Mohon tunggu...
Muhammad Rafly Setiawan
Muhammad Rafly Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Manager Pemantauan Nasional Netfid Indonesia

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang memiliki hobi travelling, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Literasi Politik: Gen Z Jadi Pemilih Cerdas

18 November 2024   19:07 Diperbarui: 25 Desember 2024   20:03 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Gen Z Jadi Pemilih Cerdas | Yazid Nasuha via Kompas.com


Pilkada serentak 2024 tinggal menghitung hari. Dan seperti biasa, media sosial kita akan dipenuhi oleh berbagai postingan, meme, hingga tagar seperti #pilihpemimpincerdas. 

Bicara soal Pilkada, Gen Z (yang lahir antara 1997-2012), merasa bahwa urusan Pilkada tidak penting-penting amat. Setelah semua drama TikTok dan trend challenge yang lebih mendominasi timeline. Oleh karena itu, siapa yang peduli sama debat kandidat atau program kerja calon kepala daerah?

Namun demikian, keberhasilan Pilkada dan kualitas kepemimpinan daerah ke depannya sangat bergantung pada sejauhmana Gen Z (yang sebagian besar sudah berhak memilih) terlibat aktif dalam proses demokrasi ini?

Oleh sebab itu, penulis akan membahas kenapa literasi politik itu penting bagi Gen Z agar bisa berperan aktif dalam Pilkada serentak 2024 tanpa terjebak hanya jadi penonton drama tv yang lebih seru daripada drama politik. Mari kita bahas secara bersama.

Gen Z: Digital Natives, tapi Belum Politically Savvy

Gen Z adalah generasi yang tidak terpisahkan dari dunia digital. Dari media sosial hingga streaming berbagai platform digital, telah menjadi konsumen informasi yang super cepat. Tetapi masalahnya adalah seringkali informasi yang masuk lewat berbagai kanal media sosial belum tentu valid, benar dan akurat.

Bahkan dalam dunia politik, hoax dan disinformasi dapat menyebar lebih cepat daripada konten joget TikTok yang viral. Menurut penelitian Pew Research Center (2023), sekitar 93% Gen Z mengakses informasi politik melalui media sosial. Itu artinya, Gen Z mempunyai kesempatan besar untuk memahami isu-isu politik, tetapi juga rentan terhadap penyebaran informasi yang belum tentu benar dan akurat.

Selain itu, media sosial sering juga mendorong kita untuk lebih fokus pada konten yang viral ketimbang informasi yang benar-benar bermutu dan berbobot. Bayangkan, kalau memilih calon kepala daerah hanya karena dia terlihat "keren" di Instagram atau lebih parahnya karena dia memiliki followers yang lebih banyak daripada lawan politiknya.

Ini akan berdampak pada daerah kita yang dipimpin oleh influencer, bukan pemimpin yang paham dan mengerti masalah serta potensi daerah. Dengan demikian, literasi politik sangat penting bagi kita semua, terutama Gen Z.

Betapa literasi politik itu bukan cuma tahu siapa yang menjadi calon, tetapi soal kemampuan untuk memahami apa yang sedang terjadi di dunia politik, kemudian apa hal penting yang harus diperhatikan, serta bagaimana kebijakan yang diusung oleh calon-calon kepada daerah dapat mempengaruhi kehidupan kita, terutama generasi muda yang akan hidup lebih lama dari kebijakan tersebut.

Hoax di Media Sosial: Ketika Meme Mengalahkan Data

Sebagai generasi yang sangat bergantung pada media sosial, Gen Z harus tahu bahwa tidak semua informasi yang beredar di dunia maya dapat dipercaya. Menurut studi MIT Media Lab (2023), hoax dapat menyebar sebesar enam kali lebih cepat dibandingkan informasi yang benar di media sosial.

Jika Gen Z tidak waspada dan tidak membekali dirinya terhadap pemahaman literasi politik yang baik, maka bisa jadi akan malah ikut-ikutan menyebarkan informasi yang salah atau malah memilih kandidat hanya berdasarkan konten viral yang tidak berdasar dan nir-substansi. Oleh sebab itu, pentingnya untuk memiliki kemampuan memilah dan memilih informasi yang ada sebagai proteksi diri agar tidak terjebak dalam jebakan hoax.

Hal yang mesti dilakukan adalah dengan memulai mencari informasi yang lebih terperinci tentang calon-calon kepala daerah, bukan hanya mengandalkan meme yang beredar di grup WhatsApp. Pilih sumber yang jelas seperti website resmi calon, diskusi politik berbasis data atau bahkan jurnal yang membahas tentang isu politik di daerah tersebut.

Ini memang butuh usaha lebih, namun dengan cara itu kita bisa memilih dengan lebih bijak dan menghindari keputusan politik yang hanya didasarkan pada tren media sosial yang potensial menyesatkan kita.

