Ibu Pertiwi seakan tak berhenti menangis, rentetan kejadian yang membuat negeri ini semakin terpuruk di era modernisasi yang kian hari semakin meliputi wajah Indonesia. Dihantam badai Pilpres yang membuat Cebong dan Kampret menjadi dua wajah rakyat Indonesia, Tragedi Sarinah Jakarta 21-22 Mei yang membuat kembali Jakarta sempat mencekam.Â
Tak sampai disini, Ibu Pertiwi kembali harus merasakan sesak akibat tumpah darah yang terjadi, kasus Papua pun kembali naik dan sempat memanas beberapa lama.
Lalu persoalan isu perpindahan Ibu Kota ke pulau Kalimantan yang tak lama terjadi kebakaran hutan yang sangat menganggu di Sumatera serta Kalimantan, banyak pikiran negatif dari masyarakat itu tidak terjadi begitu saja.
 Lalu yang menjadi titik klimaks ialah saat terburu-burunya para Dewan terhormat yang duduk dibangku Parlemen ingin mensahkan RUU KUHP serta UU KPK, betapa mirisnya konsolidasi politik di negeri ini dalam merancang formula penegakkan hukum di Indonesia.
Tanda tanya mencuat khususnya untuk Parlemen dengan dugaan adanya cacat prosedur kala menyodorkan revisi UU KPK. Komitmen politik yang baik sangat dibutuhkan diantara dua kekuasaan, legislatif dan eksekutif untuk merancang hukum antikorupsi yang baik untuk negeri.Â
Karena selama ini, cenderung adanya kepentingan untuk golongan-golongan tertentu demi membuat celah yang rapuh bagi tegaknya hukum.
Revisi UU KPK padahal tidak termasuk ke dalam RUU prioritas dalam Prolegnas 2019 yang disepakati antara Parlemen dan Pemerintah. Tidak adanya RUU KPK dalam Prolegnas, namun muncul sangat kuat diakhir periode kekuasaan para anggota dewan, menandakan seolah terjadi praktek jual beli diantara proses politik hukum di Indonesia.
Adanya pasal revisi membuat seolah-olah wajah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK selama ini bobrok di mata Parlemen.
Jelas sekali adanya RUU KPK membuat citra dan masa depan KPK menjadi suram di masa yang akan datang, dengan dalih demi penguatan pasal, tapi dalam praktiknya menjadikan KPK lembaga lemah dan tunduk kepada penguasa demi memuluskan ruang gerak mereka.
Hutan yang di Bakar, kenapa KPK yang di Padamkan?
Beberapa point penting yang perlu di kritisi, tak lain ialah pegawai KPK yang dikhawatirkan tidak lagi independen karena KPK yang akan menjadi Aparatur Sipil Negara, lalu tidak bebasnya KPK saat harus melakukan penggeledahan, penyitaan bahkan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang harus melewati izin terlebih dahulu kepada para dewan pengawas KPK.Â
Point-point seperti itulah yang sangat membuat wajah suram KPK akan terlihat nyata, Indonesia kini dirundung sekali masalah, tak lain dengan terbakarnya hutan-hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan, lalu kenapa Hutan yang di Bakar tapi KPK yang di padamkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H