Mohon tunggu...
Muhammad Rayhan
Muhammad Rayhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - University Student

Social Media Enthusiast Accounting Student 23

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045, Menyingkap Realitas di Balik Visi

2 Juli 2024   20:46 Diperbarui: 2 Juli 2024   21:08 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia Emas 2045 adalah visi yang  diwujudkan pada tahun 2045 dimana Indonesia akan merayakan seratus tahun kemerdekaan Indonesia. Tujuannya adalah agar Indonesia menjadi negara terkemuka pada tahun 2045, makmur, berdaulat, dan berkelanjutan. Hal ini disebut sebagai "Negara Maju, Berdaulat, dan Berkelanjutan". Faktor kunci yang mendorong visi ini adalah ekspektasi akan adanya "Bonus demografi" pada tahun 2045. Ini berarti sebagian besar penduduk akan berada dalam masa kerja produktif (15-64 tahun). Hal ini memberikan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi.

Namun, Bonus demografi yang dimiliki Indonesia dapat menjadi pedang bermata dua, apabila dalam perjalanannya, Indonesia tidak dapat mempersiapkan angkatan kerja yang didominasi oleh usia produktif ini. Persiapan yang dilakukan antara lain, peningkatan dan pemerataan pendidikan, pembangunan infrastruktur yang efisien dan merata, serta stabilitas politik yang menunjang adanya pertumbuhan di sektor-sektor terkait, agar kelak dapat menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas, bahkan menciptakan generasi yang dapat melahirkan perusahaan-perusahaan baru, guna menunjang perekonomian indonesia melalui ekspor dan impor, serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi angkatan kerja yang tersedia.

Salah satu tanda dari ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi Bonus Demografi adalah Krisis Pendidikan. Performa Pendidikan Indonesia bisa dibilang masih rendah dibandingkan dengan negara lain, ini dapat dilihat dari skor PISA yang masih menempati peringkat 350+. Adapun kualitas pendidikan yang lebih Baik dibandingkan rata-rata namun hanya dapat diakses oleh segelintir orang yang memiliki previlege. Hal semacam ini masuk akal mengingat kesenjangan di Indonesia masih sangat Tinggi. Dapat Kita lihat pada 2023, GDP Indonesia secara keseluruhan masuk dalam jajaran 16 besar dunia. Kendatipun demikian, pendapatan perkapita Individu Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan rerata Pendapatan di Negara Lain.

Ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia merupakan salah satu masalah yang telah berlangsung lama dan membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Menurut laporan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada tahun 2021, terdapat disparitas yang signifikan dalam kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Sekolah di daerah perkotaan cenderung memiliki fasilitas yang lebih baik, guru yang lebih berkualitas, dan akses yang lebih luas terhadap sumber daya pendidikan.

Sebaliknya, sekolah di daerah pedesaan sering kali menghadapi tantangan seperti infrastruktur yang kurang memadai, kekurangan guru berkualitas, dan minimnya akses terhadap teknologi dan bahan ajar modern. Hal ini dapat mengakibatkan perbedaan yang besar dalam kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa di perkotaan dan pedesaan.

Selain itu, laporan Bank Dunia pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa kesenjangan akses pendidikan berkualitas antara kelompok kaya dan miskin di Indonesia masih cukup besar. Keluarga dengan status ekonomi yang lebih tinggi cenderung mampu menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga pendidikan swasta yang lebih mahal dan bermutu, sementara keluarga dengan status ekonomi rendah terpaksa mengandalkan sekolah negeri yang seringkali kekurangan sumber daya.

Disparitas ini dapat membatasi peluang bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sehingga memperlebar kesenjangan dalam pencapaian akademik dan prospek masa depan. Upaya untuk memperbaiki ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia membutuhkan investasi yang lebih besar dalam infrastruktur pendidikan, pelatihan guru, dan program-program yang menargetkan daerah pedesaan dan kelompok kurang beruntung.

Indonesia, dengan visi ambisius untuk mencapai status "Indonesia Emas" pada tahun 2045, masih menghadapi tantangan signifikan dalam sektor pendidikan. Meskipun anggaran pendidikan telah dialokasikan sebesar 20% dari APBN sejak 2009, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal di kancah global. Hasil PISA 2018 menempatkan Indonesia di peringkat 72 dari 78 negara dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2021 berada di posisi 114 dari 191 negara, dengan rata-rata lama sekolah hanya 8,5 tahun. Ketimpangan akses pendidikan juga masih menjadi isu krusial, dengan Angka Partisipasi Murni (APM) SMA/SMK secara nasional baru mencapai 73,61% pada 2022. 

Lebih mengkhawatirkan lagi, survei World Bank pada 2018 menunjukkan bahwa 55% pelajar Indonesia yang lulus sekolah menengah masih buta huruf fungsional. Fenomena "learning poverty" ini mengindikasikan bahwa kualitas pembelajaran belum mampu mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan ekonomi berbasis pengetahuan. Jika tren ini berlanjut, sulit bagi Indonesia untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang menuntut sumber daya manusia berkualitas tinggi dan berdaya saing global. Reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan, mulai dari kurikulum, metode pengajaran, hingga peningkatan kompetensi guru, menjadi keharusan untuk menjembatani kesenjangan antara kondisi saat ini dan aspirasi masa depan bangsa.

Berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah paragraf kesimpulan dan saran:

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, terutama di sektor pendidikan. Ketimpangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok ekonomi yang berbeda, masih menjadi masalah serius. Hasil PISA yang rendah, IPM yang belum optimal, dan tingginya angka buta huruf fungsional menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia belum mampu mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan masa depan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun