Stigma Sosial terhadap Perempuan dalam Politik
Narasi"janda" ini lebih dari sekedar pembentukan citra. Menyentuh isu yang lebih sensitif soal bagaimana masyarakat memandang perempuan dalam konteks sosial dan politik. Menurut studi yang dilakukan oleh Nisa (2020), stigma terhadap perempuan yang berstatus janda masih kuat di banyak daerah di Indonesia.
Dalam banyak kasus, perempuan "janda" dianggap kurang stabil secara emosional atau bahkan kurang beruntung yang dapat mempengaruhi pandangan terhadap mereka dalam ranah publik, termasuk dalam dunia politik.
Namun demikian, dalam hal ini Ridwan Kamil-Suswono dengan narasi "janda" yang mereka bangun adalah bagian dari keterjebakan dalam stereotip yang membatasi mereka. Alih-alih memperkuat kesan kedekatan mereka, narasi ini justru memunculkan keraguan dari pemilih yang lebih konservatif.
Selain itu, kampanye ini terkesan lebih mengutamakan citra pribadi daripada platform politik yang lebih substansial. Padahal pemilih DKI Jakarta, yang mayoritas merupakan masyarakat urban dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih fokus pada isu-isu kebijakan daripada soal status pribadi (Sihombing, 2021).
Dinamika Pemilih Muda dan Keberagaman Pilihan Politik
Pilkada DKI Jakarta selalu menjadi arena pertarungan antar calon dengan latar belakang yang berbeda, baik dari sisi etnis, agama, maupun pandangan politik. Pemilih DKI Jakarta, khususnya pemilih muda dikenal sangat kritis dan cerdas dalam menilai kinerja dan citra kandidat.
Pemilih muda DKI Jakarta cenderung lebih mementingkan substansi kebijakan daripada narasi yang bersifat pribadi dan emosional (Puspitasari, 2019).
Narasi "janda" yang dibangun oleh Ridwan Kamil-Suswono apabila ditelaah dari perspektif pemilih muda mungkin terkesan tidak relevan. Bagi pemilih muda DKI Jakarta, isu kebijakan publik yang konkret seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur jauh lebih penting daripada status pribadi.
Oleh karena itu, meski narasi ini bertujuan untuk menciptakan kedekatan emosional, namun malah dianggap sebagai langkah mundur dalam kontestasi Pilkada yang semakin dipenuhi dengan diskusi mengenai isu-isu besar yang lebih relevan dengan kepentingan publik.
Kehilangan Arah dalam Membangun Citra Publik