[caption id="attachment_81546" align="alignright" width="300" caption="Hanya ilustrasi jaman kolonial dulu ( foto adipedia.com google )"][/caption] Pengertian feodalisme yang saya pakai dalam tulisan  ini, adalah feodalisme dalam artian perilaku seorang pemimpin yang lalim,  masih menganut sistim   raja-raja jaman dahulu kala yang bengis. Walau hanya segelintir saja raja lalim yang disembah, tak ayal dijaman kemerdekaan masih ada saja Bos mempunyai sifat seperti sifat para kolonial  di jaman  penjajahan dulu. Kejadian yang saya ceritrakan ini bukanlah fiksi tapi kenyataan terjadi sebelum  saya bertugas di Kota ini  sudah puluhan tahun, yang berarti lebih dari sepuluh tahun,  walau sudah puluhan Tahun tetap saja membekas dihati Saya. Bagaimana tidak, si Bos Feodal yang satu ini, yang saat itu menjadi Kepala Kantor saya , sangat cenderung bersifat feodal yang dia padupadankan  dengan gaya Monarki jaman abad 17, demi untuk mengeruk keuntungan pribadinya, memperkaya diri sendiri,  padahal Kantor tempat saya dan teman-teman bekerja adalah kantor milik pemerintah, milik Negara, seperti saya dia juga adalah PNS. Saya masih ingat bagaimana si Bos, dengan ke feodalannya memasukkan puluhan anggota keluarganya untuk menjadi Pegawai Honor  di Kantor kami, hal itu memang mudah dilakukan karena masa itu masih jarang PNS ( Pegawai Negeri Sipil ), sehingga masih diperlukan tenaga-tenaga Honor yang akan dididik untuk mengenal tugas dan pekerjaanya sebelum diangkat jadi PNS,  dan menempatkannya di setiap sudut ruangan setiap seksi untuk memata-matai, sebagai imforman penting yang siap melaporkan sekecil apapun kejadian yang terjadi dalam ruangan itu apalagi kalau imformasi itu menyangkut data-data keuangan atau upaya-upaya untuk menyudutkan Sang Bos Feodal ini, pastikan bahwa semua imformasi yang ada dalam setiap ruangan sekecil apapun akan sampai ketelinga Bos, teman-teman mengatakan bahwa Bos ini jendela dan dinding pun jadi mata dan telinganya. Bos feodal hampir setiap minggu mengadakan rapat darurat mengantisipasi kondisi dan situasi, dalam rapat pengarahannya hanya  mengulang-ulang intimidasi dan ancaman kepada bawahan,  dan yang paling sering terlontar dari mulutnya " akan mengeluarkan setiap Pegawai yang pembangkang apa lagi yang melawan kebijakannya dari Kantor ini dan membuang/ mengasingkannya ke daerah-daerah terpencil ". Bos ini memang feodal tak ada sikap egaliter untuk menerima saran maupun input dari bawahan sangat tidak demokratis, sabda sang kepala kantor adalah perintah yang tak dapat di ganggu gugat. Kenyataannya kalau titahnya  memang bertuah beberapa bukti telah Dia tunjukkan beberapa pembangkang telah diasingkan kedaerah terpencil,  tak ada yang bisa menyangkal kedekatannya dengan puncak kekuasaan membuat segala titahnya pasti terlaksana. Bos Feodal ini, kalau ditilik dari segi prestasi dalam karier tak ada yang bisa dicatat, disamping tak betah untuk berlama-lama duduk di kursinya yaang empuk dilengkapi dengan fasilitas hotel bintang, dengan sesuka hatinya meninggalkan tempat kerja,  keluar dari kantor atau keluar daerah sampai berminggu-minggu dalam sebulan tanpa teguran tanpa surat peringatan, dan ini dilakukan hampir setiap bulan pulkam ( pulang kampung ) untuk membawa hasil jarahannya, kecuali pada saat hari-hari sepi saat anggaran belum turun atau belum mencair ( es kali ). Untung saja kisah ini terjadi bukan di jaman sekarang disaat manusia sudah bebas mengelurkan pendapat dan lembaga pemberantasan Korupsi sudah mulai menunjukkan taringnya. Tugas-tugasnya sebagai kepala kantor kerap di delegasikan ke bawahan-bawahan kepercayaannya yang memang akhli dan pandai berspekulasi untuk melindungi Sang Bos Feodal, disamping sebagai wakil dalam melaksanakan tugas penting sehari-hari yang tak kalah penting bertugas melakukan upaya-upaya pembobolan keuangan Negara dengan cara-cara yang tak pantas di pertontonkan memanipulasi bentuk-bentuk pertanggung jawaban kepada para bawahan yang ada dibawa sebagai penerima Dana baik itu oprasinal maupun perjalanan, yang seharusnya mereka terima kenyataannya jatuh ketangan sang Bos feodal, Sang Bos feodal juga bertindak sebagai rekanan dengan meminjam nama pengusaha dan perusahaan orang lain untuk mengerjakan proyek-proyek penting yang mendatangkan keuntungan besar bagi dirinya, kecuali proyek-proyek milyaran yang dianggapnya rawan dan teknis sifatnya diserahkan kepada rekanan sesungguhnya, dengan cara yang tak wajar pula, betapa untungnya jadi Bos Feodal yang menganut sistim Monarki Absolut. Dalam kondisi seperti ini ada juga beberapa anak buah yang merasa telah diperas keringatnya oleh sang Bos berusaha mengeluarkan unek-uneknya kepada teman-temannya se Kantor, apa yang terjadi tak ada satupun yang menanggapi, diam, disaat seperti itu kegelisahan tampak di wajah mereka dan berlalu pergi meninggalkan sang pencetus unek-unek bicara sendiri, walau saya tahu mereka juga berada dalam kegamangan dan ketersiksaan. Masih terngiang di telinga suatu hari Bos memanggil saya di ruangannya, dia mengatakan bahwa Dana yang dikumpulkan selama ini adalah untuk kepentingan Bos besaratasannya juga atasan kami,  demi kemaslahatan bersama semua,  jadi wajarlah kalau kami para staf berkorban, janji pun terlontar dari mulut Sang Bos Feodal bahwa hasilnya akan saya dan mereka nikmati, Bos besar akan memperhatikan dan akan merobah nasib kami mendapatkan hadiah promosi jabatan yang basah dan empuk  itu katanya. Saya yakin betul Bos feodal ini berbohong, bagaimana mungkin Dia menyerahkan seluruh hasil jarahannya kepada Bos Besar jika melihat dari setiap saat kekayaannya semakin bertambah banyak, kalau ada yang diserahkan untuk kepentingan perlindungan diri itu tak lebih dari 10% selebihnya 90% dia kangkangi sendiri. Kalau tidak mana mungkin Sang Bos feodal yang tak memiliki usaha sampingan  dan warisan dari leluhur saat belum jadi Bos bisa mengalahkan Bos Besar dari segi kekayaan materi. Kemana-mana pake pengawal yang sangar dengan kendaraan mewah yang setiap saat berganti-ganti. Milyaran uang Negara telah masuk ke kocek Sang Bos feodal tanpa terusik apalagi terpidana,menurut imformasi yang layak dipercaya, untuk melindungi diri Sang Bos feodal dengan cara-cara ilegal melakukan penyuapan terhadap pemeriksa yang melakukan audit di Instansinya, sehingga hasil pemeriksaan selalu berbuah manis. Itulah yang membuatnya semakin jumawa, ditengah-tengah anak buah yang semakin hidup susah dan terhimpit beban pertanggung  jawaban  terhadap keuangan Negara yang tak pernah dinikmatinya. Saya tertarik dengan ungkapan Mas Suryopratomo di Metronews  tanggal 3/1/2011 " lewat tulisannya " Feodal lebih menakutkan dari Monarki "  pada sistim politik yang feodal kekuasaan selalu di identikkan dengan keistimewaan Power is privilege, keistimewaan yang diharapkan termasuk diantaranya dengan mendapatkan kekayaan dari jabatannya. Akibat orientasi yang seperti itu kekuasaan selalu harus dipertahankan kelanggengan kekuasaan menjadi tujuan karena masalah materi yang sering membuat orang lupa daratan". Masih untung Bos feodal yang saya ceritrakan sudah lama pensiun dan telah meninggal dunia di kampung halamannya, meninggalkan kekayaan yang berjibun, meninggalkan umpatan dan makian dari bekas bawahannya yang dulu pernah di peras,  dan dimakan keringatnya, semoga arwahnya diterima disisi Tuhan. Pada tulisan berikutnya, saya akan ungkapkan tentang tatacara memanipulasi / merekayasa pertanggung jawaban fiftif..he he he tunggu saja lain waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H