Mohon tunggu...
Muhammad Qorib
Muhammad Qorib Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Fakultas Agama Islam UMSU

Bekerja di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sepenggal Cerita Duka

28 Desember 2018   15:43 Diperbarui: 29 Desember 2018   00:29 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih ingatkah kita dengan gadis kecil yang menyentuh perhatian setiap orang? Sinar namanya. Bocah berumur enam tahun tersebut juga menjadi sinar bagi sang bunda, Murni. Membantu memindahkan ibunya yang lumpuh menjadi agenda kesehariannya. Sinar mengurus ibunya dengan penuh kasih sayang. Sudah dua tahun, Murni lumpuh karena terjatuh. Sejak itu pula hidupnya tergantung pada gadis kecil tersebut, mulai dari makan, minum, mandi, hingga buang air. 

Memasak nasi untuk sang ibu juga sudah pasti jadi tugas Sinar. Hanya nasi, tidak ada lauk apa pun. Bukan Sinar tidak mampu memasak lauk, melainkan ia dan sang bunda tidak memiliki dana untuk membeli bahan mentahnya. Simpati tetangga dan kerabat terkadang menguatkan Sinar dan ibunya menghadapi hidup. Bocah kelas satu Sekolah Dasar ini bahkan kerap terlambat ke sekolah karena harus memenuhi kebutuhan ibunya terlebih dahulu. 

Sinar adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Lima kakaknya yang juga belum dewasa tinggal terpisah. Mereka menjadi pembantu rumah tangga. Ini terpaksa dilakukan karena masalah ekonomi. Sementara sang ayah sudah sekian tahun merantau ke Malaysia. "Tidak jelas keberadaannya," kata Murni. Hanya album foto-foto keluarga yang jadi pengobat rindu pada anak-anak dan sang suami. Rumah Murni di Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, memang pernah ramai saat pemilihan umum lalu. Poster dan foto-foto calon legislatif menempel di mana-mana. Usai pemilu, Sinar dan ibunya pun terlupakan. Mereka ibarat korban yang digulung gurita kemiskinan.

Sebuah Fakta

Cerita Sinar sebenarnya merupakan satu dari sederetan fakta kemiskinan yang masih menghantui bangsa kita. Jika dicermati lebih luas lagi, mungkin kasus-kasus serupa akan dengan mudah kita temui. Selain keterbelakangan kualitas SDM, kemiskinan menyisakan problema tersendiri bagi bangsa kita. Padahal secara konstitusional, penanggulangan kemiskinan merupakan program yang menjadi skala prioritas. Ironisnya, kemiskinan tumbuh seiring dengan jargon indah itu. Memang, realitas kemiskinan telah menjadi tanggungjawab global. Hal itu berkaitan dengan harapan umat manusia yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan. 

Pernyataan perang terhadap kemiskinan sebagaimana dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) mewakili satu optimisme bahwa lingkaran kemiskinan bisa dientaskan dengan kehadiran komitmen dan kerja kolektif. Bahkan jauh-jauh hari, Piagam Hak-hak Asasi Manusia 1948 telah mengumandangkan hak dasar manusia untuk hidup dan hak bebas, termasuk bebas dari kelaparan, kemiskinan, dan ketakutan. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan merupakan tanggungjawab negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945. 

Pesan mendasar dari amanat konstitusi ini adalah bahwa masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesejahteraan merupakan tanggungjawab negara. Secara substansial, realitas kemiskinan menandai ketidakmampuan individu untuk hidup secara manusiawi. Namun faktanya, kemiskinan sudah mendarah daging bahkan menjadi realitas itu sendiri. Pada sisi tertentu, kemiskinan lebih diyakini sebagai konklusi teologis dan konsekuensi kultural daripada konstruksi struktural. Ini sesungguhnya merupakan batu sandungan paradigmatik di tengah gencarnya upaya-upaya pengentasan kemiskinan.

Salah satu langkah strategis untuk mengubah cara pandang dan mental yang sudah terlanjur mengakar tersebut adalah memunculkan kesadaran serta sikap partisipatif bahwa kemiskinan adalah produk dari ketiadaan akses dan ketimpangan distribusi sosial. Dalam pandangan Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi berkebangsaan India, kemiskinan dan kelaparan sangat terkait erat dengan tidak berjalannya mekanisme demokrasi di negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia.

Menurut Humam Hamid, kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu; kemiskinan "sementara" dan kemiskinan "kronis". Kemiskinan sementara juga boleh disebut kemiskinan struktural, terkait dengan ketidakadilan, semisal pembayaran upah yang tak sebanding dan terjadinya ekploitasi, pengrusakan lingkungan, sehingga orang kehilangan modal alam untuk hidup, termasuk pemungutan yang memberatkan dan pemerasan terhadap rakyat. 

Dalam konteks ini, ketika keadilan tumbuh maka mereka bisa berdaya lagi. Sementara itu, kemiskinan "kronis" terjadi akibat faktor-faktor biologis, psikologis dan sosial (malas, kurang terampil, kurang kemampuan intelektual, lemah fisik dan lainnya) yang membuat orang sulit melakukan usaha atau bekerja. Sehingga orang menjadi miskin karena terperangkap kemiskinan. Kasus Sinar tersebut sebenarnya lebih tepat dikelompokkan pada kemiskinan jenis pertama, kemiskinan sementara (struktural). Mengingat bukan kendala psikologis yang menyebabkan ia dan keluarganya terlilit kemiskinan, melainkan tidak adanya celah untuk beraktivitas secara lebih layak.

Meskipun sebenarnya persoalan kemiskinan telah mendapat landasan konstitusional dari negara, namun mengapa bayang-bayang gelap ini masih saja menghantui kita semua? Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan. Pertama, program-program tersebut selama ini cenderung terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. 

Program-program bantuan yang berorientasi pada karitas pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan tersebut seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri, sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. 

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. 

Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Akibatnya, banyak orang miskin yang tak tersentuh program pengentasan kemiskinan tersebut.

Seperti Sebuah Sinar

Sinar merupakan perlambang munculnya etika sosial, meskipun terkesan dipaksakan, dimana karena kasusnya menjadi bahan pemberitaan secara luas, mengundang rasa empati bagi semua pihak. Sinar juga merupakan sebuah cahaya yang membimbing kita untuk melihat bahwa di belahan bumi Indonesia yang cukup makmur ini ternyata masih ada saja sosok-sosok keluarga miskin namun tetap tegar seperti Sinar. Ia juga merupakan seorang anak yang mensedekahkan hidupnya untuk berbakti kepada sang bunda, kendatipun ia harus kehilangan masa kanak-kanaknya. 

Seperti namanya, Sinar memberikan sinar kepada siapa saja untuk mencari makna terdalam dari kehidupan ini. Ia merupakan guru bangsa yang kepadanya kita dapat menimba pengalaman praktis wujud kebajikan sosial. Tentu yang terpenting, Sinar pada hakikatnya merupakan simbolisasi dari sosok yang sampai kini masih hidup di bawah bayang-bayang kemiskinan. 

Simbolisasi ini sekaligus teguran pahit khususnya bagi pihak yang berwenang (pemerintah) dan umumnya bagi masyarakat, bahwa pemerataan pembangunan yang berujung pada kemakmuran masyarakat masih dirasakan belum maksimal. Sepenggal kisah ini menuntut kita untuk bergandengan tangan dan menggunakan berbagai pendekatan dalam mengatasinya, baik ekonomi, politik, pendidikan, kultur atau teologi. Dengan berbagai pendekatan tersebut diharapkan cerita duka tentang kemiskinan berikutnya tidak akan muncul. Wa Allahu A'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun