Tahun 2020 menjadi tahun kesedihan bagi pesawat berbadan jumbo. Boeing 747 dan Airbus A380 mengalami penurunan order sejak tahun 2019 lalu. Hal itu terjadi karena terbatasnya suku cadang dari 2 varian fenomenal tersebut. Selain suku cadang, biaya yang mahal menjadi faktornya juga.
Baru-baru ini, maskapai British Airways dengan pengguna Boeing 747-400 terbanyak untuk saat ini, harus merelakan 28 unitnya terjual. Pesawat yang seharusnya dijual pada tahun 2024, harus dijual tahun ini untuk menaikkan anggaran karena pandemi corona.
aviasi tersebut ramai-ramai menjual beberapa unit pesawat. Maka dari itu, banyak pesawat jumbo jet yang dijual seperti Boeing 747-400 dan Airbus A380 baru ini.
Hal itu juga diperparah dengan adanya Pandemi Corona yang menyebabkan beberapa maskapai penerbangan berhenti beroperasi. Untuk menaikkan biaya operasional, perusahaan
Kita menyaksikan bagaimana 2 pesawat tersebut melenggang gagah di angkasa. Belum lagi, kita merasa 'iri' karena ada kenalan kita yang merasakan 2 varian tersebut. Bagaimana mereka bisa mendapatkan tiket menaiki pesawat itu dan juga sensasi yang dirasakan.
Kita tentu mengenal siapa saja maskapai besar yang unggul dari segi jumlah. Untuk Boeing 747 seri terbaru, yaitu Boeing 747-8i, ada Lufthansa yang memiliki 17 unit. Kemudian, untuk Airbus A380, ada maskapai Emirates.
Kedua varian ini menjadi fenomenal semenjak awal kehadirannya. Boeing 747 menjadi pesawat berlantai 2 pertama yang muncul ke hadapan publik. Dimulai dari kemunculan perdananya pada 9 Februari 1969. Tentu saja ada drama dibaliknya.
Pesawat ini dianggap proyek ambisius. Sang desainer, Joe Sutter, ingin mendesain pesawat yang bisa mengangkut penumpang 2 kali lebih banyak dari Boeing 707. Selain itu, kemampuan terbang non-stop atau jelajah melebihi 1800 kilometer.
Kemunculan pesawat ini sempat diragukan beberapa pihak karena bobotnya yang melebihi pesawat pada umumnya. Kekhawatiran akan pesawat yang sulit terbang tinggi bermunculan. Namun, kekhawatiran itu tidak terjadi setelah pesawat Pan Am berhasil terbang pada 22 Desember 1970.
Pesaingnya, yaitu Airbus A380, mengalami nasib yang jauh lebih tragis. Usia varian yang hanya 16 tahun ini harus mengurangi produksinya pada akhir 2019. Pasalnya, maskapai langganannya yaitu Emirates harus mengurangi jumlah unit menjadi 5 dari 9 unit pemesanan.
Bahkan, Air France yang memiliki 10 unit pesawat jumbo Airbus itu, harus merelakan seluruh unitnya terjual. Maskapai lain yaitu Singapore Airlines mulai pertama kali menjual 2 unit A380 itu.
Varian pesawat jumbo sempat dimunculkan ke publik dengan hadirnya Boeing 747-8 (Intercontinental dan Freighter). Pesawat itu diklaim mampu membawa penumpang dalam jumlah besar namun hemat bahan bakar dan efisien. Tentu, kehadirannya mampu menyaingi Airbus A380.
Pesawat Boeing 747-8i (penumpang) menjadi pembaharu dari Boeing 747-400 untuk kategori jet 2 lantai. Sedangkan Boeing 747-8F (Cargo) menjadi varian yang saat ini masih dipesan. Berbeda dengan Airbus A380 yang belum memiliki unit kargo. Jumlah pesawat Boeing 747-8 seluruhnya ada 137 unit hingga Mei 2020.
Munculnya pesawat jenis baru yang terus bermunculan membuat beberapa maskapai tertarik untuk membelinya. Pesawat yang hemat bahan bakar dan memiliki kecepatan tinggi sangat diharapkan pihak maskapai. Tentu, ini berbanding lurus dengan keinginan konsumen akan pesawat yang murah namun cepat sampai tujuan.
Kehadiran Boeing 787 (2007), Airbus A350 (2013), dan Boeing 777x (2020) mampu mencuri perhatian konsumen dan maskapai. Hal itu tentu didukung oleh kemampuan pesawatnya yang hemat bahan bakar dan mewah.
Kabar tentang berkurangnya produksi pesawat besar tersebut kurang mengenakkan bagi produsen, maskapai, maupun pecinta aviasi. Ibarat lapak, jika tidak ada pembeli maka penjual dan pengguna jasa akan menutupnya. Begitu juga pecinta produk mereka akan bersedih jika jualan tersebut tutup lapak.
Jikapun masih berusaha mempertahankan unit kargo (Boeing 747-8F), tetap jumlah pemesanan mengalami stagnan. Per tahun hanya bisa mencapai 6 unit sekali pemesanan. Jauh dari harapan di tahun sebelumnya yaitu 12 unit per tahun. Namun, desainnya yang modern dengan sayap lancip seperti Boeing 787 mampu membuatnya hemat bahan bakar dan tahan dari turbulensi.
Bahkan, pesawat ini sudah menggunakan teknologi fly-by-wire yang terkontrol seluruhnya oleh komputer. Hal ini semakin memudahkan pilot untuk mengoperasikan sistem otopilot layaknya robot. Selain kecanggihan itu, pesawat ini juga memiliki bobot lebih ringan sehingga sangat potensial untuk dikembangkan lagi.
Memang, ada kesan mendalam terhadap pesawat jumbo tersebut. Kemewahan dan kemampuan terbang yang efisien serta canggih harusnya mampu menarik konsumen. Namun, biaya operasional dan perawatan yang mahal karena 2 mesin di tiap sayap yang digunakan menjadikannya mahal dan boros.
Tentu, hal itu membuat pihak maskapai berfikir 2 kali lipat untuk membelinya. Mereka juga berfikir tentang jumlah penumpang yang nanti akan menaikinya. Tentu saja mereka sangat ingin memberikan harga yang murah demi memenuhi kepuasan penumpang.
Akhirnya, banyak pihak maskapai yang beralih ke pesawat single engine yang diklaim lebih efisien dan cepat. Untuk itu, banyak produsen Boeing 747 dan Airbus A380 yang memutuskan mengurangi pemesanan di tahun ini.
Hal itu memicu munculnya wacana untuk mengakhiri produksi atau discontinue. Opsi memberhentikan produksi varian tersebut dianggap mampu mengamankan anggaran perusahaan. Hal itu bisa digunakan untuk produksi pesawat baru yang lebih hemat dan efisien seperti yang sudah direncanakan dalam proposal portofolio desain mereka.
Era pandemi ini sungguh menjadi kabar 'duka' bagi penggemar aviasi. Hal itu juga dapat dirasakan oleh calon konsumen yang belum pernah mencicipi pesawat Boeing 747 dan A380 yang lebar dan mewah tersebut. Sungguh, keputusan yang terlalu cepat di tengah keadaan yang mendorong siapapun untuk berbesar hati.
Apalagi, kalau bukan karena Pandemi Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H