Mohon tunggu...
Muhammad Raffliansyah
Muhammad Raffliansyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Pelajar

Mari belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Pola Konsumsi Kota, Menggunakan Konsep Ashabiyah

28 Juli 2019   12:30 Diperbarui: 28 Juli 2019   12:38 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep ini menjelaskan bahwa terdapat pola yang berbentuk siklus artinya berulang dari setiap bangsa, pasalnya siklus tersebut terbagi menjadi tiga bagian atau tahap dan ashabiyah terletak didalamnya bagian-bagian ini bisa disebut sebagai metamorfosis, tahap pertama ikatan masih sangat kuat diantara para orang-orangnya hingga membentuk semangat untuk membentuk sebuah bangsa, semangat ini sebagai modal sebuah masyarakat badawah menuju ke masyarakat hadarah, selanjutnya masuk ke tahap kedua dimana ikatan atau ashabiyah yang kuat akan berhasil membentuk atau merebut sebuah bangsa kemudian dalam fase ini identitas juga mulai secara perlahan berubah, pasalnya mereka telah berhasil membentuk sebuah bangsa dari ikatan kuat yang mereka punya, kehidupan dimanjakan dengan jauhnya kehidupan dari sebuah kata primitif. Tahap selanjutnya yakni tahap kehancuran, dimana mereka yang telah membentuk sebuah bangsa telah kehilangan semangat ashabiyah dalam dirinya yang disebabkan oleh faktor kehidupan yang terlalu mewah.

Memasuki fase hadarah merubah beberapa elemen dari ciri sebuah masyarakat, seperti ashabiyah yang awalnya menjadi motivasi masyarakat badawah untuk membentuk sebuah bangsa malah justru berkurang sehingga menimbulkan individualisme diantara anggotanya. Selain itu masyarakat dengan fase hadarah juga dinilai memiliki kehidupan yang mewah dan cederung hedonis, untuk mencapai kehidupan yang mewah diperlukan sebuah usaha yang besar, meskipun begitu kehidupan yang mewah berhasil membuat masyarakat terobsesi dengannya, individu rela bekerja keras hingga kurang memperdulikan sekitar hanya untuk memperoleh ambisinya untuk hidup mewah.

Jika kita menggunakan konsep masyarakat hadarah dari Ibnu Khaldun maka kita akan melihat bahwa terdapat perubahan kegiatan atau pola kehidupan yang sebelumnya sederhadan menjadi begitu kompleks, bila kita ibaratkan masyarakat badawah adalah sebuah masyarakat pedesaan maka sudah tentu bahwa masyarakat hadarah adalah masyarakat perkotaan, masing-masing dari masyarakat tersebut memiliki karakteristiknya sendiri dan fokus dari penelitian ini adalah konsumerisme yang berada pada masyarakat kota atau masyarakat hadarah. Ketika sudah memasuki fase hedonis maka dapat dipastikan bahwa konsumerisme sudah menjadi kebiasaannya, sebab hedonis merupakan sebuah gaya hidup yang cenderung mencari kesenangan. Dalam era globalisasi dimana semua bidang bisa mempromosikan produknya mampu menarik perhatian para konsumen untuk membeli namun kegiatan pembelian ini didasarkan atas keinginan dan bukan kebutuhan, hal tersebut dilakukan sebab apabila barang yang diinginkan dapat diraih maka akan menimbulkan perasaan senang.

Dari hasil lapangan yang kami peroleh, kebutuhan dan kegunaan masih menjadi pertimbangan dalam melakukan pembelian, seperti ketika momen lebaran idul fitri terdapat satu budaya yang telah dikenal sejak lama yakni adanya pemberian THR atau Tunjangan Hari Raya yang biasanya berupa seperangkat uang. Uang tersebut dialokasikan untuk berbagai macam sesuai kebutuhan atau bahkan keinginan, data lapangan mengungkapkan bahwa pengalokasian uang dari THR digunakan untuk kebutuhan seperti mengikuti test masuk perguruan tinggi, membeli perlengkapan kuliah, barang-barang kebutuhan kerja, membagi rejeki kepada sanak saudara, dan menyimpan uang tersebut untuk keperluan yang akan datang. Salah satu bukti yang memperkuat pernyataan ini adalah hasil dari wawancara yang dilakukan :

engga sih, lebih kaya disimpen aja dulu, soalnya kan kalo ada kebutuhan lain kan juga pasti gua bakal pake duit gua sendiri. (Dv)

Wawancara yang dilakukan menyatakan bahwa uang hasil THR tidak langsung dibelanjakan, namun disimpan agar kebutuhan lain bisa dipenuhi dengan uang tersebut. Hal ini tidak mendukung konsep konsumerisme, dimana kegiatan proses konsumsi dijlankan secara berlebihan dan dalam kegiatan belanja mengedepankan keinginan dibandingkan kebutuhan, artinya secara tidak langsung konsep hedonisme pun tidak terpenuhi. Karena konsep hedonisme ini melihat bahwa tujuan hidup dengan mencari kesenangan, sedangkan untuk saat ini pandangan umum berpendapat bahwa untuk hidup senang, diperlukan memiliki banyak uang, agar apapun yang diinginkan bisa terpenuhi, jika keinginan sudah terpenuhi maka kesenangan akan diperoleh.

Namun dari data ketujuh informan yang didapat, terdapat beberapa hal menarik dari pernyataan yang dilontarkan, pasalnya pengalokasian uang THR digunakan karena ada momen tertentu, seperti ketika momen lebaran maka uang tersebut digunakan untuk bagi-bagi rejeki atau karena setelah lebaran terdapat momen test untuk masuk perguruan tinggi negeri, ternyata bila tidak ada momen tersebut, pengalokasian uang THR yang diperoleh digunakan untuk membeli barang yang diinginkan. Hal ini ditemukan dari dua orang informan yang menyatakan hal tersebut, salah satunya menyatakan bahwa :

...kadang juga suka beli di online shope. Kalo yang ih lucuuu ya aku beli cewe kan gitu yahh.. jadi ga yang mall terus. (Jl)

Pernyataan tersebut membuktikan bahwa keinginan juga menjadi faktor penting untuk individu ketika ia ingin membelanjakan sesuatu, dan kebutuhan pun dapat dikesampingkan dengan adanya keinginan ini. Artinya konsep konsumerisme disini dapat terwujud sebab nilai guna tidak menjadi prioritas individu dalam melakukan pembelian, Selain itu keadaan seperti ini dapat mewujudkan kehidupan dengan pandangan hedonis.

Fakta menarik berikutnya adalah dari data yang didapat, adanya diskon tidak langsung membuat seseorang untuk melakukan pembelian. Untuk beberapa informan diskon memang menarik perhatian, namun hanya sampai dititik tertarik dan tidak lanjut ketahap pembelian. Meskipun begitu tetap merasa ada yang diuntungkan untuk fenomena diskon ini, seperti hasil wawancara yang dilakukan :

Ya kita sih, misal saya nih yang anak rantau, kuliah, jadi gak punya uang banyak kan, melihat harga miring ya lebih tertarik kan kita, dibandingkan jika brand bagus tapi harga mahal, karna saya bukan orang yang terlalu melihat ke merek sih, yang penting cocok, nyaman, yaudah, harga miring lagi, gitu sih mas. (Hl)

Pernyataan tersebut membuktikan bahwa diskon cukup membantu beberapa kalangan untuk memenuhi salah satu kebutuhan primernya yakni sandang. Dengan perbandingan adanya brand bagus yang memiliki harga mahal, adanya diskon membuat seseorang berpikir bahwa barang yang dijual dan memiliki diskon tersebut memiliki daya tariknya sendiri. Maka bisa dibilang adanya diskon disini cukup untuk menarik minat individu untuk melakukan pembelian, namun individu tersebut tetap melihat dan mempertimbangkan apakah barang yang memiliki diskon tersebut ia butuhkan atau tidak.

Barang diskon disini punya daya tariknya sendiri, individu akan melihat terlebih dulu barang yang diskon seperti apa dan jika sesuai kebutuhannya dan bisa digunakan kedepannya oleh individu tersebut maka kemungkinan individu untuk membeli barang tersebut lebih besar. Bukti bahwa individu memilah barang yang diskon terdapat pada salah satu wawancara yang menanyakan jika informan melihat diskon apakah reaksinya punya niatan untuk langsung membelinya atau ada alasan lain dan jawabannya adalah :

engga sih diliat-liat dulu, sesuai kebutuhan aja sih... baju, buat beli baju. Pokoknya belanja kebutuhan kuliah lah, buat sekarang kan buat kuliah kaya beli kemeja atau tas. (Ts)

Hasil dari wawancara ini menyatakan bahwa meskipun terdapat diskon yang memangkas harga barang menjadi lebih minimalis, namun jika itu tidak sesuai dengan kebutuhan individu maka akan ada pertimbangan untuk membelinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun