Ada kecendrungan keengganan sebagian masyaraakat komunitas berpagar untuk tidak berinteraksi dengan masyarakat kampung di sekitarnya. Setidaknya, ada tiga alasan yang berhasil didentifikasi oleh Widhyharto (2009) untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, adanya perasaan telah terpenuhinya segala kebutuhan masyarakat yang berada di dalam komunitas berpagar, seperti kebutuhan sarana dan prasarana lingkungan, menyebabkan mereka merasa tidak lagi perlu berinteraksi dengan masyarakat di luar mereka. Kedua, adanya anggapan bahwa aktivitas sosial merupakan aktivitas yang tidak terlalu penting yang hanya memakan waktu dan tenaga dan ditambah akan tingginya kebutuhan akan privasi. Ketiga, masyarakat di dalam komunitas berpagar biasanya membentuk pola interaksi yang baru sebagaimana yang mereka inginkan dengan meninggalkan bentuk interaksi sosial di lingkungan lama mereka.
Sekat antara kaya dan miskin akibat adanya sekat antara komunitas berpagar dan kampung sebisa dan sesegara mungkin harus diminimalisir. Jika kekhwatiran konflik sosial tersebut terjadi, maka konflik sosial yang tercipta akan berdampak besar karena baik komunitas berpagar atau pun kampung memiliki posisi tawar yang kuat. Dalam persepektif kampung, kampung telah menjadi identitas asli permukiman Yogyakarta, bahkan permukiman Indonesia. Eksistensi kampung sebenarnya jauh lebih kuat dan lebih lama jika dibandingkan eksistensi permukiman dengan konsep berpagar di Yogyakarta atau pun di Indonesia. Secara umum, data menunjukkan bahwa 70% peruntukan lahan kota-kota di Indonesia didominasi oleh kampung dan kampung telah menyediakan perumahan bagi 70-85% penduduk kota-kota di Indonesia (Kementrian Perumahan Rakyat, 2009 dalam Setiawan, 2010). Pun demikian halnya dengan Yogyakarta yang permukimannya sejak awal didominasi oleh kampung. Adapun dalam perspektif komunitas berpagar, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, adanya anggapan bahwa komunitas berpagar berpeluang menjadi sumber PAD membuat komunitas berpagar merasa lebih kuat dengan kedekatakannya kepada aspek legal-formal.
Pentingnya Peran Perencana Kota
Keberadaan komunitas berpagar diberbagai kota di dunia memang selalu menjadi dilema dan diskursus. Untuk kasus APY, penjelasan singkat di atas memang tidak menggambarkan secara utuh tentang apa yang terjadi, namun setidaknya bisa membukakan kesadaran kita akan pentingnya mengambil langkah pencegahan (jika belum bisa dikatakan sebagai langkah penanganan). Tidak dipungkiri, peran kita sebagai perencana kota, sangat penting di dalam langkah-langkah pencegahan konflik sosial yang sama-sama tidak kita inginkan kehadirannya tersebut. Setidaknya, ada tiga hal yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai perencana kota:
Pertama, pentingnya kehadiran desain lingkungan dan bangunan yang lebih humanis dan mempertimbangkan kearifan lokal dari tangan-tangan dan pikiran kita, para perencana kota. Sudah barang tentu bahwa desain lingkungan dan bangunan yang lebih humanis dan mempertimbangkan kearifan lokal mempengaruhi bagaimana persepsi serta interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Penelitian Cahyono (2010) menunjukkan bahwa desain lingkungan dan bangunan, seperti desain pagar dan gerbang, sangat mempengaruhi bagaimana interaksi dan persepsi masyarakat sekitar dengan masyarakat di dalam komunitas berpagar. Kehadiran konsep green buffer yang bisa menggantikan tembok-temobok tinggi dan kokoh yang tidak humanis merupakan diantara jawaban tantangan tersebut. Atau dengan mengadopsi konsep eyes on the street yang dikenalkan oleh Jane Jacobs.
Kedua, perlunya perencanaan permukiman yang berpihak secara berimbang. Dalam ranah legal-formal, jelas terasa bahwa posisi komunitas berpagar lebih mendominasi dan posisi kampung lebih termarginalkan. Sebagaimana Setiawan (2010) menyatakan bahwa kedepan perlu adanya integrasi kampung dengan sistem kota yang lebih kompleks. Kampung perlu mendapatkan advokasi dalam ranah perencanaan permukiman. Selama ini kampung telah termarginalkan di dalam proses perencanaan permukiman. Bahkan, sebagian rencana kota telah mencitrakan kampung sebagai kawasan kumuh kota yang harus digusur atau dihapuskan dari peta rencana kota (Setiawan, 2010).
Ketiga, pentingnya diadakan riset-riset tentang eksistensi komunitas berpagar dan dampaknya untuk mendukung proses perumusan kebijakan perencanaan permukiman yang dilakukan oleh pemerintah daerah serta agar bisa membantu berbagai pihak terkait untuk keluar dari diskursus ini.
Sebagai penutup, berikut disampaikan perkataan Sri Sultan HB X yang tentunya sejalan dengan apa yang kita semua harapkan:
“Saya berharap saudara dari mana pun berasal, saya berharap merasa aman dan nyaman. Karena Yogyakarta memberikan ruang luas bagi orang luar Yogyakarta, baik bagi yang menetap atau sedang menimba ilmu. Ini rumah sendiri. Kita bersaudara. Ini rumah kami dan saudara tinggal di sini, jadi rumah saudara juga”
Daftar Pustaka
Cahyono, Triatmoko Ari. 2010. Interaksi Warga Perumahan Gated Community dengan Masyarakat Sekitar; Kasus: Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar. Tesis tidak diterbitkan, Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.