Mohon tunggu...
M. Nur'alim
M. Nur'alim Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Teacher, Blogger, Bekerja di SMP Negeri 25 Solo, pengelola di http://edupai.web.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi vs. Umar: Kesederhanaan para Pemimpin

9 Agustus 2013   22:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:29 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang membandingkan gaya blusukan Jokowi dengan Umar bin Khatab. Seolah-olah blusukan yang dilakukan oleh Jokowi merupakan salah satu gaya kepemimpinan Umar bin Khatab. Di satu sisi, itu ada benarnya. Keduanya sama-sama memiliki visi kepemimpinan yang merakyat dan membela rakyat kecil. Kemakmuran rakyat menjadi terjamin. Tingkat kemiskinan menjadi terkontrol oleh pemerintahan.

Pada masa khalifah dahulu, terdapat sebuah badan yang disebut sebagai Baitul Mal. Lembaga ini mengumpulkan zakat, infak dan sedekah yang dikhususkan untuk membantu rakyat yang miskin.

Andai pada masa Umar bin Khattab sudah ada media seperti sekarang, sudah barang tentu, media akan mengabarkan blusukan Umar. Lalu menjadi topik menarik di berbagai headline berita. Namun, sayang pada saat itu, media belum secanggih sekarang. Tetapi, kita bisa belajar dari sejarah yang secara turun-dituturkan kepada anak cucu. Kesederhanaan para pemimpin yang rela menjadi pelayan bagi rakyatnya. Namun, setiap pemimpin pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kondisi kepemimpinan seperti masa Umar bin Khatab, juga pernah ada pada masa Umar bin Abdul Azis, di era Khilafah Bani Umayyah. Umar bin Abdul Azis benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Sampai-sampai, saking makmurnya rakyat waktu itu, kesulitan untuk menyalurkan zakat, karena hampir semua masyarakat sudah berada dalam kategori mampu secara finansial.

Sayangnya gaya kepemimpinan kedua Umar ini tidak banyak diwarisi oleh khalifah-khalifah sesudahnya. Gaya hidup materialistis mulai menghinggapi para khalifah berikutnya. Istana yang megah dengan segala kemewahannya menjadi salah satu bentuk kehidupan duniawi yang semu. Kita bisa melihat peninggalan-peninggalan istana di masa kekhalifahan Islam pada masa lalu. Saat ini, bekas-bekas istana tersebar di berbagai penjuru negeri di timur tengah. Kita dapat menyaksikan istana khalifat, baik di masa Ottoman, maupun Alhamra di Spanyol. Semuanya menunjukkan betapa kemewahan Istana khalifah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan para khalifah waktu itu.

Saya jadi ingat kata-kata Ustaz Bachtiar Nasir, bahwa kesederhanaan itulah yang akan menyelamatkan. Abu Bakar dan Umar adalah sosok yang sederhana. Mereka tak memiliki peninggalan istana, namun, kepemimpinannya dikenang hingga masa sekarang. Berbeda dengan Ottoman Turki, peninggalan istana dapat kita saksikan di tepian Selat Bosporus, namun itu telah melenakan, sehingga menjadikan runtuhnya kekhalifahan.

Berbeda dengan masa kepemimpinan khulafaur Rasyidin yang berpusat di Madinah. Abu Bakar as-Sidik, Umar bin Khatab, Usman bin Affan maupun Ali bin Abi Talib tidak meninggalkan istana apa pun. Kita tidak bisa mendeteksi seperti apa istana ke-4 khalifah tersebut. Para khalifah hidup sederhana, menderita.

Umar bin Khatab pun menjahit pakaiannya sendiri yang telah berlubang. Umar bin Abdul Azis rela membicarakan masalah keluarga dengan anaknya di waktu malam tanpa lampu penerangan. Karena lampu penerangan yang ia miliki adalah fasilitas bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi maupun keluarga. Benar apa yang dilakukan oleh Dahlan Iskan, yang mengganti dirut BUMN, yang istrinya menggunakan mobil Dinas suaminya. Itulah yang terjadi di masa Umar bin Abdul Azis. Baginya, keluarga tidak boleh menggunakan fasilitas negara, termasuk lampu penerangan.

Namun, kondisi sekarang berbeda, mobil dinas bisa dipakai dengan bebas oleh keluarga pejabat. Makan dan minum keluarga pejabat pun difasilitasi oleh negara. Berapa banyak anak pejabat yang berlindung di bawah kebesaran nama orang tuanya. Menggunakan nama besar orang tuanya, untuk memperoleh sesuatu. Seperti meminta kemudahan, kelancaran dan lain-lain.

Mungkin itulah yang ditiru oleh Jokowi, dalam kesederhanaan, mencintai rakyatnya. Gaya Blusukan yang fenomenal, gaya kepemimpinan lama namun menjadi gaya kepemimpinan masa depan. Anaknya juga tidak pernah menggunakan nama besar Jokowi. Tidak salah memang, membandingkan antara Jokowi dengan Umar bin Khattab.

Hanya saja, tokoh-tokoh seperti Jokowi sebenarnya banyak. Ada nama-nama seperti Panglima Besar Jendral Sudirman, juga Dahlan Iskan. Jenderal Sudirman rela menderita demi melindungi rakyatnya. Dalam perang gerilya yang ia lakukan, hidup bersama penduduk di rumah-rumah warga. Makan bersama masyarakat, memberi nama pada bayi yang lahir, mengganti popok bayi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun