Mohon tunggu...
Muhammad Padisha
Muhammad Padisha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Apapun yang terjadi, tetaplah menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Perang Berskala Besar Cenderung Menurun di Era Kontemporer

14 September 2024   14:00 Diperbarui: 14 September 2024   14:01 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pexels/Asim Alnamat

Selama periode dua ratus tahun terakhir, kurang lebih terdapat 77 perang berskala besar yang telah terjadi. Dikutip dari Britannica, terjadi 36 pertempuran besar yang terjadi antara kurun periode 1800-1900, beberapa yang terkenal antara lain Perang Napoleon (1803-1815), Perang Saudara di Amerika (1861-1865), dan Perang Afrika Selatan (1899-1902).

Di abad selanjutnya, tepatnya pada kurun waktu 1900-2000, setidaknya terjadi 37 pertempuran besar yang terjadi. Pada periode inilah banyak sekali tercipta perang dengan jumlah korban jiwa dan kerugian yang fantastis, seperti Perang Dunia I (1914-1918) yang memakan 40 juta korban jiwa, di mana 20 juta orang tewas dan 21 juta lainnya mengalami luka-luka. 

Perang Dunia II (1936-1945), yang diestimasikan memakan 70-85 juta korban jiwa, dengan total kematian 40-50 juta jiwa, dan estimasi total kerugian yang tak terkirakan. Perang Irak-Iran atau lebih dikenal dengan Perang Teluk Persia (1980-1988), yang setidaknya menewaskan 250-500 ribu prajurit dan milisi.

Kemudian pada periode setelahnya, terutama setelah berakhirnya perang dingin antara dua blok besar dunia, pada waktu itu Uni Soviet dan Amerika Serikat, terjadi penurunan tren perang besar pada dunia secara keseluruhan. Di mana, hanya tercatat beberapa perang saja yang dapat digolongkan menjadi perang besar, beberapa di antaranya seperti Perang Afghanistan (2001-2014), Perang Iraq (2003-2011), serta Perang Saudar di Syria (2012-sekarang).

Meskipun telah terjadi penurunan tren perang besar yang signifikan, apakah bisa dikatakan bahwa dunia sekarang sedang berada pada kondisi long peace? rasanya kurang etis jika menyebut demikian.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Science, Michael Price membahas pertanyaan penting tentang masa depan geopolitik dunia. Price menulis, “Are we in the middle of a long peace—or on the brink of a major war?” kemudian mengatakan bahwa dibutuhkan setidaknya 100 tahun untuk mengetahui apakah dunia kita benar-benar damai ataukah perdamaian relatif kita hanyalah sebuah statistik belaka.

Lanjut ke permasalahan, mengapa terjadi penurunan terhadap perang berskala besar yang terjadi ketika memasuki periode tahun 2000-an? Apa hal-hal yang mendasari terjadinya fenomena tersebut? Mari kita bahas.

Mahalnya Harga yang Harus Dibayar

Pada hakikatnya perang bersifat destruktif, semakin besar skala perang yang dihadapi maka semakin besar pula lah konsekuensi dan harga yang harus dibayar oleh negara yang terlibat. Sebagai contoh, pada perang dunia kedua, negara-negara yang terlibat menghabiskan biaya 1,3 triliun dollar, dan Amerika Serikat menjadi negara yang paling boros, yang menghabiskan 341 miliar dollar untuk keperluan perang.

Dalam perang, orang-orang yang tak bersalah seringkali menjadi korban. Para negara-negara penjajah ataupun mereka yang melakukan invasi cenderung mengeksploitasi sumber daya manusia di negara tempat mereka menginvasi secara besar-besaran.

Sumber: SBS German
Sumber: SBS German

Hal ini dapat kita lihat dari fenomena pada perang dunia kedua, di mana tentara Nazi (National Sozialistische) memaksa industri dan pertanian di Prancis, Belanda, Belgia, Denmark, dan Norwegia untuk memenuhi kebutuhan Jerman, akibatnya banyak rakyat yang menderita, kekurangan pasokan makanan, dan mati kelaparan.

Tak hanya itu, jutaan masyarakat di Eropa Timur juga menjadi saksi dari betapa kejamnya perang. Para pria dan wanita yang berbadan sehat dieksploitasi untuk melakukan kerja paksa dengan cara yang sadis dan brutal, menyebabkan mereka mengalami kelelahan ekstrem, depresi, bahkan kematian.

Selain dari hal tadi, perang berskala besar juga berdampak pada hancurnya lingkungan dan bangunan-bangunan bersejarah yang tak ternilai harganya. Bangunan-bangunan seperti ribuan bangunan bersejarah di sebagian besar negara-negara Eropa, Kota Kuno Palmyra di Suriah, Patung Buddha Bamiyan di Afghanistan, Kota Kuno Cyrene di Libya, Istana Musim Panas Lama di Tiongkok, Masjid Agung Aleppo di Suriah, dan masih banyak lagi bangunan bersejarah lainnya hancur karena kejamnya perang.

Sumber: History.com
Sumber: History.com

Perang berskala besar lebih banyak mendatangkan kerugian baik secara materil dan non-materil daripada keuntungan yang didapatkan. Hal ini membuat negara-negara di era kontemporer saat ini memilih untuk mencari solusi alternatif lain selain perang ketika sedang mengalami konflik.

Banyak Negara yang Mengalami Interdepedensi

Sumber: Internet
Sumber: Internet

Interdependensi antar negara, terutama di era globalisasi, telah menjadi salah satu faktor kunci yang menurunkan risiko terjadinya perang berskala besar di dunia kontemporer. Salah satu alasan utamanya adalah meningkatnya ketergantungan ekonomi antar negara.

Di dunia yang semakin saling terhubung, negara-negara membentuk jaringan ekonomi global yang saling bergantung satu sama lain, terutama dalam hal perdagangan, investasi, dan produksi.

Ketika sebuah negara sangat bergantung pada negara lain untuk bahan baku, pasar ekspor, atau investasi modal, keputusan untuk memulai konflik bersenjata akan sangat merugikan kepentingan ekonominya sendiri, sehingga sebuah negara akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan militer.

Selain aspek ekonomi, interdependensi juga berkembang dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Kolaborasi internasional dalam penelitian, inovasi teknologi, serta perkembangan industri berbasis pengetahuan menciptakan lingkungan yang lebih terhubung antar negara-negara di dunia.

Misalnya, proyek-proyek multinasional di bidang kesehatan, energi, hingga eksplorasi luar angkasa sering kali melibatkan banyak negara yang menyatukan sumber daya dan keahlian mereka.

Dalam konteks ini, ketegangan politik yang berujung pada perang akan mengganggu kemajuan ilmiah dan teknologi, sehingga berpotensi merusak proyek-proyek strategis yang menguntungkan banyak pihak.

Kerja sama di bidang ini menciptakan insentif bagi negara-negara untuk menjaga stabilitas politik dan mencegah eskalasi konflik, karena dampak negatif dari perang tidak hanya dirasakan oleh satu negara, tetapi juga akan merugikan perkembangan global.

Adanya Organisasi Internasional PBB Sebagai Platform Penjaga Perdamaian

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945. Setelah berakhrinya perang dunia kedua, negara-negara dunia berinisiasi untuk mendirikan suatu organisasi internasional yang dapat meminimalisir terjadinya hal yang sama di masa yang akan datang.

Hadirnya Organisasi internasional seperti PBB ternyata menjadi penyebab mengapa perang besar cenderung menurun. Hal ini dikarenakan negara-negara yang terlibat dalam PBB memiliki komitmen untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Fenomena tersebut akhirnya mengurangi risiko negara untuk mengambil langkah-langkah unilateral yang dapat berujung pada perang, karena setiap tindakan militer cenderung mendapatkan respon kolektif dari komunitas internasional yang akan mengisolasi negara tersebut secara politik dan ekonomi.

Munculnya Perang Berskala Kecil Dari Aktor Non-Negara

Kehadiran aktor-aktor non-negara seperti ISIS, Al-Qaeda, dan kelompok teroris lainnya telah mengubah karakter perang di era kontemporer, menyebabkan pergeseran dari perang berskala besar antar negara menuju konflik berskala rendah yang lebih asimetris.

Salah satu alasan utama pergeseran ini adalah bahwa kelompok-kelompok ini menggunakan taktik perang yang berbeda dari aktor negara pada umumnya. Mereka sering kali terlibat dalam konflik yang tersebar, menggunakan serangan teroris, perang gerilya, dan taktik hit-and-run untuk mengganggu negara-negara dan masyarakat.

Sumber: The Guardian
Sumber: The Guardian

Tindakan mereka tidak dimaksudkan untuk menduduki wilayah dalam arti tradisional, tetapi untuk menciptakan ketakutan, kekacauan, dan ketidakstabilan politik. Akibatnya, perang ini bersifat lebih terfragmentasi dan tersebar, berbeda dari perang besar yang melibatkan militer konvensional dan perebutan wilayah antara negara-negara.

Selain itu, kehadiran teknologi komunikasi modern dan media sosial telah mempermudah kelompok-kelompok teroris ini untuk menyebarkan ideologi dan merekrut pengikut dari berbagai penjuru dunia.

Alih-alih memobilisasi angkatan bersenjata besar seperti negara tradisional, kelompok ini mampu merekrut individu-individu atau kelompok-kelompok kecil yang kemudian dapat melakukan serangan di berbagai wilayah secara independen.

Strategi ini membuat perang yang mereka ciptakan menjadi "berskala rendah" tetapi dengan dampak yang sangat luas dan berjangkauan global. Serangan teroris seperti bom bunuh diri, pembajakan, dan serangan siber sering kali bersifat sporadis dan sulit diprediksi, namun cukup untuk menciptakan ketegangan internasional tanpa harus melibatkan perang besar-besaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun