Mohon tunggu...
Muhammad Rafiul Akbar
Muhammad Rafiul Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Selain tertarik dengan politik, Saya juga seorang Nakama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menimbang Kecerdasan dan Etika dalam Berperilaku

8 Juni 2024   13:13 Diperbarui: 8 Juni 2024   13:35 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam era di mana kecerdasan dihargai sebagai aset terbesar, pertanyaan yang muncul adalah apakah kecerdasan tersebut selalu diiringi oleh moralitas yang kokoh? Kita kerapkali terpesona oleh prestasi dan kehebatan orang-orang yang dianggap cerdas dalam berbagai bidang, tetapi jarang sekali kita membahas sisi gelap dari kecerdasan itu sendiri. Ironisnya, makin cerdas seseorang, makin besar pula potensi untuk melihatnya jatuh ke dalam perangkap moralitas itu sendiri.

Dalam Kasus ini saya mengambil contoh seorang Rodri Tanoto yang berprofesi sebagai dokter medis sekaligus praktisi kesehatan global di mana dia bersikap kontra terkait kegiatan “Bagi Makanan di Papua” yang dilakukan oleh konten kreator Bobon Santoso. Dalam kutipan twitternya, dia menyampaikan bahwa konten seperti itu adalah konten yang menjijikan, serta menganggap bahwa makanan Ultra Proses yang dibagikan Bobon adalah panganan kosong yang buruk bagi Kesehatan.

Sepertinya kurang etis bagi seseorang yang dipandang cerdas menilai hal baik sebagai tindakan menjijikan, yang di mana dia sendiri belum pernah merasaka hal tersebut secara langsung, dan berada di posisi yang sama. Mungkin akan lebih pantas jika turut memberikan contoh terlebih dahulu bagaimana cara memperbaiki gizi yang benar, apa saja makanan yang baik untuk kesehatan, dan apa yang tak boleh diberikan demi menjaga kesehatan seseorang.   Salah satu alasan yang mungkin mengarahkan orang cerdas ke sikap kontra terkait kebaikan adalah ketidakseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Meskipun seseorang mungkin memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, namun kemampuan untuk memahami dan merespons secara empatik terhadap kebutuhan dan kepentingan orang lain mungkin kurang berkembang. Prioritas yang tinggi pada logika dan pengetahuan mungkin membuat individu cenderung mengabaikan atau bahkan mengesampingkan nilai-nilai moral dan kebaikan.

Sekolah dasar hingga perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar sarjana doktor bahkan professor nyatanya belum cukup mengubah tindakan seseorang. Beberapa instansi yang berhasil mencetak orang-orang pintar juga tak menjamin orang itu terdidik. penting bagi kita semua untuk merefleksikan cara kita menilai dan menghargai nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Evaluasi yang baik tidak hanya mencakup aspek intelektual, tetapi juga memperhitungkan dimensi emosional dan moral

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun