Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier. Salam memenuhi kebutuhan tersebut ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhinya. Oleh karenanya, masyarakat mencari dana kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non bank.
Di antara kebutuhan masyarakat saat ini adalah kebutuhan untuk biaya pendidikan, pengobatan, pernikahan dan lain sebagainya. kondisi inilah yang mendorong LKS (lembaga Keuangan Syariah) untuk membuat produk yang inovatif guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin bervariasi. Adapun alasan lain, LKS membuat produk ini adalah untuk melihat pangsa pasar (market share) perbankan syariah di Indonesia yang sampai saat ini belum menembus batas 5% sebagaimana yang diharapkan BI. Dengan membuat produk yang inovatif seperti ini, maka minat masyarakat dalam menggunakan perbankan syariah aka semakin tinggi. Demikian juga, produk yang kompetitif ini terus tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Salah satu pembiayaan yang dapat dijadikan produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas seperti pendidikan, pengobatan dan pernikahan dll, maka DSN-MUI kemudian mengeluarkan fatwa yang disebut dengan Pembiayaan Multijasa.
Multijasa sendiri secara bahasa terdiri dari dua kata, yaitu multi yang berarti banyak dan jasa yang berarti perbuatan yang berguna atau bernilai bagi orang lain. jadi multijasa adalah perbuatan atau manfaat yang bermacam-macam keperluannya untuk mensejahterakan orang lain. pembiayaan multijasa merupakan fasilitas pembiayaan konsumtif yang tidak bertentangan dengan syariah, seperti pendidikan, kesehatan, umrah, haji, pernikahan dan lainnya. Dengan demikian, pembiayaan multijasa dalam LKS yakni, pihak LKS memberikan nilai manfaat kepada anggota atau nasabah, kemudian anggota atau nasabah akan membayar fee (ujrah) sebagai kompensasi atas manfaat yang telah diperolehnya dengan cara mengangsur atau melunasi sekaligus sesuai dengan kesepakatan di awal akad. Bagi LKS, melalui pembiayaan multijasa ini LKS mendapat kemudahan dalam mengelola likuiditasnya, karena dapat menyalurkan pembiayaan dengan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap jasa-jasa yang dibenarkan secara syar’i.
Produk LKS memang beragam, dan mudah dilaksanakan, karena seirama dan sejalan dengan transaksi sektor riil. Tapi ia memiliki karakter, prosedur dan teknik yang harus diikuti dengan disiplin. Jika tidak, maka iatak lebih dari sekedar produk di perbankan konvensional dengan “brand” Arab. Ia akan kosong dari falsafah ekonomi Islam yang saling menguntungkan, aman dan cenderung inflatoir alias berpotensi menciptakan gelembung uang seperti yang terjadi di dunia keuangan konvensional. Kalau nama akadnya saja yang dipakai sementara suntansinya mengikuti tradisi keuangan konvensional, maka LKS akan kehilangan ruh alias elanvital yang dapat menjaga sistem ketahanan ekonomi habitatnya.
Produk pembiayaan multijasa merupakan produk inovasi LKS yang lahir melalui fatwa DSN-MUI. No. 40/2004 tentang pembiayaan multijasa. Dalam perkembangannya produk ini meliputi berbagai produk pembiayaan yang melayani semua jasa (multiguna). Secara prinsip tidak masalah, hanya saja tetap harus mengikuti prosedur dan teknik disiplin yang benar agar karakter dan falsafah akad yang digunakan akan hilang.
Karakteristik dari pembiayaan multijasa adalah nilai manfaat yang diberikan LKS kepada anggotanya/nasabah atas suatu jasa. Adapun persoalan ini hukumnya jaiz (boleh) dengan menggunakan akad ijarah dan kafalah. Kalau LKS menggunakan akad ijarah dalam melaksanakan skema pembiayaan multijasa, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam akad kafalah. Dalam kedua akad pembiayaan multijasa tersebut. LKS mendapat fee (ujrah).
Pembiayaan multijasa ini merupakan implementasi dari Fatwa MSN-MUI. LKS yang mengaplikasikan dalam produk pembiayaannya dari segi hukum Islam sudah sah. Yang perlu diperhatikan kemudian bagaimana akad yang akan digunakan dan bagaimana prosedur dan teknik pelaksanannya. Adapun pembiayaan multijasa dengan skema akad ijarah. Jika mengacu pada fatwa DSN-MUI, maka LKS membeli/menyewa aset (ijarah muwazi/bertingkat) dan menyewakannya kepada nasabah/anggota lalu nasabah menyewanya secara cicilan. Ini jika objek sewanya adalah barang. Tetapi jika objeknya adalah jasa, maka LKS memberikan jasa atas manfaat kepada anggota/nasabah. Dengan demikian, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee atas pelayanan yang dilakukan terhadap anggota. Besaran ujrah atau fee tersebut harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.
Sedang pembiayaan multijasa dengan mengfgunakan akad kafalah. Di sini LKS menjadi kafil (penjamin) atas kebutuhan anggota yang dapat diilustrasikan sebagai berikut: LKS bertindak sebagai penjamin/penanggung (kafil) atas kewajiban nasabah(makful ‘anhu). Teknik dan prosedur pembiayaan dilakukan dengan cara LKS menjaminkebutuhan anggota/nasabah dengan membayar langsung ketika pihak (makful ‘anhu) atau LKS mentransfer langsung dana ke rekening pihak ketiga/makful ‘anhu (bukan rekening nasbah sebagaimana yang terjadi saat ini). kemudian nasabah atau anggota melunasi atau sekaligus mencicil kewajibannya kepada LKS selama jangka waktu tertentu. dalam pembiayaan multijasa dengan akad kafalah ini, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee sepanjang tidak memberatkan. Dan kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Dalam implementasinya, pelaksanaan pembiaan multijasa ini, biasanya LKS mewakilkan kepada anggota atau nasabah untuk membayar atau melunasi kebutuhan yang telah disepakati dalam akad, apakah itu ijarah atau kafalah. Sehingga transaksi pembiayaan multijasa ini dilakukan sama seperti akad murabahah bil wakalah, padalah adanya ujrah yang harus dibayar oleh anggota atau nasabah kepada LKS, meniscayakan LKS melakukan aktivitas, sehingga ada alasan bagi LKS memperoleh ujrah atas manfaat yang diberikan. Maka, realisasi pembiayaan multijasa kepada nasabah dilakukan dengan cara LKS membayar atau mengurus langsung kepada pihak ketiga, atau mengirim langsung ke rekening pihak ketiga (bukan rekening nasabah sebagaimana yang terjadi selama ini).
Jika LKS tidak melakukan aktifitas apapun, misalnya dengan membayarkan, menguruskan kemudian LKS meminta ujrah, maka esensi pembiayaan yang seharusnya multijasa berubah menjadi qard. Karena teknis dan prosedur demikian lebih tepat untuk pembiayaan dengan qard. Bukan untuk pembiayaan multijasa yang menggunakan akad ijarah atau kafalah.