Bagi keluarga miskin yang sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, kenaikan harga akibat PPN 12% bisa memaksa mereka untuk mengurangi konsumsi. Bahkan, mengorbankan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Peningkatan PPN ini juga akan memberikan dampak yang besar bagi pekerja di sektor informal yang tidak memiliki jaminan sosial yang memadai dan penghasilan yang tetap.
Pekerja harian atau pedagang kaki lima, yang sebagian besar dari mereka adalah anggota masyarakat miskin, akan merasakan dampak langsung dari kenaikan harga barang dan jasa yang mereka jual atau konsumsi.
Mereka mungkin harus menanggung beban tambahan dengan menaikkan harga jual produk mereka, dan pada gilirannya bisa mengurangi daya beli konsumen.
Meningkatkan PPN di tengah Ketimpangan Sosial
Ketika pemerintah menaikkan PPN, ini sering kali didasarkan pada argumen bahwa pajak tersebut lebih adil karena diterapkan secara merata kepada semua orang tanpa memandang status ekonomi mereka. Tetapi, apakah itu benar-benar adil?
Dalam kenyataannya, PPN adalah pajak yang regresif. Artinya, semakin rendah penghasilan seseorang, semakin besar persentase dari penghasilannya yang digunakan untuk membayar pajak ini.
Dengan demikian, kenaikan PPN 12% secara tidak langsung akan membebani masyarakat miskin lebih besar daripada mereka yang memiliki pendapatan lebih tinggi.
Sebagai contoh, mari kita bayangkan seseorang dengan penghasilan 3 juta per bulan. Apabila harga barang-barang pokok naik karena PPN 12%, orang ini akan merasakan dampaknya secara langsung, karena sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari.
Sementara, orang yang berpenghasilan 30 juta per bulan, mungkin tidak merasa begitu terpengaruh oleh kenaikan harga barang karena proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokoknya lebih kecil.
Ini adalah salah satu paradoks dalam sistem perpajakan Indonesia yang tanpa diketahui siapa yang diuntungkan atas kebijakan tersebut?