28 Mei 2024   16:26 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
strategic leadership - higheredjobs.com 

Memahami Definisi Kepemimpinan Stratejik

Kepemimpinan strategis didefinisikan sebagai aktivitas kepemimpinan pada tingkat yang lebih tinggi dalam suatu perusahaan (Mistarihi, 2021). Selanjutnya (Norzailan et al., 2016) menegaskan bahwa kepemimpinan strategis memerlukan pola pikir yang berbeda dibandingkan dengan kepemimpinan operasional, yang mengandalkan keterampilan teknis dan biasanya terikat oleh prosedur tertentu. Definisi ini menekankan bahwa kepemimpinan strategis melibatkan kemampuan merencanakan strategi jangka panjang, menerapkan keterampilan berpikir integratif, dan memiliki kompetensi khusus yang diperlukan untuk menjadi pemimpin strategis yang efektif. Selanjutnya (Dess et al., 2007)mendifinisikan kepemimpinan stratejik bahwa :

"Strategic leadership involves the ability of the CEO and top managers to convey a compelling vision of what they want the organization to achieve to their subordinates and to get employees to carry out their tasks with enthusiasm and commitment. Strategic leaders must be able to deal effectively with diverse groups of people, including employees, customers, shareholders, and other stakeholders. In addition, strategic leaders must be able to make difficult decisions quickly and to adapt to changing circumstances."

Jadi, strategic leadership dalam konteks ini melibatkan kemampuan CEO dan manajer puncak untuk menyampaikan visi yang memikat tentang apa yang mereka ingin organisasi capai kepada bawahan mereka dan untuk mendapatkan karyawan menjalankan tugas-tugas mereka dengan antusiasme dan komitmen. Pemimpin strategis harus mampu berurusan secara efektif dengan berbagai kelompok orang, termasuk karyawan, pelanggan, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, pemimpin strategis harus mampu membuat keputusan sulit dengan cepat dan menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan.

Teori Menciptakan Organisasi Pembelajaran dan Organisasi Etis dalam Konteks Kepemimpinan Stratejik

Dalam buku "Strategy Safari" karya Henry Mintzberg, Bruce Ahlstrand, dan Joseph Lampel, konsep "organisasi pembelajaran" dan "organisasi etis" merupakan dua pendekatan strategis yang berkaitan erat dengan beberapa aliran strategi. Meskipun kedua konsep ini berkaitan dengan beberapa sekolah strategis lainnya, namun paling relevan dengan Sekolah Budaya dan Sekolah Lingkungan Hidup. Pemahaman mendalam tentang hubungan ini dapat membantu organisasi dalam menerapkan strategi yang efektif dan berkelanjutan.

Konsep Organisasi Pembelajaran paling erat kaitannya dengan cultural school dan learning school dalam perspektif strategi. Cultural school menekankan pentingnya budaya organisasi dalam membentuk strategi. Strategi dianggap sebagai proses kolektif yang timbul dari norma, nilai, keyakinan, dan budaya organisasi. Relevansi konsep ini dengan organisasi pembelajar terlihat dari bagaimana budaya yang mendukung pembelajaran, inovasi, dan kolaborasi dapat mempercepat proses pembelajaran dan adaptasi dalam suatu perusahaan. Organisasi yang mempunyai budaya yang mendorong berbagi pengetahuan dan pembelajaran berkelanjutan akan lebih mungkin menjadi organisasi pembelajar yang efektif.

Lebih lanjut, learning school mendukung anggapan bahwa strategi adalah proses pembelajaran yang berkelanjutan. Menurut pendekatan ini, organisasi harus terus belajar dan menyesuaikan strategi mereka berdasarkan pengalaman dan informasi baru. Hakikat learning school ada pada perusahaan pembelajar, karena mereka mengutamakan adaptasi dan pembelajaran sebagai kunci keberhasilan jangka panjang. Organisasi jenis ini menganggap proses pembelajaran dari lingkungan dan pengalaman internal sebagai langkah penting dalam pengembangan strategi berkelanjutan.

Organisasi etis erat kaitannya dengan cultural school dan environmental school. Mirip dengan konsep organisasi pembelajaran, cultural school juga memainkan peran penting dalam membentuk organisasi yang beretika. Pendekatan menekankan pentingnya norma dan nilai dalam strategi organisasi. Organisasi yang beretika seringkali memiliki budaya organisasi yang kuat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Nilai-nilai ini, seperti integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial, tertanam kuat dalam budaya organisasi dan memandu pengambilan keputusan serta perilaku sehari-hari.

Sedangkan environmental school menekankan bahwa strategi harus disesuaikan dengan lingkungan eksternal dan faktor eksternal yang mempengaruhi organisasi. Pendekatan ini mencakup adaptasi terhadap tekanan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan. Organisasi yang etis sering kali mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dari keputusan mereka. Mereka bertujuan untuk bertindak secara etis dalam menanggapi tuntutan dan harapan lingkungan eksternal, termasuk pemangku kepentingan dan masyarakat luas.

Peter M. Senge (1990) dalam bukunya yang berjudul "The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization", mendefinisikan organisasi kepemimpinan sebagai suatu entitas yang didedikasikan untuk pembelajaran berkelanjutan dan pengembangan kepemimpinan di semua tingkat bisnis. Menurut Senge, konsep kepemimpinan dalam konteks ini tidak terbatas pada peran individu yang berada di puncak hierarki, namun tersebar di seluruh organisasi, sehingga menciptakan budaya di mana setiap anggota berperan aktif dalam proses pembelajaran dan inovasi. .

Senge kemudian menekankan bahwa di bawah kepemimpinan organisasi, seluruh anggota organisasi didorong untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, yang memperkuat tanggung jawab dan keterlibatan kolektif. Kepemimpinan dianggap sebagai suatu proses kolektif di mana setiap individu diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif dan memberikan kontribusi terhadap tujuan bersama. Hal ini dicapai melalui pembelajaran dan refleksi yang berkelanjutan, dimana organisasi secara sistematis memeriksa pengalaman, mengidentifikasi kesalahan, dan mencari cara untuk memperbaikinya.

Dalam konsep ini, kepemimpinan bukan hanya sekedar mengarahkan atau mengendalikan, namun tentang memberdayakan orang lain untuk mencapai potensi maksimalnya. Senge menyarankan bahwa organisasi harus menciptakan lingkungan yang mendukung dimana pembelajaran dianggap sebagai bagian intrinsik dari pekerjaan sehari-hari. Hal ini mencakup penyediaan akses terhadap sumber daya pendidikan, menciptakan peluang untuk pengembangan profesional, dan menumbuhkan budaya keterbukaan di mana ide-ide baru dapat diungkapkan dan diuji.

Melalui pendekatan ini, kepemimpinan organisasi menjadi lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan. Dengan mendorong partisipasi dan inovasi di seluruh tingkat organisasi, mereka dapat beradaptasi lebih cepat terhadap tantangan dan peluang baru. Hasilnya adalah sebuah organisasi yang tidak hanya lebih efektif dalam mencapai tujuan jangka pendek, namun juga lebih siap untuk mencapai kesuksesan jangka panjang melalui pembelajaran dan pengembangan yang berkelanjutan.

Memahami dan menerapkan konsep kepemimpinan etis dapat memberikan dampak pada kehidupan berorganisasi seperti pada perilaku organisasi pada level warga negara. Kepemimpinan etis mempunyai pengaruh langsung dan positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB) atau perilaku organisasi kewarganegaraan (Nemr & liu, 2021). Dengan kata lain, perilaku kepemimpinan etis berkontribusi langsung terhadap peningkatan perilaku kewarganegaraan organisasi di kalangan karyawan. Praktik kepemimpinan yang etis dapat mendorong karyawan untuk menunjukkan perilaku positif yang melebihi tuntutan pekerjaan mereka secara formal.

Kepemimpinan etis juga berdampak pada kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang afektif. Dampak kepemimpinan etis terhadap kepuasan kerja dan keterlibatan emosional anggota organisasi dapat dijelaskan melalui teori keterikatan. Kepemimpinan etis mampu menghasilkan kepuasan kerja dan meningkatkan keterlibatan emosional melalui ikatan interpersonal yang kuat antara pemimpin dan anggota organisasi. Dalam konteks organisasi nirlaba, yang senantiasa menghadapi berbagai tantangan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, pemimpin yang beretika berfungsi sebagai landasan yang aman bagi anggota organisasi, memberikan rasa aman dan mengurangi kecemasan terkait pekerjaan. Keamanan ini tidak hanya berhubungan negatif dengan kepuasan kerja tetapi juga memperkuat keterikatan emosional anggota terhadap organisasi. Dengan bekerja dalam konteks etika, individu merasakan rasa bangga terhadap aktivitas mereka, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan kerja dan keterlibatan emosional dengan organisasi (Benevene et al., 2018)

