Menarik setelah membaca tentang teori yang dipaparkan oleh Toynbee ini, dan ini saya dapatkan saat kuliah Filsafat Sejarah yang diampu oleh Prof. Dr. Ajid Tohir, M. Ag. Kemudian kalau dikorelasikan dengan sejarah Indonesia, terutama sejak awal abad ke 20. Dalam metode perjuangan yang sudah bisa dikatakan modern. Artinya, jika kita bandingkan dengan abad-abad sebelumnya terutama terletak dalam penggunaan "akal dan okol". Ternyata kekuatan otak lebih maju daripada hanya dengan otot saja. Akan tetapi dalam melihat hal ini harus balance, karena dalam perjuangan (revolusi_red), tidak hanya otak saja, tetapi gerakan nyata juga harus ada. Akal untuk berfikir, menyusun strategi dan otot (tenaga_red) untuk bergerak mengaplikasikan hasil dari proses kerangka berfikir.
Saya menggunakan teori Minoritas kreatif karena Menurut Arnold J. Toynbee bahwa suatu kebudayaan lahir karena tantangan dan jawaban antara manusia dan alam sekitarnya. Dalam kondisi alam yang baik manusia bisa menciptakan kebudayaan seperti Eropa, India, Tiongkok, dan lainnya.Â
Dari daerah yang disebutkan banyak ditemukan peninggalan kebudayaan manusia. Adapun daerah yang kondisi alam- nya ekstrem dingin atau panas, tidak ditemukan kebudayaan manusia. Daerah ekstrem dingin tidak ada kebudayaan dan daerah ekstrem panas tidak dapat timbul kebudayaan.Â
Dalam kondisi ekstrem manusia tidak tertantang untuk menciptakan kebudayaan, malah lebih banyak melakukan migrasi karena tidak bisa menaklukan alam. Penggerak dan pencipta kebudayaan pada suatu masyarakat adalah orang-orang kreatif dengan jumlah kecil. Kaum minoritas kreatif ini melahirkan pemikiran dan men- ciptakan kebudayaan. Dari mereka ini masyarakat berkembang dengan melakukan peniruan-peniruan hingga tumbuh kembang. Sehingga Toynbee menyimpulkan bahwa kebudayaan lahir karena respons kaum minoritas terhadap alam.Â
Dari tantangan alam ini mereka melakukan usaha dan upaya sehingga menciptakan kebudayaan. Sepanjang ada manusia yang kreatif, maka kebudayaan akan terus tumbuh dan terus berjalan dari masa ke masa. Selain itu, Toybnee menguraikan tentang peradaban yang bersifat siklus, yaitu lahir, tumbuh kembang, dan kehancuran (genesis of civilizations, growth of civilization, and decline of civilization). Bagaimana pera- daban lahir? Apa yang menyebabkan sebagian masyarakat (seperti masyarakat primitif) menjadi statis sejak tahap awal keberadaannya dus masyarakat lain mencapai taraf peradaban? Menurut Toynbee bahwa ke lahiran sebuah peradaban tidak berakar pada faktor ras atau lingkunga geografis, tetapi bergantung pada dua kombinasi kondisi, yaitu adanya minoritas kreatif dan lingkungan yang menantang.
Masa-masa perlawanan fisik berubah keperlawanan non-fisik. Senjata tidak lagi menjadi panglima. Golongan intelektual mulai bermunculan lewat sistem bentukan pemerinah kolonial Belanda sendiri. Politik etis yang timbul karena kritikan dari kaum-kaum kritis di Belanda, seperti C. Th. Van Deventer yang dimuat dalam majalah The Gids tahun 1899, berjudul Een Ereschuld (Debt of Honour) atau hutang kehormatan.Â
Politik etis mencakup tiga hal (trias), yaitu irigasi, migrasi, edukasi. Secara tekstual memang bertujuan mensejahterkan pribumi, tapi dalam aplikasinya tidak jauh-jauh dari kepentingan yang diusung oleh kolonial Belanda sendiri.Â
Misalnya dalam bidang pendidikan, hal ini bertujuan untuk menciptakan pegawai-pegawai yang bekerja untuk kepentingan kolonial, seperti menciptakan juru tulis, pangreh praja, juru ketik, controlir perkebunan dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam perjalanan watu, dengan adanya pengkotak-kotakan di dalam sistem pendidikannya, yaitu antara sekolah untuk bangsa Belanda (eropa), Cina, Arab, dan Pribumi ternyata menjadi titik balik bagi sejarah Indonesia.
Lulusan dari sekolah bentukan Belanda ini sebagian ada yang menjadi intelektual-intelektual yang kritis. Sebut saja seperti Sutomo, Wahidin Sudiro Husodo, Cipto Mangkusumo menjadi penggerak awal perjuangan teknik baru (modern). Perjuangan dimulai dengan mendirikan organisasi, partai, pers dan sebagainya. Hal ini juga ada dikalangan ulama, dan kaum pribumi lainya seperti KH Ahmad dahlan dengan Muhammadiyahnya dan HOS Cokroaminoto dengan Sarekat Dagang Islamnya.Â
Golongan intelektual kritis minoritas ini mulai bermunculan di balik ribuan penduduk pribumi yang masih berkutat dalam kebodohan dan keterbelakangan. Mereka berjuangan atas asas atau metodenya masing-masing, berusaha mensejahterkan masyarakat dan menentang praktik-praktik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Masa ini sering disebut dalam Sejarah Indonesia sebagai masa-masa "Pergerakan Nasional".
Mereka berjuang menegakkan hak-hak yang telah dirampas oleh pemerintah kolonial Belanda. Perjuangan dengan segala cara lewat politik, diplomasi dan sebagainya akhirnya membuahkan hasil. Walaupun kadang terdapat konflik-konflik intern yang tidak dapat dihindarkan, seperti perbedaan asas perjuangan (non-cooperasi vs cooperasi), masalah idiologi dan sebagainya. Semisal dalam perkembangan selanjutnya, muncul seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Hasyim Asyari dan sebagainya. Para intelektual minoritas itu memang dalam perjalanannya dapat merubah bangsa ini.Â
Seiring dengan berjalannya zaman yang terus bergerak mendatangkan situasi-situasi baru. Hal ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, akan tetapi di belahan bumi manapun, keberadaan dari para "kaum kreatif" minoritas ini yang pada akhirnya merubah suasana bangsa mereka masing-masing. Kejadian dibeberapa tempat di belahan bumi ini, selalu ada dampaknya baik di suatu tempat ke tempat lain. Jadi peristiwa-peristiwa itu menjadi serangkaian acuan untuk bergerak mengikuti teori dan pola masing-masing.
Kita tahu, bahwa sekarang jaman semakin maju, IPTEK semakin berkembang, dan disisi lain permasalahan semakin kompleks. Pertarungan pemikiran, ide-ide, benturan peradaban tidak bisa dipungkiri. Khususnya untuk Indonesia, kita merindukan munculnya para "kaum minoritas kreatif "ini yang nantinya akan membawa bangsa ini ke ranah yang SEMAKIN baik, karena mayoritas manusia dimanapun berada pasti menginginkan keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan sebagainya.Â
Maka dari itu, kalau memengok kembali sejarah pergerakan nasional dulu, mereka berhasil membawa bangsa ini menuju ke pintu gerbang kemerdekaan, dan sekarang kita kita membutuhkan orang-orang yang lebih bisa membawa menuju kemerdekaan yang lebih merdeka dalam segala aspek.
Pemikiran pribadi, setelah sekian lama berkutat dengan buku-buku sejarah indonesia ini. Ternyata seperti yang dikatakan Cicero ; HISTORIA MAGISTRA VITAE, bahwasanya sejarah adalah guru kehidupan. Maka dari itu masa lalu itu selalu aktual, tinggal bagaimana kita mengaplikasikan masa lalu di masa kini. Semoga kita tidak terjebak dalam hal-hal yang terjadi di masa lalu (introspeksi_red). Yang terpenting bukan bagaimana belajar sejarah, tapi bagaimana belajar dari sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H