Mohon tunggu...
muhammad rayhan. 110
muhammad rayhan. 110 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Olahraga, Menulis, Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Filsafat Dakwah

28 September 2024   08:40 Diperbarui: 28 September 2024   08:43 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengaruh pemikiran dakwah dengan pendekatan teologis-filosofis tumbuh dan berkembang di Perguruan Tinggi Islam, khususnya Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir. Pendekatan ini telah menjadi perdebatan akademik di beberapa kampus. Sementara itu, kitab-kitab dakwah dengan sufistik ditelaah di pesantren-pesantren maupun sekolah Islam. Pendekatan ini telah diterima oleh masyarakat Muslim secara luas.Seiring dengan pertumbuhan ilmu dakwah dan tuntutan masyarakat di era global yang membutuhkan pemahaman Islam secara rasional dan fungsional, maka kajian dakwah yang bersifat filosofis amat diperlukan. Dakwah perlu dielaborasi dari sisi ontologi, epistemologi dan aksiologinya. 

Dan kajian tersebut diharapkan keberadaan dan peran dakwah di masyarakat semakin signifikan pada era modern ini. Pada dasarnya, dakwah dapat dipandang sebagai fenomena sosial sehingga dakwah dapat dikaji dan dijelaskan melalui berbagai perspektif keilmuan, seperti sosiologi, komunikasi, antropologi, sejarah dan filsafat. Ketika dakwah didekati dari sudut filsafat, maka akan segera muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar yang harus dijawab. 

Misalnya, apakah hakikat dari dakwah itu? Apakah dakwah merupakan kebutuhan dasar manusia? Apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dakwah? Mengapa ajaran islam perlu dikomunikasikan, disosialisasikan, diinternalisasikan dan diamalkan? Mengapa nilai-nilai kemanusian perlu ditumbuh kembangkan dalam aktivitas dakwah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan sebagian dari problem dakwah yang harus dijelaskan oleh filsafat dakwah. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang membutuhkan penjelasan dari filsafat dakwah, khususnya berkaitan dengan ontologi, epistimologi dan aksiologi dakwah. 

Hal yang sangat mendasar dari kajian filsafat dakwah terletak pada kemampuannya untuk berpikir kritis dan analisis dalam menyikapi berbagai konsep dan praktik dakwah di lapangan. Oleh karena itu, filsafat dakwah dapat dijadikan sebagai pintu gerbang untuk membuka tabir berkaitan dengan teori-teori dakwah yang akan dikembangkan.

Beberapa penulis berbeda pendapat dalam merumuskan makna filsafat dakwah. Dalam tulisannya tentang filsafat dakwah, 

Syukriyanto mendefiniskan filsafat dakwah sebagai relasi dan aktualisasi iman manusia dengan agama Islam. Pandangan Syukrianto tentang filsafat dakwah ini masih terasa begitu umum sehingga belum menyentuh pada wilayah ontologi, epistimologi dan aksiologi dakwah. Pembahasan filsafat dakwah seakan-akan sama dengan kajian teologi atau tauhid.

 Suisyanto memberikan pandangan yang berbeda pula, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Filsafat Dakwah mengatakan bahwa filsafat dakwah merupakan cabang dari filsafat Islam yang khusus membicarakan dakwah.filsuf Muslim umumnya membahas Tuhan, manusia, pencipta alam, metafisika logika dan etika, hal inilah yang memberikan pandangan yang berbeda bagi Abdul Basyit, menurutnya teramat jarang dan bahkan tidak ada filsuf yang secara secara spesifik membahas dakwah. 

 Penulis lainnya, Syukriadi Sambas dalam buknya yang berjudul Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah mengatakan bahwa dakwah bertitik tolak dari pemahaman terhadap arti hikmah yang diambil dari al-Qur'an. Kemudian dihubungkan dengan pengertian filsafat sebagai kegiatan berpikir sehingga dihasilkan pengertian filsafat dakwah yaitu pemikiran mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh tentang dakwah Islam sebagai sebuah sistem aktualisasi ajaran islam disepanjang zaman

 Dari beberapa pengertian diatas, filsafat dakwah dapat dirumuskan sebagai cabang ilmu dakwah yang membahas tentang ontologi, epistimologi, dan aksiologi dakwah dalam sistem ajaran islam dan kehidupan manusia. "Jika pengetahuan hendak disebut ilmu, maka haruslah obyektivitas, ber metode, universal, dan sistematis". semua ilmuwan sepakat bahwa sains harus obyektif. Sains bertujuan memahami gejala alam dan menemukan kebenaran. Kebenaran sains adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Sains yang obyektif berarti sesuai dengan keadaan obyeknya. Selain itu, obyektif juga dapat diartikan bahwa sains harus memiliki obyek. Tanpa ada obyeknya, bagaimana kita melakukan penelitian. Jika obyeknya luas, studi kita juga kurang mendalam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun