Mohon tunggu...
Muhammad Razzaq Widagdo
Muhammad Razzaq Widagdo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa FKIK UIN Malang

Mahasiswa Kedokteran semester nanggung yang suka beropini dan berelegi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jurnalisme Positif: Pemilu Tanpa Seteru

17 Desember 2023   19:39 Diperbarui: 17 Desember 2023   20:47 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pewajaran penggunaan kekerasan (red. kekejaman)  tidak sesuai dengan jiwa dan substansi demokrasi", sebuah kalimat yang dituliskan oleh John Keane, tokoh pemikir berkebangsaan Autralia, dalam halaman ke-182 dari buku Violence and Democracy. Indonesia sendiri sudah lebih dari setengah abad mengamini sistem demokrasi dalam bernegara dan juga lebih dari setengah abad mengalami kekerasan dalam banyak bentuk yang mencederai demokrasi.

Demokrasi di Indonesia selalu mengalami klimaksnya setiap diadakan pemilihan umum yang diselenggarakan baik di tingkat negara, Provinsi, Kota Kabupaten bahkan sampai ke tingkat desa. Pastinya sesuai dengan ilmu sinematografi dimana klimaks selalu dibarengi dengan puncak dan memanasnya suatu masalah sebelum akhirnya menimbulkan dampak pada keseluruhan akhir cerita. Pun juga terjadi pada puncak pesta demokrasi yaitu pemilihan umum pasti diwarnai dengan "kekerasan" baik secara lugas maupun tersirat.

Memanasnya suatu keadaan dipengaruhi banyak hal salah satunya adalah media. Dalam konteks pemilu media memainkan peran besar dalam mengontrol opini publik baik ke arah yang baik dan sebaliknya. Pada jurnal yang terbit pada Lemhannas RI pada tahun 2019 dengan judul Media Sosial dan Pemilu: Studi Kasus Pemilihan Presiden Indonesia menunjukkan bahwa peran media meningkat pesat dalam memengaruhi opini masyarakat terkait calon presiden pada pemilihan umum tahun 2019. Pada jurnal tersebut juga ditunjukkan hasil bahwa ada peningkatan penggunaan media baik mainstream maupun media baru (new media) dan juga bahwa peran media besar dalam polarisasi (red. pelebaran jarak) antara masyarakat yang mendukung dan masyarakat yang cenderung mengkritik calon presiden.

Terutama pada golongan muda yang lebih tertarik pada jurnalisme yang disajikan dalam bentuk bite sized content dalam media sosial seperti twitter dan instagram. Sebuah kebetulan kemudian muncul ketika data jumlah hoax (berita palsu) sepanjang masa kampanye 2019 dari Kominfo rilis ke publik. Data tersebut menyajikan 3.356 berita palsu yang pernah terjadi sepanjang masa kampanye dengan 219 diantaranya merupakan berita fitnah (red. Hate speech) dan 130 berita penipuan. Namun, apakah hal ini berhenti sampai disitu ?? Tentu tidak... ambil saja contoh Ratna Sarumpaet yang karena berita palsu menjadi salah satu konflik besar dan hangat saat berlangsungnya pesta demokrasi 5 tahunan.

Media erat kaitannya dengan jurnalisme dan jurnalistik, (jurnalistik adalah teknik mencari, mengolah, mengembangkan dan mempublikasikan berita sedang jurnalisme adalah cara berfikir dan landasan jurnalistik). Semenjak terjadinya industrialisasi jurnalisme tidak hanya perlu keaktualan untuk lebih "terjual" di masyarakat namun juga perlu asper komersialisasi. Nahasnya dengan pribadi kebanyakan masyarakat indonesia yang gemar sesuatu yang instan kemudian dilirik oleh banyak lembaga pers dan media menjadi ladang untuk hiperbolaisasi dan eksploitasi berita. Yang lebih parah lagi kemudian muncul aliran aliran pemberitaan yang berpihak dimana hal ini justru menciderai jurnalisme itu sendiri karena pada dasarnya jurnalisme adalah kebebasan, multi-angles dan tidak menghakimi. Tidak sesuai dengan UU Nomor 40 tahun 1999 mengenai pers pada poin (d) menyatakan "Bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial" media saat ini banyak mengejar sensasi dibandingkan solusi.

Jurnalisme positif hadir pada dasarnya untuk memenuhi kaidah pemberitaan itu sendiri dimana berita tidak boleh menghakimi (trial by the press), menjunjung tinggi kemanusian dan keadilan, multi-angles, tanpa keberpihakan (cover both sides) serta lebih solutif daripada judgemental. Pada konteks pemilu tentu banyak halangan dalam menerapkan jurnalisme positif secara keseluruhan terlebih lagi mental 56% pemilih yang masih tergolong muda kebanyakan merupakan mental yang mudah terpantik dan didukung dengan mudahnya sesuatu hal menjadi ramai dan viral di media media baru. Penulis rasa kebanyakan pembaca juga berpendapat yang sama dan dengan daya nalar tinggi memproyeksikan skenario skenario pemberitaan pemilu yang erat kaitannya dengan kecelaan dari masing masing pasangan calon. Disinilah kemudian banyak orang salah presepsi mengenai jurnalisme positif. Jurnalisme positif dianggap hanya menceritakan kesempurnaan seseorang tanpa terlihat adanya keretakan pada gadingnya, tapi pada kenyataannya jurnalisme positif sah sah saja memaparkan kekurangan seseorang asalkan tidak menjurus kearah eksploitatif dan represif serta diskriminatif. Jurnalisme positif sah sah saja mengkritik asalkan solutif dan bertujuan untuk perbaikan di masa depan. 5 asas inti yang dipegang oleh jurnalisme positif antara lain

  1. Berita sesuai kaidah jurnalistik
  2. Berita sesuai asas kemanusiaan
  3. Berita objektif
  4. Berita mengandung makna
  5. Berita menumbuhkan optimisme

Dengan kelima kaidah ini kemudian pembaca setuju bahwa jurnalisme positif dapat menghindarkan pemilu dari kekerasan media dan provokatif massa dan lalu dalam benak pembaca muncul 1 pertanyaan terakhir mengenai komersialisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan perusahaan korporasi media dan publikasi memerlukan sumber daya untuk terus menyajikan fakta dan berita, lalu tanpa sensasi dimana bisa mendapatkan audiens dan atensi ??? Jawabannya adalah disolusi. Dengan memberikan solusi kepada masyarakat terkait topik berita pemilu dan juga memberikan gambaran "big picture" yang tentunya faktual akan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Hal ini tentu harus dikemas dalam media yang lebih relevan di masyarakat seperti media bite-sized yang digandrungi oleh warga indonesia di berbagai range usia.

Terciptanya suasana media yang tidak menggiring opini serta tetap faktual tanpa diskriminasi akan memberikan pandangan luas kepada masyarakat. Selain menjaga hakikat pers dan ke-kondusifan pesta rakyat, jurnalisme positif juga akan menjadi solusi kepada masyarakat untuk memilih wakil-wakil mereka dengan tepat terutama untuk kalangan muda. Lalu apakah bisa ditahun 2024, tahun politik, dengan jurnalisme positif menjadi pemilu yang tertib dan taat ??? Apakah bisa pemilu tanpa seteru ???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun