Mohon tunggu...
muhammad nuralawi
muhammad nuralawi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Kedokteran hewan Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Pecinan di Surabaya

7 November 2024   15:03 Diperbarui: 2 Desember 2024   17:44 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan Kampung Pecinan di Surabaya

Oleh : Muhammad Nur Alawi (161241287)

Pendahuluan

Latar Belakang

Kota Surabaya sebagai ibukota di Jawa Timur adalah kedua terpadat di indonesia. Lokasinya yang strategis dan kemudahan akses menjadikan Surabaya sebagai kota dagang dan pelabuhan sejak zaman Hindia Beland

a. Salah satu ras yang memegang peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian di Surabaya adalah masyarakat Tionghoa, yang menghuni kampung Pecinan yang tersebar dibanyak lokasi, diantaranya ada di Jalan Karet, Kapasan, dan Kembang Jepun. 

Masyarakat Tionghoa yang mayoritasnya membuka toko dan berjualan berbagai macam hal, mulai dari komoditas bahan pokok sampai obat-obatan. Hal ini menjadikan mereka sebagai penggerak roda perekonomian di Surabaya, sehingga perlu kita perhatikan daerah pecinan, khususnya dari segi historis.

Pada makalah kali ini saya akan lebih menfokuskan pembahasan saya di daerah pecinaan khususnya di Jalan Kembang Jepun yang dulu dikenal dengan Handelstraat saat masa Hindia Belanda, yang memiliki arti jalan perdagangan. Selain karena nilai historis, namun juga sebab potensinya yang dimilikinya, sehingga sayang bila hanya mengkaji secara historis saja dan mengabaikan akan potensinya sebagai tempat tujuan wisata. Jadi pembahasan ini juga akan menyinggung mengenai revitalisasi daerah pecinan khususnya yang ada di Jalan Kembang Jepun.

Pembahasan

 Sejarah

Pada awalnya daerah pecinan terbentuk akibat adanya kebijakan Wijkenstelsel dengan konsep Beneden Stad, dimana setiap ras akan dibagikan wilayah berdasarkan rasnya sendiri, diantaranya seperti ras Arab yang menghuni daerah Ampel, ras Eropa yang tersebar di beberapa lokasi, dan ras Tionghoa yang menghuni daerah seperti Kapasan dan Kembang Jepun. Kebijakan ini tidak hanya menggelompokan masyarakat berdasarkan rasnya, namun kebijakan ini juga mengguntungkan untuk Pemerintah Hindia Belanda sebab mereka bisa memonopoli tempat-tempat strategis di kota Surabaya dengan menggusur para pribumi dan menggelompokan masyarakat asing dengan sesama rasnya, hal ini bertujuan untuk mempersempit interaksi antar ras, sehingga mobilitas mereka menyempit mengakibatkan makin mudahnya mereka untuk diadu domba oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sebab mobilitas mereka yang terbatas, akibat adanya kebijakan Passensteltel, dimana masyarakat Tionghoa diwajibkan membawa kartu pass setiap keluar kawasan mereka. Sehingga membuat masyarakat Tionghoa lebih memaksimalkan potensi kawasan mereka sendiri sebagai sumber kehidupan. Kawasan pecinan Kembang Jepun sendiri mengalami perkembangan wilayah pemukiman, perdagangan, dan jaringan jalan pada tahun 1825, kawasan pecinan melebar ke Timur (Jalan Kembang Jepun, Jalan Gula, Jalan Coklat, Jalan Selompretan, Jalan Bibis, dan Jalan Kapasan).

Migrasi Etnis Tionghoa

Pada awal abad ke-19 sampai ke-20 populasi imigran Tionghoa di Surabaya mengalami peningkatan, hal ini didasari oleh beberapa faktor seperti.

1.Berhentinya pertanian di akhir masa pemerintahan dinasti Qing, yang menyebabkan banyak orang Tionghoa yang pergi merantau ke Hindia Belanda khususnya Surabaya untuk mengadu nasib.

2.Terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia kala itu, yang menyebabkan banyak orang Tionghoa yang mengungsi ke Surabaya.

 Perkembangan

Jalan Kembang Jepun pada masa Hindia Belanda dulunya bernama Handelstaat yang terdiri dari dua kata yakni Handel yang berarti perdagangan, dan Strata yang berarti jalan. Penamaan ini sendiri dikarenakan perkembangan daerah tersebut yang sangat pesat dan dinamis setelah etnis Tionghoa lebih memusatkan aktivitas perdagangan di kawasan mereka sendiri, menjadikan Jalan Kembang Jepun sebagai pusat perdagangan pada kala itu, sehingga pemerintah Hindia Belanda menamainya Hendelstraat yang berarti jalan perdagangan sebagai banyak etnis Tionghoa yang membuka toko dan usahanya di kawasan tersebut.

Setelah kedatangan jepang, kebijakan Wijkenstelsel dihapuskan dan masyarakat Tionghoa diperbolehkan berpergian tanpa membawa kartu pass Passensteltel. Namun di sisi lain pihak Jepang mulai menjalankan propagandanya diantaranya memalui poster, bioskop, dan radio. Ditambah para etnis Tionghoa dituntut untuk menjadi Kokyo Keibotai dan dan para perempuan menjadi penghibur tentara Jepang.

Nama Jalan Kembang Jepun sendiri mulai dikenal pada masa kependudukan jepang di Indonesia, khususnya di Surabaya. Penamaan ini diambil karena pada saat itu banyak serdadu tentara Jepang (Jepun) yang memiliki teman-teman wanita (Kembang) disana. Kehadiran pelacur sendiri di kawasan Kembang Jepun menjadi hal yang wajar kala itu, bahkan ada beberapa pelacur yang didatangkan dari Jepang yang diberi nama Karayuki-san.

Karayuki-san sendiri adalah para gadis muda dari daerah pertanian miskin di jepang yang diperdagangkan sebagai komoditas pemuas lelaki di sepanjang Asia Timur, Asia Tenggara, dan tempat lainnya. Hal ini sudah ada saat masa Hindia Belanda lebih tepatnya bermula saat Restorasi Meiji berlangsung, dimana banyak warga Jepang yang pergi keluar dari Jepang setelah dibukanya akses untuk berpergian keluar negeri setelah runtuhnya Kekaisaran Tokugawa.

Peranan dan Tragedi

Pada masa perjuangan, etnis Tionghoa ikut serta dalam melawan para penjajah dalam serangkaian agresi militer oleh Inggris dan NICA, dimana orang Tionghoa mereka sudah sepenuhnya memihak pada Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

Pasca tragedi G30SPKI 1965, etnis Tionghoa mendapat stigma negatif dari masyarakat sehingga mereka mendapat keterbatasan sosialisasi, kesenian, dan peribadatan di Klenteng, setelah keluarnya Inpres No.14/1967. Yang berdampak besar pada masyarakat Tionghoa.

Selanjutnya saat kerusuhan 1998 yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dimana etnis Tionghoa menjadi sasaran dari kerusuhan tersebut yang membuat banyak orang Tionghoa kehilangan harta benda dalam tragedi tersebut.

Pasca reformasi, tepatnya saat Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden, Inpres No.14/1967. Resmi dicabut yang mengakhiri pengekangan sosial bagi etnis Tionghoa dalam menjalani kehidupan mereka..

 Peninggalan Historis

Selain berdampak dalam menggerakkan roda perekonomian di Surabaya, Pecinan juga menyuguhkan tempat-tempat peninggalan historis, diantaranya adalah peninggalan bangunan tua yang ada di Jalan Karet dan Jalan Gula, Klenteng Boen Bio, Klenteng Hong Tiek Hian, dan Restoran Kiet Wan Kie, dan masih banyak lagi.

Upaya Revitalisasi Daerah Pecinan

Upaya yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberlanjutan Pecinan yang ada di Surabaya khususnya di Kembang Jepun, diantaranya adalah.

1.Membangun atau menjadikan suatu bangunan menjadi sebuah museum yang digunakan untuk menampung dan mempublikasikan mengenai sejarah pecinan.

2.Memanfaatkan media sosial sebagai media promosi mengenai wisata historis yang ada di Pecinan. Dapat berupa video tour, narasi, dan lainnya.

3.Mengadakan suatu pertunjukan atau festival kebudayaan tonghoa, sehingga masyarakat umum dapat datang dan melihat tentang kebudayaan dan sejarah Pecinan di Surabaya

Penutup

Masyarakat Tionghoa sebagai salah satu etnis yang ada di indonesia, terutama di Surabaya. Sudah selayaknya kita perlakukan sebagaimana semestinya, sebagai sesama manusia. Melihat apa yang sudah mereka lalui dari segala diskriminasi, sudah saatnya kita menghargai kebudayaan dan sejarah mereka sepenuhnya. Banyak kebudayaan dan peninggalan historis di daerah pecinan yang menjadi saksi dari zaman ke zaman, yang harus kita jaga keberlangsungannya demi generasi yang akan datang.

Daftar Pustaka

Nathalie, Jennifer dkk. (2021). Membangun Kembali Citra Pecinan di Kyakya Surabaya. Surabaya: Universitas Ciputra.

Nathalie, Jennifer dkk. (2021).: Universitas Ciputra

Jennifer Natalie, Veronica Nathania Suseno, Clarissa Averina, Ivany Ivany, Lya Dewi Anggraeni

Prosiding Seminar Nasional Desain Sosial (SNDS) 3 (1), 1-7, 2021

https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Membangun+Kembali+Citra+Pecinan+di+Kyakya+Surabaya.+Surabaya&btnG=#d=gs_qabs&t=1694537400493&u=%23p%3De-Z71r8p1GsJ

Irawan, Vanesha Oktora dkk. (2020). PERANCANGAN BUKU ILUSTRASI MENGENAI SEJARAH KAWASAN PECINAN DI SURABAYA. Surabaya: Universitas Kristen Petra

VO Irawan, HD Waluyanto, A Zacky - Jurnal DKV Adiwarna, 2020 - publication.petra.ac.id

https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=PERANCANGAN+BUKU+ILUSTRASI+MENGENAI+SEJARAH+KAWASAN+PECINAN+DI+SURABAYA&btnG=#d=gs_qabs&t=1694537498517&u=%23p%3DoNuhO7YY7joJ

Zakariya, Alif Akbar. (2023). ETNIS TIONGHOA DI SURABAYA: KEPASAN SEBAGAI KAWASAN PECINAN ABAD KE-19-20. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta

AA Zakariya - Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah, 2023 - journal.uny.ac.id

https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=ETNIS+TIONGHOA+DI+SURABAYA%3A+KEPASAN+SEBAGAI+KAWASAN+PECINAN+ABAD+KE-19-20&btnG=#d=gs_qabs&t=1694537589249&u=%23p%3DzLj5Gph6vyEJ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun