Chairil Anwar adalah salah satu tokoh sastra Indonesia yang namanya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan puisi modern di tanah air. Lahir pada 26 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara, Chairil Anwar tumbuh dalam keluarga yang cukup berada. Ayahnya, Toeloes, adalah seorang pamong praja, sementara ibunya, Saleha, memiliki keturunan bangsawan Minangkabau. Didikan dari kedua orang tuanya serta lingkungan sekitarnya memberikan pengaruh besar pada pandangan hidup dan pemikiran Chairil sejak usia muda.
Di usia remaja, Chairil sudah menunjukkan minat yang mendalam pada sastra. Ia sering membaca karya-karya sastra Belanda, karena pada masa itu Medan merupakan kota yang dipengaruhi budaya Eropa, terutama Belanda. Pada usia 19 tahun, Chairil memutuskan untuk pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) setelah orang tuanya bercerai. Di ibu kota, Chairil mulai bergaul dengan kalangan sastrawan dan intelektual muda Indonesia, yang sedang bergelora dengan semangat nasionalisme dan keinginan untuk merdeka dari penjajahan.
Chairil Anwar dikenal sebagai penyair dengan gaya hidup bohemian yang sering menentang norma-norma masyarakat pada zamannya. Kehidupannya penuh dinamika, pemberontakan, dan keinginan untuk bebas. Meskipun hidup dalam kesulitan ekonomi, Chairil tetap berkomitmen untuk menulis. Dalam kehidupannya yang singkat, ia berhasil menulis sekitar 70 puisi, 96 karya termasuk puisi, prosa, dan esai. Karyanya tidak hanya diterbitkan di majalah sastra dan surat kabar, tetapi juga dikumpulkan dalam beberapa buku antologi, salah satunya adalah "Deru Campur Debu" yang diterbitkan pada tahun 1949, tahun yang sama ketika ia meninggal.
Karya-karya Chairil Anwar sering dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap konvensi dan dominasi kolonial. Puisi-puisinya memperlihatkan sisi gelap dan terang dari kehidupan, dengan bahasa yang penuh daya, meskipun kadang-kadang kasar dan tidak mengikuti pola metrum yang ketat. Keberanian dan kejujuran dalam mengekspresikan emosi dan pemikirannya membuat Chairil Anwar menjadi ikon pergerakan Angkatan 45, yang merupakan kelompok sastrawan yang aktif menulis pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Chairil Anwar meninggal dunia pada usia muda, 27 tahun, pada 28 April 1949 di Jakarta, akibat penyakit tuberkulosis yang dideritanya. Meskipun usianya singkat, pengaruhnya dalam dunia sastra Indonesia sangat mendalam dan bertahan hingga kini. Ia meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi generasi penulis dan penyair setelahnya.
Puisi Legendaris: "Aku"
Dari semua puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar, "Aku" adalah salah satu yang paling terkenal dan sering dikutip. Puisi ini pertama kali ditulis pada tahun 1943, dan menjadi semacam manifesto pribadi yang mencerminkan semangat keberanian dan kebebasan yang dianut Chairil. Dalam puisi ini, Chairil Anwar menegaskan identitas dirinya yang berbeda dan keinginannya untuk hidup bebas, bahkan di bawah bayang-bayang kematian.
Puisi "Aku" menggunakan bahasa yang sangat sederhana tetapi kuat, sebuah refleksi dari gaya ekspresionisme yang banyak mempengaruhi karya Chairil. Kata-katanya singkat, tajam, dan langsung menghantam perasaan pembaca. Berikut adalah teks lengkap dari puisi "Aku":
Aku ini binatang jalangÂ
Dari kumpulannya terbuangÂ
Biar peluru menembus kulitkuÂ
Aku tetap meradang, menerjangÂ
Luka dan bisa kubawa berlariÂ
BerlariÂ
Hingga hilang pedih periÂ
Dan aku akan lebih tidak peduliÂ
Aku mau hidup seribu tahun lagi!
Puisi ini seolah menjadi teriakan dari seorang yang menolak untuk tunduk pada kenyataan dan aturan-aturan yang ada. Penggunaan kata-kata seperti "binatang jalang" menekankan individualitas dan perasaan terasing yang dirasakan oleh Chairil Anwar. Sementara itu, frasa "Aku mau hidup seribu tahun lagi!" mengekspresikan keinginan untuk terus hidup dan berkarya meski menghadapi berbagai tantangan dan rintangan.
Puisi "Aku" juga sering dianggap sebagai representasi dari perjuangan individu melawan penindasan, baik secara fisik maupun spiritual. Ini mencerminkan situasi Indonesia pada masa itu, yang masih berada di bawah penjajahan Jepang dan kemudian Belanda. Chairil Anwar menggunakan puisinya sebagai alat untuk menyuarakan semangat perlawanan dan keinginan untuk merdeka, yang juga menjadi cerminan dari semangat kebangsaan yang sedang tumbuh di kalangan pemuda Indonesia.
Karya-karya Chairil Anwar tetap relevan dan dipelajari hingga hari ini, baik di sekolah-sekolah maupun di lingkungan akademis. Puisi-puisinya sering dibacakan dalam berbagai acara sastra, dan "Aku" menjadi salah satu puisi wajib yang dikenalkan kepada siswa sebagai bagian dari kurikulum bahasa Indonesia. Kehadirannya yang kuat dalam sastra Indonesia memastikan bahwa Chairil Anwar akan selalu diingat sebagai salah satu penyair terbesar yang pernah dimiliki Indonesia.
 Sumber :Â
- Anwar, C. (1943). Aku. Dalam Deru Campur Debu. Jakarta: Balai Pustaka.
- Teeuw, A. (1980). Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Raffel, B. (1967). Complete Prose and Poetry of Chairil Anwar. Bandung: Sumur Bandung.
- Bodden, M. H. (1997). Indonesian Nationalism and Revolution: Chairil Anwar and His Poetry. Southeast Asian Studies, Vol. 35, No. 4.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H