Mohon tunggu...
Dian Muhammad Rafli
Dian Muhammad Rafli Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa sosiologi UIN Sunan Kalijaga

Menerima inpo workout bareng

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mall sebagai Simbol Kelas Sosial

16 Desember 2024   15:24 Diperbarui: 16 Desember 2024   15:24 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shelltea: toko esteh yang menyerupai Mini Pom bensin 

Suara riuh massa dan rintik air hujan yang tidak terlalu deras menambah suasana pagi di kota semakin gaduh akibat transportasi yang berlalu lalang, khususnya tempat yang saya jelajahi ialah Sleman City Hall (SCH) dan kebisingan ini adalah hal yang biasa bagi mereka. Massa dengan latarbelakang dan tujuan yang bermacam-macam mulai membanjiri SCH, seperti keluarga yang hendak bermain hiburan hingga berbelanja, keluarga yang merayakan yudisium sarjana anak-anaknya dengan reservasi tempat, kelompok-kelompok pertemanan remaja SMA, pasangan romantis, pekerja gig economy dan lain-lain. Saya juga menemukan tempat berupa toko pembelanjaan modern seperti pakaian, kosmetik, eletronik, alat rumah tangga, kuliner, hewan hingga tempat hiburan terisi oleh konsumen-konsumen, ada yang ramai dan ada juga yang sepi.

Saya menjelajahi serta mengamati masing-masing tempat diatas dengan aspek mikro, hingga saya temui satu hal bahwa taraf harga yang tertera di masing-masing toko sangatlah tinggi bagi saya pribadi sebagai anggota keluarga yang menengah kondisi ekonominya, padahal hari itu bertepatan diskon besar-besaran akhir tahun atau natal dan juga waktu weekend. Dari sini saya melihat dan menduga bahwa pengunjung atau konsumen di mall ini adalah masyarakat yang kondisi ekonominya menengah keatas. Dengan begini, tentunya hal ini akan menyebabkan meluasnya celah kesenjangan kelas antara si kaya dan si miskin, sehingga menjadi ajang pembentukan identitas kelas ekonomi. Kemudian, saya menemukan satu hal yang berkaitan dengan teori pertukaran sosial. Ketika masing-masing aktor sosial (pihak mall dan kelompok konsumen) melakukan proses sosial baik transaksi, negosiasi atau yang lainnya maka tentu ada motif dibalik tindakan kedua aktor sosial tersebut yakni benefit yang mereka dapatkan masing-masing, baik secara material ataupun non-material.

Toko Pakaian Matahari
Toko Pakaian Matahari

Selanjutnya pada ranah makro, saya memperhatikan budaya-budaya yang berlaku di SCH ini, setidaknya ada lima hal yang saya temukan diantaranya, pertama proses sosial jual beli tanpa adanya proses negosiasi atau tawar menawar harga, sebab mereka sangat menghargai diskon atau promosi. Kedua, mereka menghargai kebersihan dan kerapian karena menciptakan kenyamanan, sehingga ini mencerminkan bahwa satu tempat atau lingkungan yang bersih tentu memaksa orang-orang untuk berbuat atau berpenampilan dengan bersih pula. Ketiga adalah modernisme, yakni menjiwanya nilai dan material modern di tempat ini seperti tekonologi eskalator, lift dan lain-lain. Keempat individualisme, adalah bahwa mereka sangat menghormati kebebasan dan privasi individu lainnya. Kelima adalah konsumerisme, yakni brand-brand puncak yang harganya tentu sangat mahal dan menarik minat konsumen kalangan atas.

Reservasi Tempat untuk Wisuda
Reservasi Tempat untuk Wisuda

Kemudian, saya menganalisis bagaimana peran dari aktor sosial (SCH) terhadap ekonomi nasional. Ada dua kategori pada perannya, yakni peran positif dan peran negatif. Peran mall yang berdampak positif pertama ialah membantu meningkatkan pendapatan negara dengan adanya pajak dan retribusi yang signifikan atau besar bagi negara. Kedua mall juga menyediakan lapangan kerja baru bagi anak muda khususnya. Ketiga ialah mengembangkan industri kreatif seperti tempat hiburan bioskop, konser dan lain-lain. Lalu, peran yang membawa dampak negatif diantaranya, pertama dengan menyediakan fasilitas dan barang mewah mengakibatkan  peningkatan kesenjangan kelas sosial antara si kaya dan si miskin (Frank, 1999). Kedua, mall seringkali mengimpor barang-barang luar negeri (ketergantungan impor) yang akan memperburuk neraca perdagangan (Krugman & Obstfeld, 2009).

Shelltea: toko esteh yang menyerupai Mini Pom bensin 
Shelltea: toko esteh yang menyerupai Mini Pom bensin 

Observasi saya di SCH menyimpulkan bahwa mall sebagai aktor sosial memiliki peran signifikan dalam proses globalisasi, konsumerisme, interaksi sosial dan dinamika ekonomi masyarakat lokal. Dari perilaku konsumsi, mall menyediakan layanan jual barang dan jasa mewah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Relasi antara konsumen dan pedagang membentuk satu komunitas yang berdasarkan transaksional yang mencerminkan tipologi masyarakat perkotaan dengan individualistisnya. Perannya terhadap ekonomi juga menciptakan kestabilan yang signifikan terhadap negara, namun menciptakan problem baru terhadap ekonomi industri tradisional dengan terpinggirkannya produk lokal diganti dengan brand dunia. Ajang mencari validasi atas identitas sosial juga mengakibatkan semakin lebarnya celah kesenjangan kelas sosial menengah keatas dan menengah kebawah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun