Hal ini dilakukan karena memang suara yang dihasilkan lebih besar ketimbang menggunakan bahan dari bambu. Untuk bahan bakarnya juga sudah beralih menggunakan karbit. Maka bisa Anda bayangkan betapa besar suara yang dihasilkan.
Meski ada beberapa orang yang memprotes, karena suara yang besar. Namun, sejalannya waktu hal ini juga sudah dimaklumi oleh masyarakat setempat. Karena ini adalah tradisi setahun sekali. Bahkan, banyak masyarakat juga turut mendukung acara tersebut dengan menyiapkan kue-kue dan makanan saat acara ini digelar.
Toet bude trieng dilakukan pada malam kedua atau ketiga lebaran. Tidak dilakukan pada malam pertama karena ada takbiran di setiap Masjid-masjid. Tidak boleh menganggu acara takbiran pada malam lebaran pertama.
Pada malam kedua dan ketiga, para pemuda mulai menyulut api untuk meledakkan meriam yaitu selesai waktu Insya. Akan berakhir nanti menjelang waktu subuh, dan dilanjutkan lagi selesai salat subuh hingga bahan bakar yang tersedia habis terpakai.
Meriam ini diletakkan di sepanjang pingggiran sungai. Kemudian di seberang sungai juga demikian. Mirip seperti orang yang sedang berperang. Sahut-sahutan suara dentuman meriam mulai terdengar keras hingga memacu adrenalin semua orang.
Masyarakat dari berbagai penjuru kampung berdatangan menonton acara tahunan ini. Mulai dari anak-anak hingga orangtua datang untuk memeriahkan acara. Banyak pula penonton yang penasaran dan meminta untuk menyulut meriam ini.
Maka jangan heran, jika pada malam kedua atau ketiga lebaran sepanjang jalan menuju Wilayah Garot ini macet total. Antusias masyarakat sangat besar sekali. Ada rasa puas dan kesenangan yang tak terkira dari tradisi tahunan ini. Meskipun begitu, untuk keamanan diri tentu juga harus diperhatikan.
Tradisi seperti ini memang sudah sepatutnya dilestarikan. Oleh masyarakat Pidie, toet bude trieng merupakan tradisi yang menggambarkan semangat berperang seperti layaknya dulu melawan Penjajah. Maka dibalik tradisi ini, ada semangat pemuda yang berkobar yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semoga tradisi ini terus dipertahankan dan tetap menjaga keselamatan orang sekitar.
Nah itulah satu hal yang membuat saya rindu pada kampung halaman. Sebagai masyarakat Aceh, apalagi Pidie. Rasanya momen lebaran tidak sempurna jika belum menonton tradisi toet bude trieng secara langsung. Terlepas dari itu semua, tentunya rumah dan pelukan hangat orangtua tetap menjadi hal pertama yang saya rindukan.