Mohon tunggu...
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Penulis

Saya adalah mahasiswa yang gemar menulis, menulis untuk berpendapat dan menikmati waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mengupas Tuntas Permasalahan Pendidikan dari Sisi Pandang Lain

3 September 2024   11:25 Diperbarui: 3 September 2024   11:27 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Permasalahan ketiga ini mungkin akan memicu perdebatan, namun fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Di Indonesia, bahkan hampir di seluruh dunia, sistem pendidikan cenderung menerapkan doktrin terhadap siswanya. Pendidikan idealnya bukan sekadar standarisasi untuk menilai apakah siswa sesuai dengan pola pikir kurikulum, tetapi lebih kepada memahami konsep, membandingkannya dengan konsep lain, serta memiliki kemampuan untuk menilai dan meyakini mana konsep yang paling benar dan efektif.

Contohnya dapat dilihat pada pelajaran sejarah. Dari SD hingga SMA, siswa diajarkan untuk selalu menjawab sesuai dengan apa yang diajarkan oleh guru. Namun, sering kali guru hanya menggunakan satu sumber pembelajaran yang dianggap benar oleh negara. Pendapat atau informasi yang berbeda, meskipun masih masuk akal dan memiliki sumber yang valid, cenderung dianggap salah jika tidak sesuai dengan apa yang diajarkan. Meskipun maksud dari pendekatan ini mungkin untuk menghindari pemikiran ekstrem, hal tersebut justru dapat membatasi kreativitas siswa yang ingin mengeksplorasi metode lain di luar yang diajarkan.

Contoh lainnya dapat dilihat pada mata pelajaran agama Islam. Misalnya, ketika diajarkan bacaan sholat, siswa biasanya hanya diajarkan satu versi bacaan dari satu aliran saja, meskipun Indonesia sendiri memiliki berbagai aliran Islam. Pengalaman pribadi penulis menunjukkan bagaimana harus menyesuaikan diri dengan dua pemahaman bacaan sholat yang berbeda. Mungkin pembaca juga memiliki pengalaman serupa tentang ketidakrelevanan materi pelajaran sekolah dengan kehidupan nyata.

Hal ini terjadi karena adanya pemaksaan stigma dan doktrin yang dianggap benar oleh kurikulum, yang kemudian ditanamkan dalam pikiran siswa. Ketika kurikulum tersebut sudah tidak relevan lagi, siswa cenderung kehilangan kepercayaan terhadap pendidikan. Ini menunjukkan perlunya pendekatan pendidikan yang lebih fleksibel, yang tidak hanya mengajarkan satu sudut pandang, tetapi juga mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif.

Biaya Operasional Pendidikan

Akhir-akhir ini, isu mengenai tingginya biaya IPI (Iuran Pengembangan Institusi) dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) bagi mahasiswa baru angkatan 2024 menjadi sorotan, terutama di perguruan tinggi. Masalah ini cukup kompleks, di mana universitas dan pemerintah saling terlibat dalam diskusi yang tidak mudah. Pemerintah mendorong perguruan tinggi, terutama yang berstatus PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum), untuk lebih mandiri. Namun, kemandirian ini memaksa perguruan tinggi menaikkan IPI dan UKT demi memenuhi kebutuhan operasional kampus. Di sisi lain, perguruan tinggi juga harus menyediakan fasilitas yang layak bagi mahasiswanya, menciptakan lingkaran setan yang korbannya adalah mahasiswa.

Masalah serupa juga terjadi di sekolah menengah dan sekolah dasar, meskipun dalam konteks yang berbeda. Sekolah-sekolah ini memiliki kebutuhan operasional yang tinggi dan dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman serta berinovasi, yang semuanya membutuhkan biaya besar. Sekolah-sekolah cenderung bergantung pada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dari pemerintah. Namun, dengan berbagai kendala non-teknis yang dihadapi, dana BOS sering kali terasa kurang untuk pengembangan sekolah.

Lantas, siapa yang harus disalahkan dalam situasi ini? Apakah pemerintah yang gagal memberikan dukungan yang memadai? Apakah perguruan tinggi dan sekolah yang kurang efisien dalam mengelola anggaran? Atau mungkin, apakah peserta didik yang tidak memahami kompleksitas masalah ini? Silakan tulis pendapat Anda di kolom komentar!.

Stigma Sosial Tentang Pendidikan dan peran orangtua

Beberapa anggapan yang beredar di masyarakat sering kali menjadi penghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Pandangan seperti jurusan IPA lebih baik daripada jurusan IPS, standar kecerdasan anak diukur dari kemampuan matematika, atau anggapan bahwa olahraga hanyalah untuk bersenang-senang dan tidak layak dijadikan cita-cita, adalah beberapa contoh pemikiran yang menurut penulis sangat merugikan proses pendidikan di Indonesia. Pandangan-pandang ini membuat banyak siswa takut bermimpi tinggi karena khawatir cita-citanya tidak akan diterima atau dihargai oleh masyarakat.

Contoh lain yang kerap muncul adalah standar kesuksesan yang diukur dari profesi tertentu, seperti menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dokter, atau pegawai bank. Profesi-profesi ini memang baik dan terhormat, tetapi bagaimana dengan anak yang bercita-cita menjadi pelukis? Bagaimana nasib anak yang sejak kecil bermimpi menjadi atlet catur? Atau anak yang gemar menulis dan ingin menjadi sastrawan? Tidak jarang, anak-anak yang memiliki impian yang tidak dianggap "terhormat" di mata masyarakat, meskipun sebenarnya itu adalah pekerjaan yang baik, merasa harus mengubur mimpinya dalam-dalam atau bahkan menjauhi lingkungan sosialnya untuk mengejar cita-citanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun