Peter M. Senge (1990) dalam bukunya yang berjudul "The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization", mendefinisikan organisasi kepemimpinan sebagai suatu entitas yang didedikasikan untuk pembelajaran berkelanjutan dan pengembangan kepemimpinan di semua tingkat bisnis. Menurut Senge, konsep kepemimpinan dalam konteks ini tidak terbatas pada peran individu yang berada di puncak hierarki, namun tersebar di seluruh organisasi, sehingga menciptakan budaya di mana setiap anggota berperan aktif dalam proses pembelajaran dan inovasi. .
Senge kemudian menekankan bahwa di bawah kepemimpinan organisasi, seluruh anggota organisasi didorong untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, yang memperkuat tanggung jawab dan keterlibatan kolektif. Kepemimpinan dianggap sebagai suatu proses kolektif di mana setiap individu diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif dan memberikan kontribusi terhadap tujuan bersama. Hal ini dicapai melalui pembelajaran dan refleksi yang berkelanjutan, dimana organisasi secara sistematis memeriksa pengalaman, mengidentifikasi kesalahan, dan mencari cara untuk memperbaikinya.
Dalam konsep ini, kepemimpinan bukan hanya sekedar mengarahkan atau mengendalikan, namun tentang memberdayakan orang lain untuk mencapai potensi maksimalnya. Senge menyarankan bahwa organisasi harus menciptakan lingkungan yang mendukung dimana pembelajaran dianggap sebagai bagian intrinsik dari pekerjaan sehari-hari. Hal ini mencakup penyediaan akses terhadap sumber daya pendidikan, menciptakan peluang untuk pengembangan profesional, dan menumbuhkan budaya keterbukaan di mana ide-ide baru dapat diungkapkan dan diuji.
Melalui pendekatan ini, kepemimpinan organisasi menjadi lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan. Dengan mendorong partisipasi dan inovasi di seluruh tingkat organisasi, mereka dapat beradaptasi lebih cepat terhadap tantangan dan peluang baru. Hasilnya adalah sebuah organisasi yang tidak hanya lebih efektif dalam mencapai tujuan jangka pendek, namun juga lebih siap untuk mencapai kesuksesan jangka panjang melalui pembelajaran dan pengembangan yang berkelanjutan.
Memahami dan menerapkan konsep kepemimpinan etis dapat memberikan dampak pada kehidupan berorganisasi seperti pada perilaku organisasi pada level warga negara. Kepemimpinan etis mempunyai pengaruh langsung dan positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB) atau perilaku organisasi kewarganegaraan (Nemr & liu, 2021). Dengan kata lain, perilaku kepemimpinan etis berkontribusi langsung terhadap peningkatan perilaku kewarganegaraan organisasi di kalangan karyawan. Praktik kepemimpinan yang etis dapat mendorong karyawan untuk menunjukkan perilaku positif yang melebihi tuntutan pekerjaan mereka secara formal.
Kepemimpinan etis juga berdampak pada kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang afektif. Dampak kepemimpinan etis terhadap kepuasan kerja dan keterlibatan emosional anggota organisasi dapat dijelaskan melalui teori keterikatan. Kepemimpinan etis mampu menghasilkan kepuasan kerja dan meningkatkan keterlibatan emosional melalui ikatan interpersonal yang kuat antara pemimpin dan anggota organisasi. Dalam konteks organisasi nirlaba, yang senantiasa menghadapi berbagai tantangan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, pemimpin yang beretika berfungsi sebagai landasan yang aman bagi anggota organisasi, memberikan rasa aman dan mengurangi kecemasan terkait pekerjaan. Keamanan ini tidak hanya berhubungan negatif dengan kepuasan kerja tetapi juga memperkuat keterikatan emosional anggota terhadap organisasi. Dengan bekerja dalam konteks etika, individu merasakan rasa bangga terhadap aktivitas mereka, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan kerja dan keterlibatan emosional dengan organisasi (Benevene et al., 2018)
Begitupun juga di era digital saat ini, digitalisasi menjadi sebuah cara untuk mewujudkan organisasi yang berkelanjutan dan beretika, khususnya digitalisasi pada proses kerja dan sumber daya manusia di era pandemi dan pasca pandemi COVID-19. Digitalisasi mempunyai dampak yang signifikan terhadap penciptaan organisasi yang beretika. Dengan menerapkan digitalisasi dalam proses kerja dan manajemen sumber daya manusia, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih berkelanjutan dan bermoral. Pemanfaatan teknologi dapat membantu meningkatkan efisiensi, fleksibilitas, dan inklusivitas di tempat kerja (Kuzior et al., 2022). Selain itu, digitalisasi juga dapat membantu dalam mengurangi jejak karbon, menciptakan tempat kerja yang lebih beragam, dan meningkatkan keseimbangan an
(Dess et al., 2007) dalam bukunya "Strategic Management" menjelaskan bahwa organisasi pembelajar merupakan organisasi yang menciptakan pendekatan proaktif dan kreatif terhadap hal-hal yang tidak diketahui, yang ditandai dengan :
- Mampu menginspirasi dan memotivasi orang-orang dengan misi dan tujuan,
- Mampun memberdayakan karyawan di semua tingkatan,
- Mampu mengumpulkan dan berbagi pengetahuan internal.
Keterampilan tingkat tinggi dibutuhkan oleh semua orang, tidak hanya mereka yang berada di posisi teratas. Lingkungan pembelajaran melibatkan komitmen seluruh organisasi terhadap perubahan, orientasi tindakan, serta alat dan metode yang dapat diterapkan. Hal ini harus dilihat oleh semua orang sebagai filosofi panduan dan bukan sekadar program perubahan.tara faktor ekonomi, lingkungan, dan sosial.
(Nemr & liu, 2021) menyampaikan bahwa penciptaan kepemimpinan etis dapat dilakukan melalui berbagai cara yang saling melengkapi. Salah satu cara utama adalah dengan menjadi contoh yang baik; pemimpin harus menunjukkan integritas, kejujuran, dan nilai-nilai etis dalam setiap interaksi mereka. Dengan menampilkan perilaku yang konsisten dan beretika, pemimpin dapat menginspirasi karyawan untuk mengikuti jejak mereka. Selain itu, membangun hubungan yang kuat dengan bawahan sangatlah penting. Hubungan yang dilandasi pada saling percaya, saling menghormati, dan saling mendukung akan menciptakan lingkungan kerja yang positif dan harmonis, di mana etika menjadi landasan dari setiap aktivitas. (Nemr & liu, 2021) mengkomunikasikan nilai-nilai etis secara jelas dan konsisten juga merupakan aspek penting dari kepemimpinan etis. Pemimpin harus memastikan bahwa nilai-nilai yang dipegang oleh organisasi terintegrasi dalam setiap keputusan dan tindakan. Hal ini membantu menciptakan keselarasan antara tujuan organisasi dan perilaku karyawan. Selain itu, mendorong partisipasi dan keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan memperkuat komitmen mereka terhadap nilai-nilai etis. Memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berkontribusi tidak hanya meningkatkan rasa tanggung jawab mereka tetapi juga memastikan bahwa berbagai perspektif etis dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, sehingga menghasilkan keputusan yang lebih bijaksana dan berintegritas.
Dalam mewujudkan terciptanya kepemimpinan organisasi dapat dicapai melalui beberapa langkah strategis menurut (Dess et al., 2007), yaitu:
- Pengembangan Visi dan Misi yang Inspiratif: Pemimpin organisasi harus mampu mengembangkan visi yang memotivasi dan misi yang jelas bagi organisasi. Visi yang inspiratif akan membantu memandu tindakan dan keputusan organisasi, sedangkan misi yang jelas akan memberikan arahan untuk tujuan jangka pendek dan jangka panjang organisasi.
- Pengembangan Budaya Organisasi yang Mendukung: Pemimpin harus berperan dalam membentuk budaya organisasi yang mendukung nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, kolaborasi, dan inovasi. Budaya yang kuat akan membantu memperkuat identitas organisasi dan menginspirasi karyawan untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung.
- Seleksi dan Pengembangan Pegawai Berkualitas: Pemimpin harus terlibat dalam proses seleksi dan pengembangan pegawai yang berpotensi menjadi pemimpin masa depan. Hal ini mencakup identifikasi bakat, pelatihan, dan pendampingan untuk memastikan bahwa organisasi memiliki kader pemimpin yang kuat di semua tingkatan.
- Keterlibatan Karyawan dan Peningkatan Keterampilan: Pemimpin harus secara aktif mendorong keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan mereka. Hal ini dapat dicapai melalui program pelatihan, proyek tim, atau program pengembangan karir.
- Pendekatan Keterbukaan dan Komunikasi: Pemimpin harus menjalin hubungan yang kuat dengan karyawan melalui komunikasi terbuka, mendengarkan dengan empati, dan memberikan umpan balik yang konstruktif. Transparansi dan komunikasi yang efektif akan meningkatkan hubungan antara pemimpin dan anggota organisasi, serta meningkatkan tingkat kepercayaan dan keterlibatan.