Kenapa Gen Z Harus Terlibat dalam Pilkada?

Mungkin kita berpikir, "urusan Pilkada itu hanya diurusi oleh orang tua atau generasi yang lebih tua". Tetapi anggapan tersebut merupakan kekeliruan besar karena Gen Z adalah generasi yang paling banyak menggunakan internet dan akan menjadi penerima dampak langsung dari kebijakan yang diambil oleh kepala daerah yang terpilih.

World Values Survey (2023), menunjukkan bahwa partisipasi politik di kalangan pemuda berhubungan langsung dengan kualitas demokrasi. Ini berarti bahwa semakin banyak Gen Z terlibat dalam politik dan menyalurkan hak pilihnya, maka semakin baik pula kualitas demokrasi di daerah tersebut.

Selain itu, sebagian Gen Z mungkin tidak mau memilih, namun harus disadari bahwa kebijakan yang ada nantinya tidak sesuai dengan kebutuhan Gen Z itu sendiri. Apakah kita ingin hidup di kota yang penuh dengan kemacetan jalan, dengan sistem transportasi yang berantakan, atau di daerah yang minim infrastruktur jaringan internet maupun dengan pendidikan yang kualitasnya buruk hanya karena kita tidak peduli siapa yang akan jadi pemimpin?

Pilihan politik yang baik, akan membawa perubahan yang lebih baik untuk daerah. Sebaliknya, ketidakpedulian kita dapat membawa ke masa depan yang lebih suram bagi daerah.

Literasi Politik: Pemilih yang Terinformasi adalah Pemilih yang Berkuasa

Literasi politik memungkinkan kita untuk menjadi pemilih yang terinformasi dan rasional. Artinya bahwa sebelum menentukan pilihan, kita paham betul apa yang diusung oleh masing-masing calon dan bagaimana kebijakan mereka bisa berdampak pada kehidupan kita.

Oleh karena itu, jangan sampai memilih hanya karena calon tersebut berbicara dengan gaya dan retorika yang "keren" dalam video kampanye, tetapi tanpa ada visi dan misi yang jelas serta program-program yang akan dilakukannya apabila terpilih menjadi kepala daerah.

Menurut Bennett dan Segerberg (2021), pemilih yang terinformasi cenderung membuat keputusan yang lebih baik dan lebih cerdas dalam menentukan pilihannya. Mereka tidak hanya memilih berdasarkan 'kepopuleran" atau look, tetapi berdasarkan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Dengan memahami bagaimana kebijakan calon kepada daerah bisa berpengaruh pada pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, Gen Z dapat memilih dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Ini adalah kesempatan bagi Gen Z untuk menunjukkan bahwa Gen Z bukan hanya "pandai" di dunia digital, tetapi juga bisa menjadi pemilih yang bijak dan aktif.

Gen Z Waktunya Beraksi!

Setelah membahas soal literasi politik terhadap Gen Z, sudah saatnya kita mulai bertindak. Ada banyak cara bagi Gen Z untuk terlibat aktif dalam Pilkada serentak 2024.

Pertama, dengan memilih secara bijak setelah menggali informasi yang cukup tentang calon-calon yang tersedia. Kedua, menyebarkan informasi yang benar ke sesama pengguna media sosial dan jangan takut untuk berdiskusi tentang isu-isu politik dengan teman atau pengguna media sosial lainnya karena semakin banyak yang memahami maka semakin besar gelombang kesadaran dan dampak yang bisa kita buat bersama-sama.

Untuk itu, mari kita akui bahwa Pilkada bukan cuma soal meme lucu atau drama debat calon. Ini merupakan kesempatan bagi kita, terutama gen Z untuk memastikan bahwa masa depan daerah kita dikelola oleh pemimpin yang tepat berdasarkan kualitasnya, bukan karena mereka memiliki penampilan atau popularitas yang tinggi.

Oleh sebab itu, mari kita gunakan media sosial dan platform digital lainnya untuk mencari informasi yang lebih mendalam dan membuat keputusan yang cerdas serta rasional. Dengan begitu, Gen Z dapat ikut serta dalam Pilkada serentak 2024 dengan cara yang lebih bermakna dan positif.

Mari kita hentikan sikap kita yang kadang menjadi penonton atas drama politik yang ditampilkan, ambil peran dan jadi aktor perubahan yang cerdas.

Referensi

Bennett, W. L., & Segerberg, A. (2021). The Logic of Connective Action: Digital Media and the Personalization of Contentious.

MIT Media Lab. (2023). The Spread of Misinformation in the Digital Age.

Pew Research Center. (2023). Gen Z and the Media: Media Consumption and Engagement.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun