Oleh: Madnur, S.Pd.I, M.H.
“Anak-anak, Mahkamah Kontistusi (MK) adalah salah satu lembaga yang ditakuti (disegani) oleh Presiden Republik Indonesia (RI).” Sontak para siswa pun terdiam, ruanganpun tiba-tiba menjadi sunyi-senyap tanpa ada satupun yang bersuara. Dalam benakku dan mungkin juga kawan-kawanku hanya terucap “keren banget ya MK ini”.
Itulah sepenggal ceritaku ketika guruku mengajarkan salah satu topik pelajaran yang ada di buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) pada 19 tahun silam yang lalu, ketika itu aku baru menginjak pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kampung halamanku. Sejak saat itulah akupun ingin lebih tahu tentang MK, walaupun dulu media elektronik masih belum secanggih saat ini, tetepi aku pribadi ketika menyaksikan berita di stasiun televisi (TV) yang menayangkan pemberitaan tentang MK aku sangat antusias mendengarkannya. Karena bagiku pada waktu itu MK adalah salah satu lembaga yang sangat berwibawa dan sangat dikagumi masyarakat Indonesia.
Kini sudah 20 tahun berlalu MK ada di bumi pertiwi, pertanyaannya apakah MK sekarang ini masih berwibawa di tengah masyarakat Indonesia?, pertanyaan yang sederhana, namun untuk menjawab pertanyaan yang sederhana itu pastinya perlu ada data dan fakta.
Sejak dibentuk pada bulan Agustus tahun 2003, berbagai putusan MK telah memiliki dampak yang signifikan dalam hal politik dan penegakan hak-hak konstitusional di Indonesia (Nardi 2018). MK telah berperan penting dalam mentransformasi demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik (stabil). Putusan-putusan Mahkamah telah membantu menyelesaikan konflik politik secara damai dan memajukan kebebasan sipil beserta hak-haknya (Mietzner 2010).
Namun pada tahun 2013 kewibawaan MK menjadi merosot, ketika ketua MK yang ketiga, Akil Mochtar, ditangkap karena diduga menerima suap untuk memanipulasi hasil sengketa pemilu yang didengar di depan Mahkamah tersebut. Alias MK mengalami penurunan yang sangat signifikan setelah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD yang berhasil membangun reputasi yang kuat untuk profesionalisme dan telah mengembangkan badan-badan yurisprudensi yang signifikan (Parsons 2014).
Menurut Stefanus Hendrianto dalam disertasinya “Law and Politics of Constitutional Courts Indonesia and the Search for Judicial Heroes” yang dikutip oleh peneliti lain menyebutkan bahwa Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD dianggap sebagai pahlawan judicial dengan strategi maksimalis dan minimalis. Mereka meningkatkan legitimasi pengadilan di antara institusi negara lain. Namun pasca kepemimpinan dua tokoh tersebut belum ada lagi tokoh yang mampu memimpin MK menjadi lembaga yang benar-benar disegani dan mampu mempertahankan kewibawaan MK di depan publik (Wiratraman 2020).
Sedangkan menurut kajian Indonesia Corruption Watch (ICW), MK pada tahun 2015 atau tepatnya saat diketuai oleh Arief Hidayat menyebutkan terdapat 5 putusan MK yang tidak menunjukkan dukungannya terhadap upaya pemberantasan korupsi (Peradilan 2016). Ditambah lagi dengan adanya beberapa kasus dan isu yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini, seperti pemberhentian hakim Aswanto yang menyebabkan adanya dugaan perubahan putusan dan bahkan pernikahan Ketua MK saat ini Anwar Usman dengan adik kandung Presiden RI Joko Widodo yang terjadi sebelum kasus tersebut muncul tidak luput dari pembicaraan publik.
Sehingga pada akhirnya putusan MK yang memantik perdebatan di kalangan publik ataupun adanya pelanggaran kode etik dari anggota hakim konstitusi akan menimbulkan gelombang kritik yang sangat deras dari berbagai macam elemen masyarakat. Maka menjadi hal yang wajar apabila beberapa tokoh ahli hukum dan masyarakat lainnya beranggapan bahwa sangat sulit mengembalikan wibawa dan marwah MK seperti pada masa awal sampai dengan satu dasawarsa sejak dibentuknya MK di republik ini.
Namun terlepas dari itu semua MK tetaplah menjadi lembaga mandiri yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga manapun. Kedudukan MK tidak berada di bawah DPR, MA, dan Presiden, akan tetapi kedudukannya sejajar dengan lembaga tersebut. Artinya ketiga lembaga tersebut tidak dapat membubarkan MK, apalagi untuk dijadikan sebagai alat politik. Begitupun sebaliknya MK juga tidak bisa semaunya sendiri dalam menilai ketiga lembaga tersebut (Soimin & Mashuriyanto 2013, h. 83-84).
Maka dari itu menurut Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., untuk menjaga hubungan antar lembaga tinggi Negara tersebut, harus selalu dilakukan dialog secara terus menerus di antara ketiganya, supaya timbul pemahaman yang selaras, yang pada akhirnya dapat mempermudah proses implementasi putusan yang kontroversial sekalipun, sehingga pihak-pihak yang ada bisa mengidentifikasi batas-batas kewenangannya masing-masing secara wajar dan masuk akal,tanpa menyebabkan kebuntuan dan ketegangan yang tidak perlu (Asshidiqie 2007).