Tahun baru seperti halnya musim peralihan, tentunya selalu menjadi momen yang penuh makna.
Untuk mengingat yang telah berlalu, merencanakan yang akan datang, dan merenungkan perjalanan hidup.
Bagi banyak orang di Jakarta, momen menyambut tahun baru bukan hanya soal pesta kembang api atau perayaan dengan teman-teman, tetapi juga soal refleksi, harapan, dan keresahan yang datang dengan hidup di tanah rantau.
Jakarta, sebagai (mantan) ibu kota negara yang menjadi pusat perekonomian, budaya, dan segala jenis dinamika sosial, sering kali menjadi tempat yang menawarkan segala kemungkinan bagi para pendatang.
Sebagai kota yang menyedot berbagai orang dari seluruh penjuru Indonesia, Jakarta tak hanya sekedar menjadi tempat tinggal, melainkan sebagai simbol perjuangan, pencapaian, dan kegagalan.
Di tanah rantau ini, tiap tahun baru tak hanya sekedar detik-detik pergantian kalender, tetapi juga tentang jeda waktu yang mengajak kita menilai ulang hidup, mencari makna, dan bertanya pada diri sendiri, "Apa yang sudah saya capai di sini dan apa yang saya harapkan dari tahun yang baru?"
Kota Penuh Kontradiksi
Sebagai seorang perantau, Jakarta adalah kota yang menawarkan beragam kontras. Di satu sisi, Jakarta adalah kota yang penuh dengan peluang. Layaknya magnet besar, kota ini menarik siapa saja yang mencari pekerjaan, kehidupan yang lebih baik, atau kesempatan untuk mewujudkan mimpi.
Di sisi lain, Jakarta juga dikenal dengan kemacetan yang tak ada habisnya, polusi udara yang menghantui, serta ketimpangan sosial yang semakin lebar.
Kota ini seperti sebuah panggung besar tempat para 'pejuang' hidup untuk saling berlomba menjadi yang terbaik, dan terkadang mengorbankan banyak hal.