Begitupun juga di era digital saat ini, digitalisasi menjadi sebuah cara untuk mewujudkan organisasi yang berkelanjutan dan beretika, khususnya digitalisasi pada proses kerja dan sumber daya manusia di era pandemi dan pasca pandemi COVID-19. Digitalisasi mempunyai dampak yang signifikan terhadap penciptaan organisasi yang beretika. Dengan menerapkan digitalisasi dalam proses kerja dan manajemen sumber daya manusia, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih berkelanjutan dan bermoral. Pemanfaatan teknologi dapat membantu meningkatkan efisiensi, fleksibilitas, dan inklusivitas di tempat kerja (Kuzior et al., 2022). Selain itu, digitalisasi juga dapat membantu dalam mengurangi jejak karbon, menciptakan tempat kerja yang lebih beragam, dan meningkatkan keseimbangan an

(Dess et al., 2007) dalam bukunya "Strategic Management" menjelaskan bahwa organisasi pembelajar merupakan organisasi yang menciptakan pendekatan proaktif dan kreatif terhadap hal-hal yang tidak diketahui, yang ditandai dengan :

  • Mampu menginspirasi dan memotivasi orang-orang dengan misi dan tujuan,
  • Mampun memberdayakan karyawan di semua tingkatan,
  • Mampu mengumpulkan dan berbagi pengetahuan internal.

Keterampilan tingkat tinggi dibutuhkan oleh semua orang, tidak hanya mereka yang berada di posisi teratas. Lingkungan pembelajaran melibatkan komitmen seluruh organisasi terhadap perubahan, orientasi tindakan, serta alat dan metode yang dapat diterapkan. Hal ini harus dilihat oleh semua orang sebagai filosofi panduan dan bukan sekadar program perubahan.tara faktor ekonomi, lingkungan, dan sosial.

(Nemr & liu, 2021) menyampaikan bahwa penciptaan kepemimpinan etis dapat dilakukan melalui berbagai cara yang saling melengkapi. Salah satu cara utama adalah dengan menjadi contoh yang baik; pemimpin harus menunjukkan integritas, kejujuran, dan nilai-nilai etis dalam setiap interaksi mereka. Dengan menampilkan perilaku yang konsisten dan beretika, pemimpin dapat menginspirasi karyawan untuk mengikuti jejak mereka. Selain itu, membangun hubungan yang kuat dengan bawahan sangatlah penting. Hubungan yang dilandasi pada saling percaya, saling menghormati, dan saling mendukung akan menciptakan lingkungan kerja yang positif dan harmonis, di mana etika menjadi landasan dari setiap aktivitas. (Nemr & liu, 2021) mengkomunikasikan nilai-nilai etis secara jelas dan konsisten juga merupakan aspek penting dari kepemimpinan etis. Pemimpin harus memastikan bahwa nilai-nilai yang dipegang oleh organisasi terintegrasi dalam setiap keputusan dan tindakan. Hal ini membantu menciptakan keselarasan antara tujuan organisasi dan perilaku karyawan. Selain itu, mendorong partisipasi dan keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan memperkuat komitmen mereka terhadap nilai-nilai etis. Memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berkontribusi tidak hanya meningkatkan rasa tanggung jawab mereka tetapi juga memastikan bahwa berbagai perspektif etis dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, sehingga menghasilkan keputusan yang lebih bijaksana dan berintegritas.

Dalam mewujudkan terciptanya kepemimpinan organisasi dapat dicapai melalui beberapa langkah strategis menurut (Dess et al., 2007), yaitu:

  • Pengembangan Visi dan Misi yang Inspiratif: Pemimpin organisasi harus mampu mengembangkan visi yang memotivasi dan misi yang jelas bagi organisasi. Visi yang inspiratif akan membantu memandu tindakan dan keputusan organisasi, sedangkan misi yang jelas akan memberikan arahan untuk tujuan jangka pendek dan jangka panjang organisasi.
  • Pengembangan Budaya Organisasi yang Mendukung: Pemimpin harus berperan dalam membentuk budaya organisasi yang mendukung nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, kolaborasi, dan inovasi. Budaya yang kuat akan membantu memperkuat identitas organisasi dan menginspirasi karyawan untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung.
  • Seleksi dan Pengembangan Pegawai Berkualitas: Pemimpin harus terlibat dalam proses seleksi dan pengembangan pegawai yang berpotensi menjadi pemimpin masa depan. Hal ini mencakup identifikasi bakat, pelatihan, dan pendampingan untuk memastikan bahwa organisasi memiliki kader pemimpin yang kuat di semua tingkatan.
  • Keterlibatan Karyawan dan Peningkatan Keterampilan: Pemimpin harus secara aktif mendorong keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan mereka. Hal ini dapat dicapai melalui program pelatihan, proyek tim, atau program pengembangan karir.
  • Pendekatan Keterbukaan dan Komunikasi: Pemimpin harus menjalin hubungan yang kuat dengan karyawan melalui komunikasi terbuka, mendengarkan dengan empati, dan memberikan umpan balik yang konstruktif. Transparansi dan komunikasi yang efektif akan meningkatkan hubungan antara pemimpin dan anggota organisasi, serta meningkatkan tingkat kepercayaan dan keterlibatan.

Dalam era persaingan yang semakin ketat, kemajuan teknologi, dan perubahan preferensi pelanggan, penting bagi perusahaan untuk menjadi organisasi pembelajar. Organisasi pembelajar adalah tempat di mana karyawan secara terus-menerus menciptakan, memperoleh, dan mentransfer pengetahuan, membantu perusahaan mereka beradaptasi dengan perubahan yang tidak terduga lebih cepat daripada pesaing mereka(Garvin & Gino, 2008). Dampak menciptakan leadership organization terhadap sebuah organisasi telah diteliti secara luas dan memiliki beragam hasil. Dalam konteks kepemimpinan, organisasi pembelajar mempunyai dampak yang signifikan dengan menciptakan lingkungan di mana individu dapat mengembangkan kapasitas psikologis yang positif. Dengan menyediakan konteks organisasi yang mendukung pertumbuhan individu, perusahaan pembelajaran menawarkan kesempatan bagi karyawan untuk belajar, mengembangkan, dan meningkatkan keterampilan mereka. Hal ini membantu pengembangan sumber daya psikologis positif, termasuk peningkatan kesadaran diri, peningkatan regulasi emosional, dan perilaku positif lainnya. Oleh karena itu, melalui praktik pembelajaran yang berkelanjutan, perusahaan pembelajar membantu individu untuk tumbuh dan berkembang secara positif dalam konteks pekerjaan mereka (Avolio et al., 2009).

Selanjutnya (Garvin & Gino, 2008) menyampaikan tiga landasan kuat yang saling berhubungan dalam organisasi pembelajar. Yang pertama, adalah lingkungan belajar yang mendukung. Faktor ini menyoroti perlunya menciptakan budaya di mana karyawan merasa aman untuk berbagi pengetahuan, mengambil risiko, dan belajar dari kesalahan tanpa takut akan hukuman. Lingkungan belajar yang kondusif memberikan peluang bagi karyawan untuk berkembang dan berinovasi tanpa takut akan konsekuensi negatif. Dengan memupuk budaya suportif, organisasi membuka pintu bagi kreativitas dan eksperimen, yang merupakan landasan penting bagi pertumbuhan dan kemajuan.

Yang kedua adalah proses dan praktik pembelajaran konkrit. Faktor ini melibatkan penerapan proses dan praktik pembelajaran yang jelas yang memungkinkan pengetahuan diperoleh, disimpan, dan ditransfer secara efektif ke seluruh organisasi. Ini melibatkan pengembangan sistem pembelajaran yang terorganisir dan dapat diukur, seperti program pelatihan, sesi evaluasi, dan mekanisme umpan balik yang teratur. Dengan menerapkan proses pembelajaran yang jelas dan nyata, organisasi dapat memastikan bahwa pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh secara alami termasuk dalam praktik kerja sehari-hari.

Terakhir, Perilaku Kepemimpinan yang Mendorong Pembelajaran memainkan peran kunci dalam memperkuat budaya belajar dalam suatu organisasi. Pemimpin harus memberikan dukungan tegas terhadap inisiatif pembelajaran, memberikan contoh langsung tentang pentingnya pembelajaran, dan menawarkan insentif untuk mendorong karyawan agar terus meningkatkan keterampilan mereka. Di bawah kepemimpinan yang suportif dan memberi semangat, karyawan merasa terdorong untuk secara aktif mencari peluang untuk belajar dan pengembangan diri.

Ketiga faktor ini, yang disebut sebagai "building block" atau "blok bangunan" organisasi pembelajar, saling berhubungan dan penting dalam menciptakan lingkungan di mana pembelajaran dan adaptasi berkelanjutan terjadi. Tanpa lingkungan yang mendukung, proses pembelajaran terstruktur, dan kepemimpinan yang mendorong pembelajaran, organisasi akan kesulitan mempertahankan daya saing dan relevansinya dalam lingkungan yang selalu berubah. Oleh karena itu, penguatan dan penyelarasan ketiga faktor tersebut merupakan langkah krusi

Sebagai salah satu contoh bentuk organisasi pembelajar yang saat ini banyak dikembangkan oleh berbagai organisasi baik pemerintah maupun swasta adalah Corporate University. Salah satu lembaga pemerintah yang sudah menerapkan Corporate University adalah Kementerian Keungan dengan merumuskan 10 komponen kunci dari organisasi pembelajar. Sedangkan contoh Perusahaan yang telah menerapkan organisasi pembelajar adalah maskapai Citilink Indonesia yang bergerak dalam bidang layanan angkutan udara komersial. Beberapa aspek yang mendukung penerapan Learning Organization di Citilink termasuk proses dan praktik belajar konkret, kepemimpinan yang memperkuat pembelajaran, serta lingkungan pembelajaran yang suportif. Para karyawan diberikan kesempatan untuk berdialog, menyatakan pendapat, dan berbagi wawasan dalam tim, yang merupakan elemen penting dalam organisasi pembelajar (Sakinah et al., 2022)

Kesimpulannya, pembentukan organisasi pembelajar mempunyai dampak yang signifikan terhadap efektivitas dan kemampuan adaptasi organisasi dalam menghadapi perubahan. Organisasi yang mendukung pembelajaran berkelanjutan menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa aman untuk berbagi pengetahuan, mengambil risiko, dan belajar dari kesalahan. 

Hal ini memungkinkan individu untuk berkembang dan berinovasi, yang pada akhirnya meningkatkan kapasitas psikologis positif mereka seperti kesadaran diri, regulasi emosional, dan perilaku positif. Dengan menerapkan proses pembelajaran yang terstruktur dan konkrit, didukung oleh kepemimpinan yang mendorong pembelajaran, organisasi dapat memastikan bahwa pengetahuan dan pengalaman diintegrasikan secara efektif ke dalam praktik kerja sehari-hari. 

Selain itu, organisasi pembelajaran yang dipimpin secara etis dapat menghasilkan peningkatan perilaku kewarganegaraan organisasi (OCB) di antara karyawan, meningkatkan kepuasan kerja, dan mendorong keterlibatan emosional. Dengan memberikan rasa aman dan memupuk ikatan antarpribadi yang kuat, kepemimpinan etis membantu mengurangi kecemasan terkait pekerjaan dan memperkuat keterikatan emosional anggota organisasi. Penerapan digitalisasi dalam proses kerja juga mendukung terciptanya organisasi yang beretika dan berkelanjutan.

Refferensi :

Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Weber, T. J. (2009). Leadership: Current theories, research, and future directions. In Annual Review of Psychology (Vol. 60, pp. 421--449). https://doi.org/10.1146/annurev.psych.60.110707.163621

Benevene, P., Dal Corso, L., De Carlo, A., Falco, A., Carluccio, F., & Vecina, M. L. (2018). Ethical leadership as antecedent of job satisfaction, affective organizational commitment and intention to stay among volunteers of non-profit organizations. Frontiers in Psychology, 9(NOV). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.02069

Dess, G. G., Lumpkin, G. T., Eisner, A. B., & McNamara, G. (2007). Strategic management: Texts and cases. McGraw-Hill, Irwin New York, NY.

Garvin, D. A., & Gino, F. (2008). Is Yours a Learning Organization? Teaming facing dynamic conditions View project Building the future-how cross-industry teaming works View project. https://www.researchgate.net/publication/5440662

Kuzior, A., Kettler, K., & Rb, . (2022). Digitalization of Work and Human Resources Processes as a Way to Create a Sustainable and Ethical Organization. Energies, 15(1). https://doi.org/10.3390/en15010172

Mistarihi, A. (2021). Strategic Leadership Competencies: Evidence from the State of Qatar. Journal of Human Resource and Sustainability Studies, 09(01), 57--81. https://doi.org/10.4236/jhrss.2021.91005

Nemr, M. A. A., & liu, Y. (2021). The impact of ethical leadership on organizational citizenship behaviors: Moderating role of organizational cynicism. Cogent Business and Management, 8(1). https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1865860

Norzailan, Z., Othman, R. B., & Ishizaki, H. (2016). Strategic leadership competencies: what is it and how to develop it? Industrial and Commercial Training, 48(8), 394--399. https://doi.org/10.1108/ICT-04-2016-0020

Sakinah, P., Dyahjatmayanti -Sekolah, D., Teknologi, T., Yogyakarta, K., Dyahjatmayanti, D., Program, S., Manajemen, T., Udara, S. T., Teknologi, K., Yogyakarta, K., Bantul, P., Daerah, I., & Yogyakarta, I. (2022). Penerapan Organisasi Pembelajar (Learning Organization) pada Maskapai Citilink di Bandar Udara Internasional Lombok. Jurnal Kewarganegaraan, 6(2).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun