“Mate Aneuk Meupat Jeurat, Gadoeh Adat Pat Tamita”
Kalau meninggal anak kita tahu kuburannya, tetapi kalau adat yang hilang hendak dicari ke mana. Itulah sepenggal hadih maja atau pepatah Aceh yang cukup familiar di kalangan masyarakat Aceh.
Menjaga serta melestarikan adat dan budaya bukan perkara yang mudah. Banyak hal yang membuat mengapa anak muda sekarang mulai melupakan adat istiadat asalnya.
Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) merupakan salah satu dari sekian banyaknya alasan mengapa adat dan budaya mulai dipinggirkan.
Jika kita bisa lebih bijak, harusnya dengan semua kemajuan yang ada bisa membuat adat dan budaya dikenal luas oleh banyak orang.
Bermacam promosi bisa dengan mudah kita lakukan. Apalagi sekarang kita sudah memasuki era digital, artinya peluang promosi adat akan cukup besar berhasil dilakukan.
Sebagai salah satu generasi milenial, saya cukup menyayangkan hal ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh kawula muda.
Sebagai seorang yang cukup gemar menggali informasi tentang adat dan budaya. Mencari informasi di lapangan bukanlah tugas yang mudah.
Pengetahuan tentang budaya ini hanya diketahui oleh tokoh-tokoh yang dituakan dalam masyarakat dan jumlahnya pun tidak banyak.
Kita hanya mampu mengumpulkan informasi seadanya, mengingat tokoh-tokoh tersebut ingatannya juga sudah mulai memudar. Ditambah tidak ada jejak tulisan yang bisa dijadikan pegangan anak muda zaman sekarang untuk dijadikan referensi.
Saya pribadi sering mencari informasi melalui karya-karya para budayawan yang sudah dijadikan buku bacaan.
Sesekali saya juga berdiskusi dengan orangtua menanyakan perihal bagaimana sebuah adat dilakukan dan makna di baliknya.
Dari beberapa cara yang saya tempuh tersebut, lahirlah beberapa artikel receh seputar adat yang berasal dari daerah saya, Aceh.
Pada tulisan ini saya juga akan mengenalkan sebuah jejak adat yang masih dilestarikan hingga sekarang oleh masyarakat Aceh.
Baca Juga : Mengenal Peran "Seulangke" dalam Prosesi Adat Lamaran dan Perjodohan di Aceh
Kajian Etnobotani dalam Beragam Ritual Adat di Aceh
Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan berbagai macam tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat pedalaman.
Etnobotani sangat diperlukan mengingat pentingnya kajian yang fokus pada bagaimana suatu suku atau daerah menjadikan tumbuhan sebagai bahan untuk melakukan sebuah ritual budaya dan keagamaan.
Ilmu etnobotani juga sangat efektif jika diterapkan pada masyarakat lokal. Menguasai berbagai macam ilmu seputar tumbuhan akan sangat membantu masyarakat dalam mempersiapkan segala kebutuhan untuk kepentingan upacara adat dan keagamaan.
Masyarakat Aceh khususnya para tetua di kampung sudah sangat paham mengenai makna di balik tanaman yang dipakai untuk kegiatan budaya.
Makanya kita sering melihat baik tanaman atau tumbuhan yang digunakan saat upacara adat berbeda-beda. Misalnya ketika upacara pernikahan, lamaran, turun tanah, upacara kematian hingga prosesi peusijuek.
Hal ini disesuaikan dengan makna simbolik dari setiap jenis tumbuhan dan tanaman tersebut. Kesesuaian pemilihan jenis tanaman dalam setiap upacara adat yang dilakukan sangatlah panting.
Meskipun memang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah makna yang terkandung dalam setiap pemilihan jenis tanaman yang digunakan.
Namun satu yang pasti, harapan terbaik sejatinya adalah yang diinginkan bagi mereka yang melangsungkan adat tersebut. Misalnya yang dipraktikkan dalam prosesi peusijuek berikut ini.
Peusijuek
Peusijuek (tepung tawar) merupakan prosesi adat di Aceh yang masih sangat populer sampai saat ini.
Peusijuek biasanya dilakukan ketika seseorang mengawali atau ingin melakukan hajat besar. Misalnya ketika ingin berangkat menunaikan haji, menikah, membuka usaha, terlepas dari musibah dan lain sebagainya.
Peusijuek adalah prosesi awal setiap ingin melakukan sebuah kegiatan yang berbau adat dan keagamaan. Prosesi peusijuek biasanya dilakukan oleh seorang teungku (ustaz) atau ulama.
Dalam prosesi peusijuek biasanya seorang teungku menyiapakan berbagai macam jenis tanaman maupun tumbuhan. Di antaranya adalah rumput belulang, jeruk purut, bunga mawar, padi, beras dan daun cocor bebek.
Oen naleung sambo (rumput belulang) merupakan simbol kokoh dan kuat. Semua bagian dari rumput belulang digunakan dalam prosesi ini.
Jika seseorang melakukan peusijuek ketika ingin menikah, maka harapannya adalah agar pernikahannya kokoh, tidak mudah tergoyahkan oleh banyak masalah. Imannya kuat agar bisa membawa sang istri menuju Surga-Nya.
Kemudian ada juga oen Seunijuek (daun cocor bebek), yang digunakan hanya daunnya saja. Makna filosofis dari daun cocor bebek adalah melambangkan kesejukan. Lalu ada pula jeruk purut yang bermakna wangi.
Oen manek manoe (daun-daunan) dengan nama ilmiah Aerva Lanata, bermakna keramaian dan keindahan. Kemudian beras dan padi (Breuh pade) yang dimaksud sebagai lambang kehormatan.
Biasanya orang yang mempunyai hajat juga menyiapkan bu leukat (ketan) dan u mirah (kelapa merah) serta teupong taweue (tepung yang sudah dicampur air). Semua bahan tersebut diletakkan dalam nampan ditutup memakai tutup saji.
Jika semua bahan sudah terkumpulkan, barulah teungku melakukan prosesi peusijuek. Membaca doa dan mencipratkan air tepung pada calon pengantin maupun orang yang ingin berangkat haji sebagai tanda sahnya prosesi peusijuek.
Jika sudah selesai, biasanya pihak keluarga akan menyuguhi kue dan kenduri ala kadarnya untuk teungku.
Beginilah prosesi peusijuek yang dilakukan oleh masyarakat Aceh. Kehadiran ilmu etnobotani juga cukup berguna untuk masyarakat.
Hal itu diharapkan bisa membuat para generasi muda bisa memahami adat istiadat dengan menggunakan ilmu etnobotani sebagai rujukan.
Nyatanya ilmu etnobotani memiliki peranan yang cukup krusial dalam penerapan adat. Maka diharapkan agar masyarakat bisa menguasai hal tersebut dan berkontribusi dalam menjaga kelestarian adat yang ada.
Baca Juga: Samadiah, Ritual Keagamaan Masyarakat Aceh untuk Mendoakan Orang yang Meninggal Dunia
Sekian
Aceh, Februari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI