Kebebasan berpendapat di muka umum memang sangat dilindungi oleh hukum di Republik Indonesia. Setiap pihak yang berusaha menghalangi penyampaian pendapat tersebut dapat dikenakan sanksi pidana, dengan ancaman penjara paling lama satu tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Namun, dalam konteks demonstrasi yang sering kali berujung rusuh, menarik untuk menelaah apa yang sebenarnya menyebabkan kericuhan dan siapa yang patut disalahkan.
Pada dasarnya, seorang polisi hanya menjalankan tugas sesuai perintah atasan dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. Namun, sebagai manusia, polisi bisa saja terpancing emosi saat menghadapi tekanan yang intens, yang dapat mempengaruhi cara mereka bertindak. Apakah tindakan tersebut bisa dibenarkan? Tentu tidak. Dari perspektif profesionalisme, bekerja dengan emosi dan perasaan sangat dilarang. Namun, dalam situasi tertentu, kepala kepolisian mungkin merasa perlu mengambil keputusan yang memaksa dan berisiko, yang justru dapat memperparah situasi.
Di sisi lain, mahasiswa yang berdemonstrasi memiliki tujuan utama untuk menyampaikan aspirasi mereka. Namun, sering kali pihak yang ingin mereka temui tidak bersedia atau tidak dapat menemui mereka, yang menambah frustrasi di kalangan demonstran. Jika polisi terlihat memihak kepada demonstran, hal tersebut juga bisa menjadi boomerang bagi institusi kepolisian. Kesimpulannya, baik mahasiswa maupun polisi adalah korban dalam situasi seperti ini. Polisi hanya menjalankan tugasnya sesuai kewajiban, sementara mahasiswa hanya ingin aspirasinya didengar. Kedua pihak berada dalam posisi yang sulit, di mana kesalahpahaman dan tekanan dapat dengan mudah memicu kericuhan.
Apakah aksi mahasiswa itu penting? Jawabannya sangat penting. Tan Malaka pernah berkata, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda." Melalui aksi demonstrasi, mahasiswa dapat menyatakan sikap mereka, apakah mendukung atau menolak kebijakan yang diambil oleh negara atau pemerintah. Mereka berperan sebagai oposisi yang mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah, sehingga membantu menjaga keseimbangan dalam pengambilan keputusan. Dengan aksi-aksi ini, mahasiswa juga menghidupkan dan menerapkan demokrasi di Indonesia, menunjukkan bahwa mereka peduli dan tidak apatis terhadap kondisi negara.
Namun, sebagai demonstran, penting untuk tidak berharap bahwa tuntutan akan selalu dipenuhi. Hal ini disebabkan oleh sifat politik yang kadang-kadang penuh dengan kemunafikan. Bahkan jika tuntutan dipenuhi, kita tidak pernah tahu apa yang menjadi motivasi sebenarnya di balik keputusan tersebut, karena sebagai masyarakat sipil, kita hanya bisa melihat dari luar, melalui media atau informasi terbatas lainnya. Kita tidak tahu siapa sebenarnya yang berperan sebagai tokoh antagonis atau protagonis dalam "teater" politik negara ini. Oleh karena itu, mahasiswa boleh saja berdemonstrasi, tetapi tidak disarankan untuk melakukannya secara berlebihan, karena hasil yang didapatkan mungkin tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Mungkin ini terdengar pahit, tetapi begitulah kenyataannya.
Satu-satunya cara untuk benar-benar merubah negara ini adalah dengan terjun langsung ke dalam dunia politik. Dengan bergabung sebagai aktor politik, seseorang dapat memahami dan mengenal iklim politik dari dalam. Sebab, sekeras apa pun suara yang diangkat dalam demonstrasi, pada akhirnya, keputusan ada di tangan mereka yang memegang kekuasaan, yang diwakili oleh tanda tangan di atas kertas dan palu sidang yang berbunyi dua kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H