Studium Generale yang diadakan oleh program studi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang pada kesempatan kali ini speaker nya adalah Dr. Sophia Arjana dari Western Kentucky University dan Dr. Fatma Dian Pratiwi, M.Si. dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam seminar tersebut membahas tema mengenai media, islam dan budaya populer: "Tranformasi Komunikasi dan Pergeseran Otoritas".
Ketika islam sudah menjadi pragmatis maka yang dirasa hanya menjadi bagian kehidupan tetapi tidak bisa mengharapkan kehidupan. Dalam hal tersebut sesuai dengan values UIN Sunan Kalijaga yaitu Integrasi Interkoneksi, maka mahasiswa ilmu komunikasi harus menjadi pionir karena baik siswa/I SMA, MAN dan lain-lain mengidolakan dan memimpikan untuk menjadi ahli komunikasi.
Solusi untuk problem antara islam dan komunikasi yaitu dengan Kembali ke values integrasi interkoneksi atau paling tidak bisa menggunakan praktek hidup nabi dan menggunakan ayat-ayat yang membahas mengenai komunikasi sebagai rujukan.
Nabi Muhammad SAW. Adalah seorang komunikator hebat yang menjadi nabi paling besar dan  sampai sekarang terus bertambah umatnya, karena nabi itu seorang komunikator yang dahsyat seperti pada cerita bahwa nabi itu banyak berkegiatan di pasar untuk membangun dan menjalin komunikasi, arti dari cerita tersebut yaitu komunikasi yang baik itu harus dibangun dari proses kehidupan nyata dan sekarang sudah masuk pada dunia maya dan budaya popular maka tanggung jawab bagi komunikasi semakin besar apalagi di UIN yang komunikasi nya juga ada sentuhan keislamannya.
Otoritas Ketika tidak dikontrol dengan values maka akan menjadi otoriter, pelaku otoriterisme adalah tokoh-tokoh atau pemimpin muslim, walaupun dalam pengetahuan tentang keislaman totkoh-tokoh tersebut sangat luar biasa tetapi otoritas keilmuannya tiba-tiba menjadi otoriterisme. Nilai yang harus dibangun yaitu otoritas karena otoritas itu dasarnya ilmu, kesadaran dan humanistic. Otoriter sifatnya untuk menguasai atau mendapatkan kekuasaan sedangkan otritas itu kekuasaan yang digunakan untuk kemaslahatan.
Tanggung jawab komunikatif yaitu bagaimana kehidupan menjadi serasi, selaras dan seimbang. Kehidupan yang saling menyapa dan kehidupan yang saling memberi atau dalam Bahasa sekarang mubadalah yaitu kesalingan, maka dari itu ilmu komunikasi adalah ilmu yang membangung kesalingan.
Dunia barat terutama di Amerika menggambarkan islam menggunakan sebuah komik yang dimana dalam komik tersebut ada superhero Wanita pertama yang berhijab yang menjadi hero atau yang lebih dikenal dengan sebutan Qahera superhero yang siap membela kaum Perempuan. Qahera sendiri memiliki arti menang atau penakluk dalam Bahasa Arab untuk kairo.
Komik tersebut mulai mendapat perhatian dari public khususnya Ketika ditulis dalam Bahasa inggris, menurut Deena sebagai pembuat komik qahera, konsep superhero adalah produk budaya dari Amerika Serikat, tokoh pahlawan diciptakan untuk melawan penjahat super. Namun, menurut Deena ada banyak permasalahan 'real' di kehidupan sehari-hari yang lebih cocok untuk dibela para pahlawan.
Indonesia menggambarkan islam menggunakan konteks di media social influencer. Gelombang baru influencer atau pengaruh dalam media social telah muncul dikomunitas muslim, istilah influencer yang muncul sebagai manifestasi bentuk baru seniman atau selebriti yang sampai saat ini hanya dipahami sebagai gambaran public ditelevisi. Zaman Sekarang untuk menjadi terkanal secara instan yaitu melalui media social influencer.
Pada definisi lain, Hayes menjelaskan asumsi ini dengan menyatakan bahwa influencer adalah pihak ketiga penting yang mempengaruhi Keputusan pembelian pelanggan serta bertanggung jawab karena dalam mempromosikan suatu produk, influencer akan diwajibkan untuk mereview produk sendiri dan jujur ulasan kepada pengikut (Brown and Hayes, 2008).
Pengaruh media sosial adalah pemimpin yang tersurat, pemimpin inovatif ini membuat konten islam lebih mudah didekat dan melibatkanpemuda/I muslim, yang membedakan mereka dari pemimpin tradisional. Masa depan konten agama islam di platform digital tidak pasti karena kemajuan AI dan Otomatisasi. Kecerdasan buatan dan bot dapat menciptakan konten dan fatwas agama yang disesuaikan. Memahami bagaimana gummies memperhatikan individualitas dan otoritas sangat penting dalam budaya otomatis saat ini karena terjadi ketimpangan dalam otoritas agama.
Penting bagi para ahli komunikasi menjadi penguasa media yang otoritas bukan menjadi penguasa yang otoriterisme, karena dengan memiliki kekuasaan yang otoritas yang tetap memegang teguh nilai-nilai keislaman  seperti orang yang berpengaruh atau influencer akan lebih bermanfaat untuk para pengikutnya dan bermaslahat untuk semua orang.