Mohon tunggu...
Muhammad Rezanda Alifahna
Muhammad Rezanda Alifahna Mohon Tunggu... -

Penulis meminati kajian di bidang politik, islam, dan kepemimpinan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mendukung Pilkada Langsung untuk Pembangunan Demokrasi Indonesia

19 September 2014   00:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:17 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik menyaksikan polemik mengenai RUU Pilkada yang semakin menyita banyak perhatian publik. Perselisihan tajam tentang metode pemilihan kepada daerah, apakah langsung oleh rakyat atau dikembalikan kepada DPRD belum menemui titik terang. RUU Pilkada ini mengatur bahwa calon gubernur diusulkan oleh gabungan fraksi di DPRD Provinsi (pasal 11). Komisi Pemilihan Umum kemudian akan meneliti dan menetapkan calon-calon gubernur. Mereka lalu menyampaikan visi, misi, dan program sebagai gubernur secara terbuka untuk umum dan berlanjut dengan tanya jawab atau dialog dengan anggota DPRD Provinsi dan hak pilih gubernur ada pada anggota DPRD Provinsi seperti yang disebutkan pada pasal 2 dan 27 (1). Sementara untuk calon bupati/walikota RUU tersebut mengatur bahwa untuk pemilihan bupati/walikota hak pilih ada pada setiap WNI (pasal 78). Berdasarkan RUU Pilkada tersebut, maka perubahan terjadi dalam pemilihan gubernur.

Pada awal reformasi untuk membalik sentralisme orde baru dibuatlah UU No. 22 tahun 1999 yang menguatkan fungsi DPRD. DRPD dapat memilih kepala daerah dan juga dapat menurunkan kepala daerah tersebut namun ternyata pilkada melalui DPRD menimbulkan fenomena korupsi dan pemerasan secara vulgar. Terjadi penyuapan yang terang-terangan ketika seseorang ingin maju sebagai calon kepala daerah untuk melancarkan proses yang terjadi di DPRD. Maka pada tahun 2003 diusulkan untuk melakukan pemilihan kepala daerah yang langsung di pilih oleh rakyat dengan asumsi tidak mungkin calon kepala daerah mampu menyuap rakyat. Maka lahirlah UU No.32 tahun 2004 mengenai pemilihan kepala daerah langsung. Namun ternyata saat ini banyak permasalahan-permasalahan baru yang timbul terkait pemilihan kepala daerah langsung.

Mereka yang berpendapat bahwa pilkada lebih baik dikembalikan melalui DPRD mengajukan alasan-alasan seperti menghemat anggaran pilkada langsung yang sangat besar hingga kabarnya terjadi pemborosan uang negara yang mencapai lebih dari 40 triliyun rupiah, meminimalisasi potensi kecurangan dan meminimalisasi potensi konflik masyrakat yang terjadi pasca pilkada. Selain itu, melihat fenomena yang terjadi belakangan ini yang menyebutkan bahwa hingga kini sudah ada 330 kepada daerah/mantan kepala daerah terjerat kasus korupsi yang salah satu penyebabnya disinyalir karena biaya yang dikeluarkan ketika sang kepala daerah kampanye cukup besar sehingga butuh dana untuk menutupi pembiayaan tersebut semakin memberikan rasionalisasi bahwa pilkada langsung ternyata menimbulkan sejumlah masalah.

Persoalan biaya sesungguhnya dapat ditekan dalam proses operasional apabila proses pilkada dilangsungkan secara serentak sehingga proses produksi dan distribusi logistik berlangsung secara bersamaan. Membangun sistem penyelenggaraan pilkada yang efektif dan efisien dengan berbasiskan infrastruktur teknologi informasi dengan sistem keamanan yang baik juga dapat menjadi salah satu solusi untuk menekan pemborosan biaya negara. Selain itu pengaturan yang lebih jelas dan ketat untuk transparansi sumber dana kampanye dan aturan mengenai pembatasan biaya kampanye untuk calon kepala daerah dapat menekan biaya yang keluar dalam proses pemilihan kepala daerah. Terkait potensi munculnya kecurangan sebenarnya dapat diatasi dengan penerapan regulasi yang lebih baik dengan enforcement yang tegas. Dengan membangun sistem pilkada berbasiskan infrastruktur teknologi informasi akan berpengaruh terhadap cepat serta akuratnya pemrosesan data pilkada sehingga potensi kecurangan akan sangat minim. Pengaturan yang jelas mengenai sumber dana kampanye, pembatasan biaya kampanye, serta transparansi dana juga akan menekan proses terjadinya kecurangan.

Kepala daerah yang terpilih langsung secara langsung oleh masyarakat melalui proses kredibel, transparan, dan bersih akan membuat hubungan emosional dengan masyarakat akan lebih kuat. Dalam pilkada langsung, kepala daerah mendapatkan kepercayaan untuk memimpin langsung dari rakyat bukan dari perwakilannya di DPRD. Kepala daerah akan memiliki legitimasi yang kuat karena dapat dipastikan memang merupakan figur yang dikehendaki oleh mayoritas masyarakat untuk menjadi pemimpin di daerah tersebut. Dalam pilkada langsung, hadirnya calon yang berkualitas akan semakin besar baik dari segi kapasitas maupun dari segi elektabilitas. Apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD maka kemungkinan calon yang diajukan adalah berasal dari elit partai yang mungkin belum teruji kualitasnya. Selain itu, mengembalikan proses pemilihan ke DPRD akan membunuh sense of belonging masyarakat dan kemungkinan penerimaan publik atau masyarakat terhadap sang calon akan tidak baik akan semakin besar sehingga dapat menimbulkan potensi konflik yang lebih besar.

Selain itu, survei yang dilakukan oleh Lingkaran Suvei Indonesia (LSI) beberapa waktu yang lalu mengungkapkan bahwa 81,25 persen masyarakat ingin agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, mereka menolak pilkada oleh DPRD. Para pemilih pun melihat bahwa pilkada oleh DPRD hanyalah upaya partai untuk memonopoli kekuasaan. Sebanyak 74,76 persen responden menilai bahwa pilkada oleh DPRD lebih karena kepentingan kekuasaan partai dan hanya 14,29 persen yang menilai bahwa itu adalah upaya untuk membenahi kualitas pilkada.

Memang benar masih banyak sekali persoalan yang harus dihadapi bangsa ini terkait proses demokrasi yang sedang kita jalani namun ini merupakan proses pembelajaran yang harus kita jalani. Sepintas terlihat lebih efisien apabila pilkada dilangsungkan dalam DPRD namun demokrasi kita akan menjadi korban dan ini merupakan harga yang lebih mahal yang harus kita bayar. Melalui pilkada langsung terjadi proses pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia dan ini penting dalam menumbuhkembangkan demokrasi di Indonesia. Mengembalikan proses pemilihan kepala daerah kepada DPRD sama sekali tidak relevan dan bukan merupakan solusi bagi pembangunan demokrasi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun