Mohon tunggu...
Muhammad Nur Hasan
Muhammad Nur Hasan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Muhammad Nur Hasan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah di Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Menulis bagiku suatu kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Filsafat dan hukum menjadi genre keilmuan yang saya minati. Diskusi dan kajian adalah kegiatan yang menarik untuk mempertajam pola pikir kritis dan harus dilestarikan di lingkungan akademisi. Terus berproses dan mengembangkan kualitas intelektual menjadi fokus utama yang harus saya lakukan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Kasultanan Sambaliung

13 Juli 2024   22:35 Diperbarui: 13 Juli 2024   22:45 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://id.pinterest.com/pin/836614068310044658/

            Kesultanan Sambaliung adalah salah satu kerajaan di Kalimantan Timur yang berdiri pada 1810. Daerah Kesultanan Sambaliung saat ini menjadi Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kasultanan sambaliung merupakan pecahan dari Kerajaan Berau yang diakibatkan oleh politik divide et impera dari Belanda.  Sebelumnya , kasultanan sambaliung ini bernama Tanjung yang kemudian diganti menjadi Batu Putih dan akhirnya Sambaliung pada 1849. Setelah berdiri selama satu setengah abad, riwayat Kesultanan Sambaliung berakhir pada 1960, ketika wiayahnya digabungkan dengan Gunung Tabur menjadi Kabupaten Berau.

A. Sejarah Berdirinya Kasultanan Sambaliung

  • Masa Kolonial Belanda

            Kasultanan Sambaliung terletak di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Akibat politik divide et impera (pecah belah) yang dilakukan oleh Belanda, Kerajaan Berau pecah menjadi dua, yaitu Kasultanan Sambaliung dan Kasultanan Gunung Tabur. Pada awalnya, Kasultanan Sambaliung ini memiliki nama Tanjung yang kemudian diubah menjadi Batu Putih, dan pada akhirnya bernama Sambaliung pada tahun 1849. Raja Alam yang memiliki gelar Sultan Alimuddin merupakan raja pertama dari Kasultanan Sambaliung. Menurut catatan sejarah, Aji Dilayas Raja Berau ke-9 memiliki dua orang putra , yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Berdasarkan silsilah keturunan Berau, Raja Alam berasal dari keturunan Pangeran Tua.

            Raja Alam dikenal sebagai raja yang gigih dalam menentang penjajahan Belanda pada waktu itu. Ia menyadari tujuan Belanda ke Berau adalah untuk melakukan politik divide et impera ( pecah belah) yang mengakibatkan pecahnya Kerajaan Berau menjadi dua. Raja Alam berusaha mencari cara supaya rencana belanda untuk melakukan politik pecah belah ini bisa digagalkan yaitu dengan cara mengadakan kerjasama dengan para pejuang Bugis, Sulu, dan Makassar. Sebagai persiapan awal dalam menghadapi Belanda, dibangunlah sebuah benteng yang sangat kokoh di Batu Putih, Tanjung Mangkalihat. 

           Namun, Belanda sudah tau strategi yang akan dilakukan oleh Raja Alam, sebagai bentuk antisipasi, Belanda menyiapkan angkatan lautnya semenjak April 1834. Belanda melakukan tuduhan terhadap Raja Alam, dimana Belanda membuat siasat dengan cara membuat pengaduan seolah-olah Raja Aji Kuning II (Raja Gunung Tabur) telah melaporkan kepada Belanda bahwa kapal-kapal Belanda dibajak oleh pengikut dan sekutu dari Raja Alam dengan disertai bukti palsu. Padahal, tidak ada kapal yang dibajak dan Raja Kuning II tidak pernah mengadu kepada Belanda terkait pembajakan kapal-kapal Belanda. Jadi, semua itu merupakan siasat Belanda agar bisa melakukan ekspedisi penghukuman terhadap  Raja Alam.   

            Pada September 1834 , Belanda mengirimkan pasukan yang terdiri dari empat buah kapal perang dan pasukan yang dipimpin oleh Kapten Laut Anemaelt untuk menyerang central pertahanan Raja Alam. Raja Alam dengan dibantu sekutunya yaitu pejuang Bugis, Sulu beserta menantunya yang bernama Syarif Dakula yang berasal dari Sulu, melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan gigih. Akan tetapi, Belanda sudah mempersiapkan strategi dengan matang yang mengakibatkan pasukan Raja Alam dan sekutunya terdesak ke Tanjung dan bertahan di Muara Lasan. Di tempat ini juga, Raja Alam dikalahkan dan  ditawan oleh Belanda. 

             Hal ini dimanfaatkan oleh Belanda, supaya Syarif Dakula menyerah dan mau bekerja sama dengan Belanda. Kemudian, Syarif Dakula diperintah oleh pihak Belanda untuk datang di kapal perang Belanda guna melakukan perundingan. Dalam perundingan yang berlangsung, Syarif Dakula tetap menolak untuk bekerja sama dengan pihak Belanda, dan  memilih untuk terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pada akhirnya, Syarif Dakula-pun ditangkap dan hendak diasingkan ke Makasar bersama Raja Alam. Akan tetapi, ketika Syarif Dakula ditangkap, ia melakukan perlawanan yang pada akhirnya Syarif Dakula tewas dan mayatnya dibuang ke laut oleh pihak Belanda. 

             Ratu Ammas Mira yang merupakan istri dari Syarif Dakula beserta anaknya ikut melompat ke laut, namun keduanya masih dapat diselamatkan. Berdasarkan referensi atau sumber lain menyebutkan bahwa, Syarif Dakula mengamuk di kapal dan melukai beberapa tentara Belanda, kemudian ia melompat ke laut bersama anak dan istrinya. Namun, hanya anak dan Istrinya yang bisa diselamatkan. Karena situasi pada waktu itu dianggap mengancam Belanda, maka Raja Alam disandera dan diasingkan Belanda ke Makassar.

            Setelah Belanda mengasingkan Raja Alam, pada 27 September 1834 Belanda membuat perjanjian dengan Kasultanan Gunung Tabur yang isi dari perjanjian tersebut adalah diserahkannya pengelolaan Sambaliung kepada Kasultanan Gunung Tabur dengan Pangeran Muda dari Kutai dan keluarga dari Istri Raja Alam sebagai pelaksananya. Hal ini bertujuan agar dapat meredakan kekacauan yang terjadi sepeninggal Raja Alam, dimana para pengikut dari Syarif Dakula dan Pangeran Petta mengancam keamanan, bahkan Muara Bangun sebagai tempat singgah sultan Gunung Tabur diserang oleh pejuang Bugis dan Sulu. 

           Maka dari itu, segala pengelolaan Sambaliung diserahkan kepada Pangeran Muda asal Kutai yang merupakan kerabat dari Raja Alam. Namun, apa yang telah dilakukan Belanda itu tidak menjadikan kekacauan ini Reda, sehingga Sultan Aji Kuning II dari Gunung Tabur mengirimkan permohonan supaya Raja Alam di serahkan kembali ke Sambaliung.

            Pada Akhirnya, Belanda setuju dengan permohonan Sultan Aji Kuning II dan pada 15 September 1836 Raja Alam di pulangkan kembali ke Sambaliung. Setahun kemudian, pada 24 Juni 1837 Raja Alam dan keluarganya diizinkan untuk tinggal dan kembali ke Batu Putih dengan syarat ia harus bersedia menjadi bawahan dari Kasultanan Gunung Tabur dan memberi pengakuan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, Raja Alam menolak untuk tunduk kepada kolonial Belanda yang sudah tujuh tahun lamanya membujuk Raja Alam. 

            Sultan Gunung Tabur tidak bisa berbuat apa-apa walaupun Raja Alam menolak untuk menjadi bawahannya karena ia sadar bahwa ini semua adalah strategi adu domba Belanda. Sultan Aji Kuning juga menyadari adat istiadat yang berlaku disana, dimana jika seseorang berani menyakiti saudara tuanya maka akan mendapat karma. Raja Alam adalah keturunan ke-13 dari Aji Raden Suryanata Kesuma, pendiri dari Kerajaan Berau , sedangkan Sultan Aji Kuning II adalah keturunan ke-14.

            Pada akhirnya, pada 1844 Belanda menyerah dan mengakui keberadaan Kasultanan Sambaliung, namun Raja Alam tetap tidak bisa menerima pengakuan ini, karena menurutnya dengan menerima pengakuan itu dirinya dibawah kendali oleh pemerintah Belanda. Pada 7 Juli 1848, Raja Alam wafat dan dimakamkan di Sungai Rindang, dekat Batu Putih.

  • Masa Penjajahan Jepang dan Pasca Proklamasi Kemerdekaan 

            Pada Januari 1942, jepang mulai menempati daerah tambang minyak di Tarakan yang sebelumnya Jepang juga menghancurkan lapangan terbang milik Belanda di Tarakan dan Samarinda. Satu per satu bekas wilayah kekuasaan Belanda dapat dikuasai oleh Jepang . Pada akhirnya, kolonial Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942. Pada mulanya, Jepang dianggap sebagai pembebas oleh rakyat Indonesia dari penjajahan Belanda, tapi kenyataannya rakyat justru semakin menderita.

            Ketike Jepang sudah menempati Sambaliung dan Gunung Tabur , Jepang membuat sistem pemerintahan yang hampir sama dengan Belanda. Untuk mengontrol daerah jajahannya, Jepang mengutus seorang bunkenkarikan untuk mengurus pemerintahan sipil di daerah yang dijajah. Sultan Muhammad Aminuddin sebagai penguasa Kasultanan Sambaliung tidak bisa melakukan apa-apa terhadap perlakuan Jepang terhadap rakyatnya. Pada masa Jepang ini, Sultan Muhammad Aminuddin dibantu oleh dua orang asisten wedana dalam menjalankan roda pemerintahan, yaitu Asisten Wedana Sambaliung dan Asisten Wedana Talisayan.

            Jepang menindas rakyat Sambaliung , dimana rakyat dipaksa untuk menyerahkan bahan pangan dan pakaian demi kepentingan jepang. Selain itu, para pemuda diwajibkan untuk ikut dalam pelatihan organisasi semi-militer untuk membela Jepang dalam peperangan yang bernama seinendan. Hal itu menyebabkan rakyat Sambaliung mengalami krisis kelaparan dan kekurangan bahan pangan . Para anggota kenpetai (dinas rahasia jepang) yang didukung oleh junpo (polisi rahasia) selalu mengawasi rakyat yang hendak membangkang, dan polisi rahasia ini merekrut rakyat untuk menjadi anteknya jepang.

            Pada suatu hari, kaum nasionalis terpelajar atau kaum akademisi mulai melakukan perlawanan terhadap Jepang yang mengakibatkan 500-600 orang ditangkap oleh jepang dan ada juga kaum nasionalis yang menjadi korban kekejaman Jepang. Saat Jepang menyerah kepada sekutu, Jepang mulai meninggalkan daerah jajahannya itu. Para antek Jepang yang direkrut mengalami pembalasan. Dimana anggota junpo yang merupakan rakyat sendiri yang bernama Garuda, ditangkap dan dibunuh oleh rakyat pada  waktu itu. Anggota junpo yang lainnya seperti Raden Sukarna terpaksa melarikan diri.

            Pada akhirnya, Kasultanan Sambaliung berakhir pada 1960 dan wilayahnya digabung dengan Gunung Tabur menjadi Kabupaten Berau. Muhammad Aminuddin sebagai Sultan Sambaliung yang terakhir, kemudian dilantik mennjadi Bupati yang pertama. Sejak saat itu, Sambaliung menjadi nama kecamatan di Provinsi Kalimantan Timur.

B. Nama Raja Kasultanan Sambaliung

  • Berikut adalah nama raja-raja dari Kasultanan Sambaliung, yaitu :
  • Sultan Alimuddin/Raja Alam (1810-1844)
  • Sultan Kaharuddin/Raja Bungkoh (1844-1848)
  • Sultan Hadi Jalaluddin (1848-1850)
  • Sultan Asyik Syarifuddin (1850-1863)
  • Sultan Salehuddin (1863-1869)
  • Sultan Adil Jalaluddin (1869-1881)
  • Sultan Bayanuddin (1881-1902)
  • Sultan Muhammad Aminuddin (1902-1960)

C. Ekonomi dan Sosial Kemasyarakatan

            Sumber daya alam di kawasan Sambaliung sangat melimpah terutama pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Pada zaman Raja Alam, Sambaliung ini menarik para pendatang dan mayoritas masyarakat pada waktu itu bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Dibidang sosial, Sambaliung terdiri dari berbagai macam suku diantaranya adalah Bugis, Dayak, Berau dan Bajau.  

D. Peninggalan Sejarah 

            Salah satu peninggalan dari Kasultanan Sambaliung adalah Istana Sambaliung. Saat ini, Istana Sambaliung dijadikan sebagai museum sejarah yang  didalamnya menyimpan berbagai peninggalan Kasultanan Sambaliung, seperti tiang kayu ulin yang memiliki ukiran aksara Bugis dan letaknya di depan museum. Aksara bugis tersebut berisikan, peraturan untuk rakyat yang hendak melewati Istana.

Daftar Pustaka

Taniputera, Ivan. (2017). Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara Jilid 2. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun