Mohon tunggu...
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Penulis

Saya adalah mahasiswa yang gemar menulis, menulis untuk berpendapat dan menikmati waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Aksi Mahasiswa Ricuh? Salah Siapa?

2 September 2024   13:08 Diperbarui: 2 September 2024   13:18 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, kita sering menyaksikan demonstrasi mahasiswa yang berujung ricuh, bahkan mengakibatkan luka-luka pada peserta aksi yang harus dirawat di rumah sakit karena bentrokan dengan aparat kepolisian. Bagi polisi, para demonstran kerap dianggap sebagai perusak ketertiban umum. Namun, di sisi lain, mahasiswa merasa mereka tengah menyalurkan aspirasi masyarakat. Aksi demonstrasi yang berujung kekerasan ini terjadi di berbagai daerah, seperti Semarang, Medan, dan lain-lain. Sebelum melanjutkan tulisan ini, perlu ditegaskan bahwa penulis tidak bermaksud menyoroti isi dari demonstrasi tersebut maupun menyalahkan salah satu pihak, baik mahasiswa maupun aparat.

Apakah demonstrasi itu salah? Jawabannya tidak. Demonstrasi merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Meski demikian, aksi demonstrasi tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa izin. Berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 9 Tahun 1998, pemberitahuan mengenai rencana demonstrasi harus mencakup beberapa hal, antara lain:

1. Maksud dan tujuan aksi;

2. Tempat, lokasi, dan rute yang akan dilalui;

3. Waktu dan durasi aksi;

4. Bentuk aksi;

5. Penanggung jawab aksi;

6. Nama dan alamat organisasi, kelompok, atau individu yang terlibat;

7. Alat peraga yang akan digunakan;

8. Jumlah peserta aksi.

Kebebasan berpendapat di muka umum memang sangat dilindungi oleh hukum di Republik Indonesia. Setiap pihak yang berusaha menghalangi penyampaian pendapat tersebut dapat dikenakan sanksi pidana, dengan ancaman penjara paling lama satu tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Namun, dalam konteks demonstrasi yang sering kali berujung rusuh, menarik untuk menelaah apa yang sebenarnya menyebabkan kericuhan dan siapa yang patut disalahkan.

Pada dasarnya, seorang polisi hanya menjalankan tugas sesuai perintah atasan dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. Namun, sebagai manusia, polisi bisa saja terpancing emosi saat menghadapi tekanan yang intens, yang dapat mempengaruhi cara mereka bertindak. Apakah tindakan tersebut bisa dibenarkan? Tentu tidak. Dari perspektif profesionalisme, bekerja dengan emosi dan perasaan sangat dilarang. Namun, dalam situasi tertentu, kepala kepolisian mungkin merasa perlu mengambil keputusan yang memaksa dan berisiko, yang justru dapat memperparah situasi.

Di sisi lain, mahasiswa yang berdemonstrasi memiliki tujuan utama untuk menyampaikan aspirasi mereka. Namun, sering kali pihak yang ingin mereka temui tidak bersedia atau tidak dapat menemui mereka, yang menambah frustrasi di kalangan demonstran. Jika polisi terlihat memihak kepada demonstran, hal tersebut juga bisa menjadi boomerang bagi institusi kepolisian. Kesimpulannya, baik mahasiswa maupun polisi adalah korban dalam situasi seperti ini. Polisi hanya menjalankan tugasnya sesuai kewajiban, sementara mahasiswa hanya ingin aspirasinya didengar. Kedua pihak berada dalam posisi yang sulit, di mana kesalahpahaman dan tekanan dapat dengan mudah memicu kericuhan.

Apakah aksi mahasiswa itu penting? Jawabannya sangat penting. Tan Malaka pernah berkata, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda." Melalui aksi demonstrasi, mahasiswa dapat menyatakan sikap mereka, apakah mendukung atau menolak kebijakan yang diambil oleh negara atau pemerintah. Mereka berperan sebagai oposisi yang mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah, sehingga membantu menjaga keseimbangan dalam pengambilan keputusan. Dengan aksi-aksi ini, mahasiswa juga menghidupkan dan menerapkan demokrasi di Indonesia, menunjukkan bahwa mereka peduli dan tidak apatis terhadap kondisi negara.

Namun, sebagai demonstran, penting untuk tidak berharap bahwa tuntutan akan selalu dipenuhi. Hal ini disebabkan oleh sifat politik yang kadang-kadang penuh dengan kemunafikan. Bahkan jika tuntutan dipenuhi, kita tidak pernah tahu apa yang menjadi motivasi sebenarnya di balik keputusan tersebut, karena sebagai masyarakat sipil, kita hanya bisa melihat dari luar, melalui media atau informasi terbatas lainnya. Kita tidak tahu siapa sebenarnya yang berperan sebagai tokoh antagonis atau protagonis dalam "teater" politik negara ini. Oleh karena itu, mahasiswa boleh saja berdemonstrasi, tetapi tidak disarankan untuk melakukannya secara berlebihan, karena hasil yang didapatkan mungkin tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Mungkin ini terdengar pahit, tetapi begitulah kenyataannya.

Satu-satunya cara untuk benar-benar merubah negara ini adalah dengan terjun langsung ke dalam dunia politik. Dengan bergabung sebagai aktor politik, seseorang dapat memahami dan mengenal iklim politik dari dalam. Sebab, sekeras apa pun suara yang diangkat dalam demonstrasi, pada akhirnya, keputusan ada di tangan mereka yang memegang kekuasaan, yang diwakili oleh tanda tangan di atas kertas dan palu sidang yang berbunyi dua kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun