Pilkada DKI Jakarta 2024 memberikan banyak pelajaran penting dalam dinamika politik Indonesia, termasuk di dalamnya pembentukan narasi dan citra yang bisa berpengaruh besar pada hasil Pemilihan.
Salah satu fenomena yang cukup menarik, kontroversial dan menyita banyak perhatian adalah narasi soal "janda" yang dibangun oleh tim kampanye Ridwan Kamil-Suswono, yang kemudian berujung pada kekalahan mereka.
Kendati awalnya narasi tersebut mungkin tampak sekedar strategi politik untuk meraih simpati atau dukungan tertentu, namun pada kenyataannya justru menjadi boomerang yang merugikan kandidat 01 tersebut.
Oleh sebab itu, penulis akan mencoba menelaah narasi "janda" yang membelenggu Ridwan Kamil-Suswono yang mengakibatkannya kalah dalam kontestasi. Mari kita telaah bersama-sama.
Kekuatan Narasi dalam Politik
Narasi dalam politik memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk opini publik, dan mempengaruhi keputusan pemilih. Menurut teori framing dalam ilmu komunikasi, cara suatu peristiwa atau fenomena dibicarakan akan membentuk persepsi masyarakat terhadap hal tersebut.
Dalam konteks ini, narasi "janda" yang dicanangkan oleh tim kampanye Ridwan Kamil-Suswono berusaha untuk membangun citra tertentu mengenai calon ini. Namun narasi tersebut yang seharusnya bisa memperkuat posisi mereka, malah menimbulkan persepsi negatif yang sulit untuk dihapuskan.
Oleh karena dalam budaya Indonesia terutama DKI Jakarta, status sosial perempuan (termasuk status "janda") seringkali dipandang melalui lensa stereotip.
Narasi "janda" yang dibangun oleh tim kampanye bisa jadi terkesan memanfaatkan status pribadi calon atau keluarganya untuk menarik simpati. Namun, pada saat yang sama dapat mengundang pandangan negatif.
Beberapa survei menunjukkan bahwa pemilih di Indonesia cenderung lebih konservatif dalam hal moralitas dan norma sosial. Ini menjadi masalah apabila narasi yang dibangun tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka junjung (Hernadi, 2015).
Stigma Sosial terhadap Perempuan dalam Politik
Narasi"janda" ini lebih dari sekedar pembentukan citra. Menyentuh isu yang lebih sensitif soal bagaimana masyarakat memandang perempuan dalam konteks sosial dan politik. Menurut studi yang dilakukan oleh Nisa (2020), stigma terhadap perempuan yang berstatus janda masih kuat di banyak daerah di Indonesia.
Dalam banyak kasus, perempuan "janda" dianggap kurang stabil secara emosional atau bahkan kurang beruntung yang dapat mempengaruhi pandangan terhadap mereka dalam ranah publik, termasuk dalam dunia politik.
Namun demikian, dalam hal ini Ridwan Kamil-Suswono dengan narasi "janda" yang mereka bangun adalah bagian dari keterjebakan dalam stereotip yang membatasi mereka. Alih-alih memperkuat kesan kedekatan mereka, narasi ini justru memunculkan keraguan dari pemilih yang lebih konservatif.
Selain itu, kampanye ini terkesan lebih mengutamakan citra pribadi daripada platform politik yang lebih substansial. Padahal pemilih DKI Jakarta, yang mayoritas merupakan masyarakat urban dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih fokus pada isu-isu kebijakan daripada soal status pribadi (Sihombing, 2021).
Dinamika Pemilih Muda dan Keberagaman Pilihan Politik
Pilkada DKI Jakarta selalu menjadi arena pertarungan antar calon dengan latar belakang yang berbeda, baik dari sisi etnis, agama, maupun pandangan politik. Pemilih DKI Jakarta, khususnya pemilih muda dikenal sangat kritis dan cerdas dalam menilai kinerja dan citra kandidat.
Pemilih muda DKI Jakarta cenderung lebih mementingkan substansi kebijakan daripada narasi yang bersifat pribadi dan emosional (Puspitasari, 2019).
Narasi "janda" yang dibangun oleh Ridwan Kamil-Suswono apabila ditelaah dari perspektif pemilih muda mungkin terkesan tidak relevan. Bagi pemilih muda DKI Jakarta, isu kebijakan publik yang konkret seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur jauh lebih penting daripada status pribadi.
Oleh karena itu, meski narasi ini bertujuan untuk menciptakan kedekatan emosional, namun malah dianggap sebagai langkah mundur dalam kontestasi Pilkada yang semakin dipenuhi dengan diskusi mengenai isu-isu besar yang lebih relevan dengan kepentingan publik.
Kehilangan Arah dalam Membangun Citra Publik
Salah satu kesalahan strategis yang dilakukan oleh tim kampanye Ridwan Kamil-Suswono adalah mereka terlalu fokus pada aspek personal, namun mengabaikan isu-isu kebijakan yang dapat menarik dukungan luas dari masyarakat.
Dalam kajian politik, strategi kampanye yang terlalu mengutamakan aspek personal atau narasi yang bersifat emosional cenderung mengalihkan perhatian pemilih isu-isu substantif yang lebih penting (Prasetyo, 2018).
Hal ini sangat jelas terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta 2024, dimana banyak pemilih lebih tertarik untuk mendengar pemaparan mengenai bagaimana calon akan menangani masalah perkotaan seperti banjir, kemacetan, ketimpangan sosial, ekonomi, layanan publik dan kesehatan, bukan malah status pribadi dengan narasi "janda".
Kelemahan ini menjadi semakin nyata ketika lawan politik mereka lebih fokus pada program-program kebijakan yang lebih konkret dan solusi nyata untuk permasalahan yang terdapat di DKI Jakarta.
Kandidat yang memiliki narasi berbasis pada keberhasilan konkret, baik itu dalam hal pengalaman atau visi kebijakan, cenderung lebih berhasil memenangkan hati pemilih.
Pentingnya Keseimbangan antara Citra Pribadi dan Kebijakan
Dari dinamika Pilkada DKI Jakarta 2024, kita bisa belajar bahwa dalam dunia politik kontemporer terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah di kota besar seperti di Jakarta, sangat penting bagi para calon untuk menjaga keseimbangan antara citra pribadi dan substansi kebijakan.
Narasi "janda" yang dibangun oleh Ridwan Kamil-Suswono terbukti hanya menjadi boomerang apabila tidak disertai dengan pemaparan visi dan misi yang jelas serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat.
Pemilih kini semakin cerdas dan lebih kritis, terutama dalam mengidentifikasi apa yang lebih penting daripada citra pribadi yang dibangun dengan narasi tertentu atau kebijakan yang akan membawa perubahan nyata.
Pilkada DKI Jakarta 2024 memberikan pelajaran penting bahwa narasi yang tidak tepat, apalagi yang cenderung mengarah pada stereotip sosial, dapat menjadi faktor yang merugikan dalam sebuah kontestasi politik.
Untuk itu, calon-calon pemimpin harus lebih berhati-hati dalam membangun narasi dan personal branding-nya, serta lebih fokus pada apa yang benar-benar penting bagi pemilih, utamanya dalam menawarkan kebijakan yang efektif dan solusi yang nyata berbasis kebutuhan masyarakat.
Referensi
Hernadi, A. (2015). Framing Politik dalam Media: Perspektif Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Nisa, R. (2020). Stigma Sosial dan Perempuan dalam Politik: Perspektif Gender. Jakarta: Universitas Indonesia.
Puspitasari, A. (2019). Pemilih Muda dan Pengaruhnya terhadap Dinamika Politik di Jakarta. Rajawali.
Prasetyo, B. (2018). Strategi Kampanye dalam Pemilihan Umum dan Pilkada. Jakarta: Kompas.
Sihombing, T. (2021). Konsolidasi Pemilih Urban dalam Pilkada DKI Jakarta. Jakarta: Salemba Empat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H