Mohon tunggu...
Muhammad Nur Islamadina
Muhammad Nur Islamadina Mohon Tunggu... Penulis - Laman berbagi pengetahuan

Selamat Datang di laman saya. Mudah-mudahan dapat membantu saudara/i dengan sedikit pengetahuan yang saya miliki.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menganalisis Kaba Rancak di Labuah: Nilai Kehidupan

18 Desember 2019   19:51 Diperbarui: 18 Desember 2019   20:41 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minangkabau memiliki dasar aturan, pedoman atau pegangan yang dimiliki oleh setiap masyarakakat di Minangkabau yaitu falsafah yang telah mendarah daging. Maksud dan tujuan dari falsafah disini adalah untuk menghormati atau menjaga, mengamati dan dapat menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan dapat menjadikan contoh. Dalam kehidupan bermayarakat pastinya terdapat beberapa sifat dan perilaku yang berbeda-beda. Untuk mengenali beragam sifat itu perlu pemahaman dan perasaan yang mendalam memahaminya.

Dalam sebuah karya sastra terdapat beragam cerita dan pengalaman yang dialami oleh penulis dalam kehidupan sehari-harinya. Dahulu cerita hanya disampaikan melalui komunikasi secara lisan dan diperluas atau diberitahukan kepada orang lain dengan berkomunikasi serta berinteraksi. Hasil dari komunikasi itu yaitu sebuah kabar berita atau informasi yang terbaru dan dikemas dengan asumsi atau pendapat yang berbeda antara satu orang yang sebelumnya dan yang baru menerima kabar tersebut.

Perkembangan sastra di Minangkabau mulai dari sastra lisan, sastra tertulis berupa naskah (tulisan tangan) sampai sastra berupa buku  cetakan. Prosa dalam sastra Minangkabau berupa curito (cerita), kaba (cerita), tambo dan undang-undang. Pada awalnya kaba atau sastra lisan disampaikan dari mulut ke mulut. Cerita dilafalkan oleh tukang kaba (tukang cerita), kemudian dilagukan atau didendangkan oleh tukang kaba.

Sastra tradisional Minangkabau adalah kaba, merupakan cerita prosa liris sejenis pantun dalam sastra sunda. Kaba berbeda dengan hikayat dalam bahasa Melayu dari segi bahasanya. Hikayat ditulis dengan gaya bahasa prosa biasa.

Sedangkan, kaba ditulis dengan gaya bahasa prosa berirama. Dijelaskan oleh Bakar (1979: 8-9), gaya prosa berirama ditandai oleh suatu ciri penanda yang khas. Pola kalimatnya terdiri atas gatra-gatra dengan jumlah suku kata yang relatif tetap.

Biasanya masing-masing gatra terdiri dari atas 8 sampai dengan 10 suku kata. Konsistensi jumlah suku kata itulah yang memungkinkan timbulnya irama pada sebuah lagu.

Minangkabau sangat menjunjung tinggi tentang sebuah kaba (cerita) keberadaan seseorang atau informasi mengenai sesuatu yang dianggap penting dan terbaru. Banyak sekali kaba (cerita) yang disusun menjadi sebuah karya sastra dan menjadi buku yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi orang yang belum pernah membacanya.

Selain itu, dalam kaba juga terdapat nilai-nilai yang arif dan bijak untuk dijadikan acuan atau pedoman yang dapat diambil setelah membaca kaba tersebut.

Kaba itu tergolong sebuah cerita rakyat, cerita yang hidup dikalangan masyarakat dan kaba disebut sastra tradisional, pengarang kaba umumnya adalah anonim, hanya ada beberapa nama saja yang disebut penulis yaitu Sultan Pangaduan, Sjamsudin St. Rajo Endah dan Selasih. Kaba berfungsi sebagai hiburan, pelipur lara dan sebagai nasihat, pendidikan moral.

Kaba yang akan dibahas yaitu "Kaba Rancak di Labuah" dan pengarangnya yaitu Dt. Panduko Alam. Kaba ini merupakan cerita yang memiliki pesan yang tersirat.

Di sini penulis menceritakan kisah yang penuh lika-liku dalam kehidupan masyarakat. Seorang tokoh dalam cerita ini yang bernama Rancak di Labuah di gambarkan pada awalnya memiliki sifat yang malas, malas disini memiliki arti ia hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan sosok yang berada disekelilingnya seperti ayah dan ibunya. Ia lebih mengikuti apa yang ia inginkan dan menghiraukan apa  yang dikatakan oleh kedua orang tua nya. Seperti dalam ungkapan pantun berikut:

Manduduik makan tambakau (menghisap makan tembakau)
Tiuik tambakau lai sapinang (tiup tembakau iya sepinang)
Antaro ikuik kan dikusau (antara ikut kan dikacau)
Sabalun nyawo badan hilang. (sebelum nyawa badan hilang)

Manduo kudo diracak (mendua kuda direcak)
Bari batali palanonyo; (beri bertali pelananya)
Maso mudo dunia dikacak (masa muda dunia dikacak)
Malah tuo apo gunonyo? (malah tua apa gunanya?)

Maksud dari pantun diatas yaitu seorang pemuda itu harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang sangat luas dan mencari sampai jauh agar dapat memilikinya. Ketika sudah tua nanti apa gunanya, badan yang bakal tidak kuat dan lemah. Jadi, masa muda ini harus dinikmati dan ketika sudah tua nanti tidak bakal terpenuhi apa yang diinginkan.

Namun, dalam perkembangannya tokoh Rancak di Labuah mulai tersadar akan peran nya dalam keluarga yaitu menjadi sosok yang berbeda menjadi pekerja keras, taat beragama dan suka membantu sesama. Hal itu dapat dilihat dalam pantun yang diungkapkan oleh ibu Rancak di Labuah yang dapat membuat sang anak menjadi sadar akan pahitnya kehidupan. Sosok ibu, sangat berpengaruh dalam perjalanan karir Rancak di Labuah, karena ia memberikan nasihat yang membangun dan membuat sang anak dapat berpikir dan merenungi apa tindakan yang salah dan benar. Pantun yang tersirat saat Ibu Rancak di Labuah memberi nasehat agar jangan berleha-leha mencari kesenangan dunia. Sebagai berikut,

"Indaklah buliah dirabahkan (tidaklah boleh direbahkan)
Batang padi di subarang; (batang padi di seberang)
Indaklah buliah ditagahkan (tidaklah boleh dihentikan)
Kahandak hati surang-surang (kehendak hati sendiri-sendiri)
Manyahuik Siti Juhari, (menyahut Siti Juhari),

Dangakan bana di buyuang, (dengarkan baik oleh Buyung)
Ijuak samo dihampaikan (Ijuk sama dihempaskan)
Babanda ka limau puruik (berbanda ke limau purut)
Isuak kan samo dirasai (esokkan sama dirasa)
Pangaja mandeh tak dituruik. (pengajar Mandeh tak diturut)

Siriah naiak junjuangan naiak (sirih naik junjungan naik)
Bari bajunjuang kayu balam; (beri berjunjung kayu balam)
Sansai baiak binaso baiak (sengsara baik binasa baik)
Badan anak juo nan ka karam." (badan anak juga yang kan tenggelam)"

Setelah mendengar nasihat yang diberikan oleh Ibunya, Rancak di Labuah pun mencoba peruntungan dengan berjualan, namun apa yang diterima ia mendapat kesukaran dalam menjalankan usaha yang tengah dilakukan.

Akhirnya, ia mencoba terus dan terus berusaha dengan memperbaiki kesalahan yang pernah ia buat. Usaha yang dilakukan membuahkan hasil yang sangat memuaskan, bisa membeli segala kebutuhan pokok yang sebelumnya belum terpenuhi. Kini, Rancak di Labuah pun bisa menikmati hasil yang telah ia peroleh.

Dalam masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi peran seorang laki-laki, karena ia dapat menggunakan tenaga dan akal pikirnya untuk dapat mengolah sumber daya yang ada. Seorang laki-laki mempunyai peran yaitu mengurus harta (bendi, pedati serta ternak), memakai atau memelihara sebagai sumber nafkahnya.

Sedangkan perempuan mengelola, mengolah dan memelihara segala sesuatu yang berada di dalam rumah gadang. Diibaratkan seperti ini, rumah gadang yang mengelola perempuan dan laki-laki mengelola atau mengurus bagian laman rumah gadang, seperti rangkiang (sebagai tempat menyimpan hasil pangan, misalnya beras).

Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari Kaba Rancak di Labuah adalah kita harus mensyukuri apa yang telah kita miliki, sekalipun kita belum memiliki maka diupayakan dengan berusaha dan semnagat untuk menggapai apa yang sedang diupayakan.

Selain berusaha diiringi oleh restunya kedua orang tua dan dengan menyampaikan apa yang diinginkan dengan berdoa pada yang Maha Kuasa.

Karena, segala sesuatunya berasal dari sang pencipta dan dengan izin darinya kita bisa mendapatkan apa yang diharapkan dan apa yang dicita-citakan.

Hal itu tergambar dalam pernyataan tokoh Rancak di Labuah yang menyesali atas tindakan yang merugikan dirinya dan orang tuanya yaitu "Mandeh kanduang ampuni denai, tapuak tampalah dek mandeh, amun makilah dek Mandeh, sabab pi'I denai lah talampau, tingkah den lah tadorong". Ambo mintak juo pado Mandeh, sasek namuah den suruik, salah namuah den tobat, asa utang Mandeh bayia, nan sahinggo iko kaateh, aden basumpah pado Allah, indak ka ancak-ancak juo, hanyo ikara jo lidah, den manuruik kato Mandeh".

Maksud dari pernyataan tersebut adalah sebagai rasa penyesalan seperti yang telah ditulis diatas. Penyesalan terhadap apa yang telah diperbuat seperti hanya mementingkan dirinya sendiri (egois) dan tidak mau mendengar petuah atau nasihat yang diungkapkan oleh Ibundanya kepada Rancak di Labuah, namun nasihat tersebut menghiraukan nasihat ibunya hingga akhirnya menyesali perbuatannya.

Pada cerita (kaba) Rancak di Labuah terdapat sikap dan perilaku yang sesuai dengan adat Minangkabau yaitu seperti rasa bertanggung jawab, patuh kepada kedua orang tua, pekerja keras, mau memperbaiki kesalahan dan adil terhadap sesama. Seperti yang diungkapkan dalam pernyataan sebagai berikut,

 "Dek lamo bakalamoan, pihak Rancak di Labuah alah barubah paratian, lah takana dinan bana, lah labiah susah daripado sanang, lah labiah jago daripado tidua, lah biaso duko daripado suko, musin ka sawah lah ka sawah, musin ka ladang inyo ka ladang, urang manggaleh, lah namuah basusah payah, namuah bak urang bak awak, pandai bajojo jo baniago, lah baladang lah bahuma, pandai maniru manuladan, namuah mancontoh kabaikan, kuaik baguru ka nan pandai, kuaik batanyo ka nan tahu, suko barundiang jo nan tuo". "(karena lama kelamaan, pihak Rancak di Labuh sudah berubah perhatian, sudah diingat ke yang benar, sudah lebih susah daripada senang, sudah lebih bangun daripada tidur, sudah biasa duka daripada suka, musim ke sawah sudah ke sawah, musim ke ladang dia ke ladang, orang berjualan, sudah mau bersusah payah, sudah mau bersimpati, pandai berjaja dan berniaga, sudah berladang sudah berhuma, pandai meniru meneladan, sudah mau mencontoh kebaikan, kuat berguru ke yang pandai, kuat bertanya ke yang tahu, suka berunding dengan yang tua)."

Jadi, sosok tersebut memiliki sikap dan perilaku yang baik dapat dijadikan media pembelajaran untuk yang membaca Kaba Rancak di Labuah ini. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dalm ceritanya, mudah dipahami walaupun ada beberapa diksi yang agak kurang dipahami. Seperti yang telah dipaparkan diatas kurang lebihnya seperti itu gambaran mengenai tokoh Rancak di Labuah.

DAFTAR PUSTAKA
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafitipers.
Edwar, Djamaris. 2001. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Alam, Panduko. 1960. Kaba Rancak Di Labuah. Bukitinggi: Kristal Multimedia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun