Mohon tunggu...
Muhammad Qorib
Muhammad Qorib Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Fakultas Agama Islam UMSU

Bekerja di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama Narsistik

4 Desember 2018   10:40 Diperbarui: 4 Desember 2018   11:13 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perkembangan teknologi terbukti memiliki peran yang amat luar biasa dalam percepatan aktivitas manusia. Sentralisasi berbagai aktivitas yang semula di tangan manusia secara massif bergeser kepada mesin super canggih yang cukup memukau. 

Hasil produksi secara ekonomis menjadi berlipat ganda karenanya. Tapi di sisi lain, manusia membutuhkan sesuatu yang lebih vital daripada sekedar prestasi teknologi itu sendiri. 

Inilah yang disebut spiritual, bagian penting sebuah agama. Progresifitas  teknologi yang berujung pada kemakmuran materi pada saat yang sama ternyata turut menggerus aspek spiritual tersebut. Pada tataran inilah agama  perlu memposisikan dirinya secara kontekstual.

Kebutuhan Spiritual

Jika dibaca secara teliti, fenomena kebangkitan agama khususnya di Indonesia, dapat dikatakan belum memberikan efek sosial secara maksimal. Setiap tahun jumlah jamaah haji yang melakukan kunjungan spiritual ke Mekkah semakin meningkat. 

Aktivitas sakral tersebut merupakan salah satu bentuk fenomena kebangkitan agama. Namun seiring dengan itu, kemiskinan tetap melaju kencang, bahkan lebih cepat. Begitu pula meningkatnya jumlah jamaah yang mengikuti pengajian spiritual, namun ironisnya korupsi tetap berjalan, bahkan mungkin beberapa pelakunya jamaah aktif di pengajian itu. 

Training-training spiritual juga menyajikan nuansa yang hampir sama, banyak yang menangis ketika sampai pada puncak acara. Namun tangisan itu instan, ketika keluar forum tangisan yang sama tidak bisa dilakukan.

Pemandangan demikian lebih tepat disebut sebagai narsisme spiritual ketimbang kebangkitan agama. Istilah tersebut menunjukkan lahirnya egoisme pribadi dalam jubah agama. Model keberagamaan demikian berakhir dengan jatuh cinta pada diri sendiri secara berlebihan. 

Kepuasan dalam beragama diekspresikan dengan tangisan yang kuat, atau frekuensi yang meningkat dalam melaksanakan ibadah simbolik semisal haji. Agama hanya berfungsi sebagai sanctuary (tempat pelarian), bukan sumber menyemburnya moralitas dan kebajikan sosial. 

Seseorang diberikan predikat sosok religius manakala ia tekun dan konsisten melaksanakan rutinitas ritual. Dalam konteks ini, peran agama bergeser dari sebuah institusi pembebas menjadi penjara simbol-simbol. Selama seseorang melaksanakan simbolisme tertentu, sejauh itu pula ia merupakan sosok agamis.

 Tak jarang, dalam situasi seperti ini agama ditumpangi oleh berbagai kepentingan; komoditas ekonomi atau politik. Orang ingin kaya dan mempunyai lompatan politik yang cepat dengan menimang-nimang agama. Yang lebih memprihatinkan, nalar sehat menjadi tumpul. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun