Akhir-akhir ini, kita sering menyaksikan demonstrasi mahasiswa yang berujung ricuh, bahkan mengakibatkan luka-luka pada peserta aksi yang harus dirawat di rumah sakit karena bentrokan dengan aparat kepolisian. Bagi polisi, para demonstran kerap dianggap sebagai perusak ketertiban umum. Namun, di sisi lain, mahasiswa merasa mereka tengah menyalurkan aspirasi masyarakat. Aksi demonstrasi yang berujung kekerasan ini terjadi di berbagai daerah, seperti Semarang, Medan, dan lain-lain. Sebelum melanjutkan tulisan ini, perlu ditegaskan bahwa penulis tidak bermaksud menyoroti isi dari demonstrasi tersebut maupun menyalahkan salah satu pihak, baik mahasiswa maupun aparat.
Apakah demonstrasi itu salah? Jawabannya tidak. Demonstrasi merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Meski demikian, aksi demonstrasi tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa izin. Berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 9 Tahun 1998, pemberitahuan mengenai rencana demonstrasi harus mencakup beberapa hal, antara lain:
1. Maksud dan tujuan aksi;
2. Tempat, lokasi, dan rute yang akan dilalui;
3. Waktu dan durasi aksi;
4. Bentuk aksi;
5. Penanggung jawab aksi;
6. Nama dan alamat organisasi, kelompok, atau individu yang terlibat;
7. Alat peraga yang akan digunakan;
8. Jumlah peserta aksi.