Mohon tunggu...
Muhammad Rafi As Sudais
Muhammad Rafi As Sudais Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Anthropology at Airlangga University

an anthropology major at airlangga university with interests in humanitarianism, international politics, and culture.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Trend Coklat Dubai: Antara Sensasi Rasa atau FOMO?

11 Desember 2024   23:10 Diperbarui: 15 Desember 2024   09:46 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makanan manis telah menjadi komponen penting dalam kehidupan sehari-hari. Rasa manis merupakan rasa pertama yang dikenal manusia sejak bayi. Secara alami, manusia cenderung menyukai rasa manis karena merupakan sumber energi alami yang dapat ditemukan pada buah-buahan dan makanan alami lainnya. Rasa manis juga dianggap menyenangkan di lidah yang membuat makanan manis menjadi pilihan yang sulit untuk ditolak. Tidak hanya memanjakan lidah, makanan manis juga memiliki peran psikologis. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa mengonsumsi makanan manis dapat memicu pelepasan endorfin, yaitu hormon kebahagiaan yang dapat meningkatkan mood. Itulah sebabnya, banyak orang merasa terdorong untuk mengonsumsi makanan manis saat sedang stres. Makanan manis sering dianggap sebagai "comfort food” yaitu makanan yang memberikan rasa kenyamanan dan kebahagiaan.

Baru-baru ini, dunia kuliner digemparkan oleh makanan manis baru khas timur tengah, coklat dubai namanya. Coklat dubai pertama kali diciptakan oleh Fix Dessert Chocolatetier yang dimiliki oleh Sarah Hamouda, pada tanggal 7 Oktober 2022. Coklat Batangan yang berisikan pistachio kunafa itu menciptakan sensasi gurih, renyah, dan manis. Popularitas coklat tersebut meroket setelah sebuah video ASMR dari influencer Tiktok yang memperlihatkan dirinya menikmati coklat tersebut menjadi viral, dengan jumlah penonton melebihi 56 juta. Fenomena ini mendorong banyak influencer lainnya untuk membuat konten tentang coklat ini, sehingga daya tariknya di kalangan netizen terus meningkat. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk tren kuliner global. Banyak orang bersedia bepergian ke Dubai demi mencicipi coklat ini, sementara sejumlah toko di luar Dubai mulai menjual versinya sendiri dengan harga lebih mahal. Hal ini menggambarkan bagaimana produk makanan yang viral memiliki daya tarik yang besar di era digital.

Di Indonesia, cokelat dubai telah menarik perhatian pecinta kuliner dan menjadi pilihan oleh-oleh mewah bagi mereka yang bepergian ke Dubai. Produk ini juga dijual melalui layanan jasa titip online dengan harga lebih tinggi karena biaya impor. Popularitas cokelat dubai semakin meningkat berkat ulasan positif dari food influencer lokal dan video unboxing yang viral di media sosial. Tren kuliner global seperti cokelat Dubai memiliki daya tarik kuat di pasar Indonesia, khususnya bagi penikmat makanan unik dan premium. Selain itu, variasinya, seperti brownies, es krim, hingga martabak dengan cita rasa cokelat dubai dan pistachio kunafa, semakin memperluas pilihan. Namun, lonjakan popularitas ini juga membawa sisi negatif. Berbagai variasi produk berbahan dasar cokelat dubai dan pistachio kunafa, seperti brownies, es krim, hingga martabak, justru memicu kejenuhan di kalangan konsumen. Banyak orang mulai menganggap tren ini terlalu dilebih-lebihkan, terutama karena kehadirannya yang terasa berlebihan di hampir semua jenis makanan manis. Tren tersebut didorong oleh rasa Fear Of Missing Out atau yang biasa disebut FOMO. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana tekanan FOMO dapat mengubah pengalaman kuliner menjadi sekadar citra sosial yang akhirnya berisiko cepat memudar.

Tren Fear of Missing Out (FOMO) semakin memengaruhi pola konsumsi dan preferensi masyarakat, khususnya dalam dunia kuliner. Ketika suatu makanan atau tren menjadi viral, banyak orang merasa terpaksa ikut serta, bukan hanya karena rasa penasaran atau ketertarikan pada produk tersebut, tetapi juga karena dorongan untuk tidak ketinggalan dari yang sedang populer. Hal ini terlihat dari tingginya antusiasme orang untuk mencoba makanan-makanan viral, seperti cokelat Dubai, yang sering kali dijadikan simbol status dan cara untuk menunjukkan bahwa mereka mengikuti perkembangan zaman. FOMO lebih sering berfokus pada pencitraan sosial, di mana orang-orang lebih mementingkan pengalaman berbagi dan mendapatkan pengakuan daripada menikmati makanan itu sendiri. Keinginan untuk terlihat "kekinian" atau terhubung dengan tren terbaru mendorong mereka untuk terus mengonsumsi makanan yang sedang digemari, meskipun kadang tanpa mempertimbangkan kualitas atau keaslian pengalaman tersebut. Namun, tekanan FOMO ini justru bisa mengarah pada kejenuhan. Produk-produk yang terlalu sering dipromosikan dan dijadikan konsumsi massal pada akhirnya kehilangan daya tariknya, karena terlalu banyak orang yang mengonsumsinya tanpa memahami makna atau keunikan dari makanan itu sendiri.

Sebagai simpulan yang berdasarkan opini penulis, tren coklat dubai yang viral di media sosial menggambarkan bagaimana fenomena FOMO mengubah cara orang mengonsumsi makanan. Dorongan untuk mengikuti tren terkadang lebih didorong oleh keinginan untuk terlihat "kekinian" daripada menikmati pengalaman kuliner yang sesungguhnya. Masyarakat sering kali terjebak dalam pusaran konsumsi berlebihan yang akhirnya membuat produk yang semula menarik terasa membosankan. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam menciptakan tren yang cepat naik dan juga cepat memudar. Pada akhirnya, tren makanan viral seperti cokelat Dubai mengingatkan kita bahwa meskipun konsumsi makanan bisa menjadi bagian dari identitas sosial, keaslian dan kualitas seharusnya tetap menjadi pertimbangan utama dalam menikmati setiap pengalaman kuliner. Jika hanya sekadar mengikuti tren, kita mungkin akan kehilangan esensi sejati dari sebuah rasa dan pengalaman yang lebih bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun