Pendidikan di Indonesia terus menjadi isu yang dihadapi setiap tahun, mulai dari biaya hingga kualitas output yang dihasilkan, yang belum mampu secara signifikan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Banyak pihak kemudian menyoroti buruknya sistem pendidikan di Indonesia dengan menyalahkan rezim pemerintahan, Menteri Pendidikan, kepala sekolah, dan pihak terkait lainnya. Apakah mereka benar-benar bertanggung jawab? Meskipun kontribusi mereka terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia tidak dapat diabaikan, pengaruh mereka sebenarnya tidak begitu besar. Hal ini disebabkan oleh budaya pendidikan yang sudah mengakar kuat sejak lama. Maka, apa sebenarnya akar permasalahan pendidikan di Indonesia? Mari kita telaah secara mendalam dari sudut pandang yang berbeda..
Beban Kerja Guru
Guru merupakan pilar utama dalam pembentukan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Peran seorang guru di suatu negara bahkan bisa melebihi profesi lain seperti dokter atau polisi, tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan tersebut. Namun, apakah kualitas guru kita sudah sebanding dengan tanggung jawab besar yang mereka emban? Kenyataannya, meskipun pahit untuk diakui, kualitas itu masih belum optimal. Bukan sepenuhnya kesalahan guru, tetapi beban yang diberikan kepada mereka di Indonesia terlalu berat.
Guru di Indonesia sering kali terbebani dengan berbagai tugas administratif seperti mengurus keuangan sekolah, menangani siswa bermasalah, menjadi pembina organisasi, dan lain sebagainya. Tugas-tugas ini, tanpa disadari, membuat fokus mereka terpecah. Sebagai akibatnya, para guru di Indonesia tidak dapat sepenuhnya terspesialisasi dalam pengajaran. Ditambah lagi, tidak semua guru memiliki keterampilan metodologi yang kuat.
Akan lebih baik jika guru dapat sepenuhnya fokus pada pengajaran dan penelitian, seperti halnya dosen yang dituntut untuk mengembangkan penelitian akademis. Langkah ini berpotensi meningkatkan kualitas guru daripada jika mereka harus terlibat dalam tugas-tugas administratif sekolah. Mengingat upah guru yang masih tergolong rendah, beban tanggung jawab yang besar ini justru dapat mengurangi potensi mereka.
Meskipun pandangan ini mungkin akan menimbulkan perdebatan di kalangan tertentu, hal ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan fokus guru dalam mengembangkan potensi siswa di sekolah. Bagaimanapun, guru adalah sosok orang tua bagi ratusan murid di sekolah, yang layak mendapatkan hak dan fasilitas yang memadai, baik dari segi materi maupun kesempatan untuk mengembangkan diri.
Kurikulum yang senantiasa berganti
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah menerapkan berbagai kurikulum, mulai dari KTSP, K13, hingga yang terbaru, Kurikulum Merdeka. Pergantian kurikulum ini masih terkait dengan permasalahan pendidikan yang lebih luas. Setiap perubahan kurikulum memerlukan penyesuaian yang idealnya membutuhkan waktu cukup lama. Proses evaluasi untuk menilai kualitas suatu kurikulum seharusnya memakan waktu minimal 12 tahun, sesuai dengan masa wajib pendidikan dari SD, SMP, hingga SMA.
Namun, kenyataannya dalam 10 tahun terakhir, Indonesia telah menggunakan tiga kurikulum yang berbeda, tanpa memberikan waktu yang cukup untuk menilai apakah kurikulum-kurikulum tersebut efektif atau tidak. Akibatnya, kualitas output pendidikan pun terpengaruh. Baik siswa maupun guru tidak bisa sepenuhnya disalahkan jika kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh sistem pendidikan di Indonesia belum optimal. Mereka dipaksa beradaptasi dengan perubahan yang terus-menerus, dari satu sistem ke sistem yang baru, tanpa ada kesepakatan atau persiapan yang matang sebelumnya.
Situasi ini juga merupakan cerminan dari ketidakstabilan dalam politik Indonesia, yang menyebabkan sistem pendidikan---dan banyak sistem lainnya---tidak berjalan secara konsisten. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan tanpa landasan evaluasi yang kuat hanya memperburuk masalah, mengakibatkan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan menjadi bingung dan kurang mampu memberikan yang terbaik dalam peran mereka.
Pembunuhan Kreativitas Siswa dengan Pemaksaan Stigma dan Doktrin
Permasalahan ketiga ini mungkin akan memicu perdebatan, namun fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Di Indonesia, bahkan hampir di seluruh dunia, sistem pendidikan cenderung menerapkan doktrin terhadap siswanya. Pendidikan idealnya bukan sekadar standarisasi untuk menilai apakah siswa sesuai dengan pola pikir kurikulum, tetapi lebih kepada memahami konsep, membandingkannya dengan konsep lain, serta memiliki kemampuan untuk menilai dan meyakini mana konsep yang paling benar dan efektif.
Contohnya dapat dilihat pada pelajaran sejarah. Dari SD hingga SMA, siswa diajarkan untuk selalu menjawab sesuai dengan apa yang diajarkan oleh guru. Namun, sering kali guru hanya menggunakan satu sumber pembelajaran yang dianggap benar oleh negara. Pendapat atau informasi yang berbeda, meskipun masih masuk akal dan memiliki sumber yang valid, cenderung dianggap salah jika tidak sesuai dengan apa yang diajarkan. Meskipun maksud dari pendekatan ini mungkin untuk menghindari pemikiran ekstrem, hal tersebut justru dapat membatasi kreativitas siswa yang ingin mengeksplorasi metode lain di luar yang diajarkan.
Contoh lainnya dapat dilihat pada mata pelajaran agama Islam. Misalnya, ketika diajarkan bacaan sholat, siswa biasanya hanya diajarkan satu versi bacaan dari satu aliran saja, meskipun Indonesia sendiri memiliki berbagai aliran Islam. Pengalaman pribadi penulis menunjukkan bagaimana harus menyesuaikan diri dengan dua pemahaman bacaan sholat yang berbeda. Mungkin pembaca juga memiliki pengalaman serupa tentang ketidakrelevanan materi pelajaran sekolah dengan kehidupan nyata.
Hal ini terjadi karena adanya pemaksaan stigma dan doktrin yang dianggap benar oleh kurikulum, yang kemudian ditanamkan dalam pikiran siswa. Ketika kurikulum tersebut sudah tidak relevan lagi, siswa cenderung kehilangan kepercayaan terhadap pendidikan. Ini menunjukkan perlunya pendekatan pendidikan yang lebih fleksibel, yang tidak hanya mengajarkan satu sudut pandang, tetapi juga mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif.
Biaya Operasional Pendidikan
Akhir-akhir ini, isu mengenai tingginya biaya IPI (Iuran Pengembangan Institusi) dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) bagi mahasiswa baru angkatan 2024 menjadi sorotan, terutama di perguruan tinggi. Masalah ini cukup kompleks, di mana universitas dan pemerintah saling terlibat dalam diskusi yang tidak mudah. Pemerintah mendorong perguruan tinggi, terutama yang berstatus PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum), untuk lebih mandiri. Namun, kemandirian ini memaksa perguruan tinggi menaikkan IPI dan UKT demi memenuhi kebutuhan operasional kampus. Di sisi lain, perguruan tinggi juga harus menyediakan fasilitas yang layak bagi mahasiswanya, menciptakan lingkaran setan yang korbannya adalah mahasiswa.
Masalah serupa juga terjadi di sekolah menengah dan sekolah dasar, meskipun dalam konteks yang berbeda. Sekolah-sekolah ini memiliki kebutuhan operasional yang tinggi dan dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman serta berinovasi, yang semuanya membutuhkan biaya besar. Sekolah-sekolah cenderung bergantung pada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dari pemerintah. Namun, dengan berbagai kendala non-teknis yang dihadapi, dana BOS sering kali terasa kurang untuk pengembangan sekolah.
Lantas, siapa yang harus disalahkan dalam situasi ini? Apakah pemerintah yang gagal memberikan dukungan yang memadai? Apakah perguruan tinggi dan sekolah yang kurang efisien dalam mengelola anggaran? Atau mungkin, apakah peserta didik yang tidak memahami kompleksitas masalah ini? Silakan tulis pendapat Anda di kolom komentar!.
Stigma Sosial Tentang Pendidikan dan peran orangtua
Beberapa anggapan yang beredar di masyarakat sering kali menjadi penghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Pandangan seperti jurusan IPA lebih baik daripada jurusan IPS, standar kecerdasan anak diukur dari kemampuan matematika, atau anggapan bahwa olahraga hanyalah untuk bersenang-senang dan tidak layak dijadikan cita-cita, adalah beberapa contoh pemikiran yang menurut penulis sangat merugikan proses pendidikan di Indonesia. Pandangan-pandang ini membuat banyak siswa takut bermimpi tinggi karena khawatir cita-citanya tidak akan diterima atau dihargai oleh masyarakat.
Contoh lain yang kerap muncul adalah standar kesuksesan yang diukur dari profesi tertentu, seperti menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dokter, atau pegawai bank. Profesi-profesi ini memang baik dan terhormat, tetapi bagaimana dengan anak yang bercita-cita menjadi pelukis? Bagaimana nasib anak yang sejak kecil bermimpi menjadi atlet catur? Atau anak yang gemar menulis dan ingin menjadi sastrawan? Tidak jarang, anak-anak yang memiliki impian yang tidak dianggap "terhormat" di mata masyarakat, meskipun sebenarnya itu adalah pekerjaan yang baik, merasa harus mengubur mimpinya dalam-dalam atau bahkan menjauhi lingkungan sosialnya untuk mengejar cita-citanya.
Tekanan sosial yang mengharuskan anak mengikuti jalan yang diinginkan oleh masyarakat atau orang tua dapat mematikan potensi mereka. Banyak anak berbakat yang akhirnya terpaksa bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka, hanya untuk memenuhi harapan sosial yang ada. Hal ini mengakibatkan istilah "the right man in the right place" jarang terjadi di Indonesia. Masyarakat dan terkadang orang tua cenderung mengarahkan anak untuk menjadi seperti yang mereka inginkan, bukan seperti yang anak tersebut mampu dan ingin lakukan.
Pada akhirnya, kebanggaan atas pekerjaan dan pencapaian yang diciptakan oleh masyarakat sosial bisa menjadi bumerang bagi kemajuan bangsa. Untuk mencapai potensi penuh dari setiap individu, penting untuk menghargai dan mendukung keragaman cita-cita dan bakat, serta mengurangi tekanan sosial yang membatasi pilihan anak dalam mengejar apa yang benar-benar mereka inginkan dan mampu lakukan..
Sistem skripsi
Apakah sistem skripsi itu bagus? Secara umum, skripsi memiliki peran penting dalam pendidikan tinggi, terutama karena skripsi memungkinkan mahasiswa menghasilkan karya ilmiah yang mencerminkan pemahaman mereka terhadap materi yang telah dipelajari selama masa kuliah. Skripsi membantu mahasiswa mengasah kemampuan berpikir kritis, melakukan penelitian, dan mengembangkan metodologi---keterampilan yang sangat diperlukan, terutama bagi mereka yang bercita-cita menjadi akademisi.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apa manfaat skripsi bagi mahasiswa yang ingin menjadi praktisi? Apakah skripsi benar-benar relevan bagi mereka yang lebih tertarik pada karir praktis daripada jalur akademis? Pertanyaan ini layak untuk didiskusikan, terutama dalam konteks kurikulum Merdeka yang menawarkan program MSIB (Magang dan Studi Independen Bersertifikat).
Program MSIB dirancang untuk memberikan pengalaman praktis yang mendalam bagi mahasiswa yang ingin menjadi praktisi. Dalam program ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk menguji kualitas mereka melalui magang bersertifikat atau studi independen bersertifikat, di mana mereka menghadapi kasus nyata yang menuntut aplikasi keterampilan praktis. Bagi mahasiswa yang telah melalui program MSIB dengan baik, pertanyaan yang muncul adalah apakah mereka masih perlu menyusun skripsi untuk memenuhi syarat kelulusan?
Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa skripsi itu buruk, namun sebagai seseorang yang ingin menjadi praktisi, ada argumen yang kuat bahwa program MSIB sudah cukup untuk menguji dan mengembangkan keterampilan yang relevan. Proses seleksi untuk MSIB sudah ketat, dan program tersebut memberikan pengujian langsung terhadap kemampuan mahasiswa dalam konteks dunia nyata. Dengan demikian, bagi mahasiswa MSIB, menambahkan beban skripsi mungkin tidak selalu diperlukan, mengingat mereka sudah melalui proses evaluasi yang ketat dan praktis.
Pernyataan ini tentu dapat menimbulkan perdebatan, karena skripsi tetap dianggap sebagai puncak pencapaian akademis dalam tradisi pendidikan tinggi. Namun, dengan adanya program seperti MSIB, ada ruang untuk mempertimbangkan apakah skripsi adalah satu-satunya cara yang tepat untuk mengukur kelayakan kelulusan mahasiswa, terutama bagi mereka yang lebih condong ke dunia praktis daripada akademis..
Masih banyak faktor lain yang menjelaskan mengapa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu memberikan hasil yang maksimal bagi kemajuan bangsa. Namun, enam faktor yang telah dibahas di atas merupakan beberapa hal yang jarang disorot oleh masyarakat umum. Tentu saja, tidak semua pendapat penulis di atas sepenuhnya benar, dan mungkin hanya bisa dikatakan ada benarnya. Namun, tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan diskusi yang konstruktif dan, pada akhirnya, dapat memberikan setidaknya satu pandangan atau solusi baru bagi perbaikan sistem pendidikan di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI