Mohon tunggu...
Seni dan Budaya Kita
Seni dan Budaya Kita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Media, Seni, Sastra, dan Berita

Penulis, Seni, Sastra, dan Berita

Selanjutnya

Tutup

Seni

Fuang Sompa pada Baso, Orang Tua yang Me-Rasa, Bukan Merasa Orang Tua

14 Januari 2024   18:18 Diperbarui: 14 Januari 2024   18:33 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu hari, saat itu di Gemuruh Lokalitas yang ke 6 di Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta, perhelatan seni pertunjukan dengan membawakan tematik Senandung Orang Tua kepada Anak. Jika teringat kata senandung, semstinya di kalangan kita hari ini (yaa... Sepertinya yang punya pengalaman tentang kampung halaman), pasti tidak begitu asing. Mungkin karena terhelai selembar memori tentang pengalaman masa kecil yang masuk lewat indra telinga kita saat kala itu.

Sama seperti yang dibawakan oleh Baso Faisal, salah satu pengkarya yang menyajikan Pertunjukan Seni-nya dengan tajuk Fuang Sompa. 

Baso dan Tim (Nopal, Ridi, Azmi, Amat, Juanita, Pingky) Dokpri
Baso dan Tim (Nopal, Ridi, Azmi, Amat, Juanita, Pingky) Dokpri

Baso dan Tim (Sayid Ali, Nopal, Juanita, Azmi, Ridi, Amat, dan Cholsverde) Dokpri
Baso dan Tim (Sayid Ali, Nopal, Juanita, Azmi, Ridi, Amat, dan Cholsverde) Dokpri

Fuang Sompa merupakan sajian senandung yang diangkat oleh Baso Faisal lewat pengalaman empirik nya saat kecil. Ia bercerita, lewat proses perjalanan karyanya tersebut, bahwa senandung tersebut biasa dinyanyikan oleh Neneknya yang berada di kampung halamannya, di Sulawesi Selatan. Jika dibaca, Baso memang punya kedekatan lokal lewat keluarganya, terutama sangat penting kita ucapkan terima kasih kepada neneknya, ternyata masih ada orang-tua2 kita yang masih melestarikan kepunyaannya sebagai identitas. 

 (Dokpri)
 (Dokpri)

Pada momen sezaman hari ini, entah efek dari arus budaya baru atau budaya populer yang telah masuk sejak abad kolonial berdiri di Nusantara, banyak ditemukan miss-komunikasi yang hadir di negeri tua kita ini. Entah sih ya, karena efek keterpaksaan pada era kolonialistik saat itu hingga mengakibatkan ketidaksiapan di banyak atom, terutama etika dan moralitas. Atau pun memang terdapat perbedaan yang jauh dari budaya barat maupun Nusantara yang dikategorikan sebagai Bangsa Timur. Semenjak hal itu, hingga hari ini, Revolusi industri pun juga menyebarluas kepada masyarakat, terutama di kalangan anak-anak kecil yang makin masif mengkonsumsi. Lihat saja, mungkin kelahiran 1970 s/d 2005-an, mungkin bisa mempraktekan smartphone saja ketika di usia pasca-pendidikan wajib (SD, SMP, atau bahkan ada yg SMA). Tapi setelah tahun-tahun tersebut, hari ini, masifnya penggunaan smartphone sudah bisa dikelola oleh banyak kalangan usia, terutama saat bencana kasus Covid yang memaksa pendidikan anak-anak juga harus berpegang teguh pada dunia android sebagai salah satu media yang membantu proses pembelajaran. Ada positif dan negatif, tergantung signifikan kegunaan dalam memaksimalkan nilai-nilai yang dapat lebih bermanfaat dalam proses kehidupan setiap personal dalam masyarakat.

Apa hubungannya dengan Fuang Sompa? Memang jauh sebenarnya ya. Tapi pasti ada kontekstualnya. Senandung-senandung anak yang telah lama ada dalam budaya orangtua kita dahulu, kebanyakan tidak tertulis, yakni dikatakan sebagai sastra tutur yang disyairkan atau disenandungkan. Hari ini, mungkin banyak anak-anak mulai mereduksi dan memproduksi memori-memori baru untuk tidur pulas bukan lewat suara yang keluar langsung dari mulut manis seorang ibu atau nenek, namun nyanyian MP3 android phone, (sangat memungkinkan). Dan apakah hal tersebut sangat berpengaruh negatif?

Tidak selalu sih. Namun, memori-memori tradisi nenek moyang, mungkin bisa untuk tetap dijaga bukan sekedar untuk kepentingan beberapa momen, tapi seharusnya seperti yang dilakukan oleh Nenek Baso kepada Baso saat kecil. Ketika ditanya oleh Baso, apakah Neneknya bisa menulis? Belum tentu. Lalu bagaimana cara mengingat dan menginstal ulang tentang Fuang Sompa agar terus dapat diingat dan dirasakan tanpa ditulis? 

Itulah! Dilakukan setiap hari. Kepada anak, kepada cucu, dan kepada setiap buah hati kecil. MP3 teruslah berjalan. Android/smartphone teruslah berkembang. Namun, ada tutur-tutur kejujuran yang muncul dari hati, dan itu harus tetaplah diaruskan kepada generasi selanjutnya.

Mungkin sedikit saja nya seperti itu, semua bergantung pada diri setiap personal. Bukan lewat doktrin-dogma atau yang lain, namun niat dan hati. Hayukkk, otw bersama-sama !!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun