Mohon tunggu...
Muhammad Nauval
Muhammad Nauval Mohon Tunggu... Perawat - Perawat | Aceh Tulen

Pecinta Kopi Hitam Tanpa Gula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menilik Alasan Mengapa Generasi Milenial Tidak Mau Menjadi Petani

7 November 2021   15:53 Diperbarui: 27 Desember 2022   00:15 2471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani [SHUTTERSTOCK.com/FENLIOQ]

Sebagai seorang milenial, mendapat topik pilihan "milenial mulai bertani" menjadi tantangan dan kesenangan tersendiri bagi saya. 

Pasalnya, topik semacam ini sebenarnya sudah sangat lama ingin saya tulis dan bagikan di sini.

Sebelum membahas jauh tentang dunia pertanian ini. Saya ingin menjelaskan sedikit tentang siapa itu petani milenial.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), petani milenial adalah mereka yang berusia 19 tahun sampai dengan 39 tahun. Mereka ini juga melek akan teknologi digital dan mampu mengaplikasikannya.

Masih menurut BPS, petani milenial setidaknya mempunyai beberapa kriteria dasar lain. Seperti, sudah dewasa dan bertanggung jawab, memiliki tekad yang kuat untuk terjun ke dunia pertanian, memiliki pengetahuan dasar tentang dunia pertanian, mampu beradaptasi dengan teknologi digital, memiliki jiwa kewirausahaan, dan memiliki kreativitas.

Dengan memiliki kriteria dasar tersebut nantinya akan sangat berguna bagi petani milenial dalam mengelola lahannya. 

Banyak sekali milenial sekarang yang mulai tertarik terjun ke dunia pertanian ini. Namun kendalanya adalah, mereka tidak punya kemampuan dan pengetahuan yang mumpuni untuk menjalankannya.

Meski program petani milenial sekarang ini mulai gencar dilakukan oleh pemerintah, nyatanya masih banyak juga milenial yang enggan terjun dalam sektor pertanian. Hal ini tentunya bukan tanpa alasan. 

Berkaca dari pengalaman pribadi, setidaknya ada tiga alasan menurut saya yang mempengaruhi mengapa milenial tidak mau menjadi petani.

Pertama, Merasa Malu dan Tidak Percaya Diri

Sejak masih Sekolah Dasar (SD), saya sudah mulai sering pergi ke sawah membantu orangtua. Memasuki SMA, saya semakin rutin ke sawah untuk menyiram dan memberi pupuk tanaman.

Di tahun awal saya mulai ke sawah, perasaan malu dan tidak percaya diri sering membuat saya dilema. 

Ada rasa malu jika ada teman-teman melihat saya sedang berada di sawah, terlebih jika itu adalah teman-teman sekolah. Ada perasaan tidak percaya diri ketika mereka melihat saya dalam kondisi tersebut.

Rasa malu dan tidak percaya diri ini normal dirasakan untuk anak muda seusia saya saat itu. Namun, semakin bertambahnya umur perasaan malu dan tidak percaya diri itu hilang dengan sendirinya. Ini mungkin karena pengaruh kebiasaan. Karena sudah hampir setiap hari saya harus membantu orangtua di sawah, membuat saya pun merasa nyaman-nyaman saja dengan keadaan tersebut.

Kemudian saya juga sempat bertanya pada teman-teman saya mengapa mereka enggan pergi ke sawah. Padahal, pekerjaan mereka di kampung bisa dikatakan memang tidak ada alias menganggur. 

Namun mereka masih punya sawah yang harusnya dapat dijadikan ladang untuk menghasilkan uang. Tapi mereka lebih memilih mencari pekerjaan lain ketimbang menjadi petani. 

Ketika saya tanya alasannya, jawaban mereka sama seperti saya dulu, merasa malu dan tidak percaya diri.

Pengalaman Menjadi Petani di Kampung Sendiri [Dokumentasi Pribadi]
Pengalaman Menjadi Petani di Kampung Sendiri [Dokumentasi Pribadi]

Kedua, Masih Ada Mindset Bahwa Jadi Petani itu Berujung Miskin

Di Indonesia, pekerjaan sebagai petani masih dipandang sebelah mata. Masih ada anggapan jika menjadi petani tidak menjamin masa depan yang cerah. Anggapan seperti inilah yang membuat milenial enggan terjun dalam sektor pertanian.

Banyak dari kalangan anak milenial punya pemikiran yang belum matang. Mereka cenderung cepat terpengaruh dengan apa yang dilihatnya. 

Misalnya ketika banyak diberitakan banyak petani-petani yang hidup dalam kemiskinan, maka mindset yang terbentuk juga demikian.

Hanya sedikit milenial yang mau berjalan melawan arus. Artinya mereka mau mematahkan stigma bahwa menjadi petani tidak selamanya akan berakhir miskin. Mereka belajar dan mencari ilmu agar sukses dalam sektor ini. 

Potret Salah Satu Tanaman Hidroponik Rekan Kerja Saya, [Dokumentasi Pribadi]
Potret Salah Satu Tanaman Hidroponik Rekan Kerja Saya, [Dokumentasi Pribadi]

Namun, stigma ini tentu tidak akan mudah dihilangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Butuh waktu yang cukup untuk menghilangkan stigma tersebut. 

Untuk itu peran pemerintah juga dibutuhkan untuk mengatasi hal ini agar para milenial tidak lagi ragu untuk turun dan mulai menapaki sektor pertanian dengan langkah yang berani dan tepat.

Ketiga, Tidak Ada Dukungan Orangtua

Harus diakui jika orangtua akan melakukan segala cara demi kesuksesan anaknya. Mereka tidak mau anak-anaknya hidup susah dan melarat. 

Begitu pula dengan orangtua yang bekerja sebagai petani, karena pekerjaan sebagai petani menurut mereka tidak menjamin kebutuhan hidup tercukupi, maka mereka enggan merestui anak-anaknya untuk mengikuti jejak mereka sebagai petani.

Mereka akan mendoktrin anak-anaknya untuk tidak hidup seperti dirinya menjadi petani. Ini kemudian yang menjadikan mengapa beberapa milenial lebih memilih tidak peduli dengan pekerjaan petani. Mereka lebih suka bercita-cita menjadi ASN, memiliki penghasilan tetap setiap bulannya.

Padahal jika ditilik lebih jauh, beberapa orang yang bekerja sebagai petani juga memiliki penghasilan yang cukup tinggi. 

Namun, ini semua juga tergantung dengan pengetahuan yang dimiliki. Sebab, di tengah kemajuan zaman seperti sekarang ini, para petani pun dituntut untuk mulai beradaptasi dengan kecanggihan teknologi.

Jika dilihat dari ketiga alasan diatas, sudah sepatutnya kita sebagai generasi milenial mulai mengambil peran. 

Kita harus mampu merubah pola pikir agar sektor pertanian di Indonesia, khususnya di kampung masing-masing didominasi oleh para kawula muda alias milenial. Meski begitu, peran sesepuh atau orang tua yang berpengalaman di bidang ini juga harus tetap dilibatkan.

Untuk mengawali langkah tersebut, setidaknya ada tiga cara juga yang mesti dilakukan.

Pertama, Mengubah Mindset

Lahan yang baru siap ditanami [Dokumentasi pribadi]
Lahan yang baru siap ditanami [Dokumentasi pribadi]

Sama seperti yang sudah saya singgung sedikit pada kalimat di atas, yang pertama harus dilakukan adalah mengubah mindset. 

Jangan ada anggapan bahwa bekerja sebagai petani itu memalukan bahkan menganggap sebagai pekerjaan orang miskin.

Di luar sana, Jepang misalnya. Kebanyakan warga di sana bekerja sebagai petani. Bahkan kita lihat, sektor pertanian di negara Jepang sudah sangat canggih.

Lalu apakah kita bisa seperti mereka? Tentu saja bisa.

Melalui program petani milenial inilah kita harus bangkit, inilah momentumnya.

Kedua, Niat dan Belajar Sungguh-sungguh

Belajar  Metode Menanam Hidroponik [Dokumentasi Pribadi]
Belajar  Metode Menanam Hidroponik [Dokumentasi Pribadi]

Semua hal yang kita lakukan jika tanpa niat dan usaha yang sungguh-sungguh maka akan percuma. Begitu juga jika memilih terjun ke sektor pertanian alias menjadi petani.

Sebagai generasi milenial, tugas utama kita adalah belajar. Dalam hal ini, kita harus mulai pelajari materinya lebih dulu. Baru kemudian diimbangi dengan praktik lapangan.

Karena menjadi petani adalah tentang seberapa paham Anda akan kondisi di lapangan, tantangan, hingga bagaimana meminimalisir risiko harus mampu kita pikirkan. Oleh karena itu, belajar adalah solusinya.

Jika pengetahuan dan pengalaman sudah ada, kemungkinan besar usaha Anda akan berjalan dengan baik dan lancar.

Ketiga, Dukungan Pemerintah

Ini merupakan salah satu poin penting untuk mendukung suksesnya para petani, yaitu dukungan pemerintah. 

Belajar dari pengalaman pribadi, saya sering melihat bagaimana para petani kesulitan ketika mencari pupuk bersubsidi, ini salah satu masalahnya.

Ketika mulai memasuki musim sawah, pupuk menjadi langka. Apalagi yang telah disubsidi oleh pemerintah, mendadak menghilang dalam peredaran pasar. Dan biasanya akan kembali dijual menunggu momen yang tepat dengan harga yang tinggi.

Hal-hal seperti ini harusnya menjadi fokus pemerintah untuk menyelesaikan. Belum lagi soal perairan, jika musim kemarau tiba, para petani pasti akan gagal panen. Tanamannya tidak cukup air. Bukan hanya itu, ketika musim penghujan pun bakal demikian, tanaman akan mati karena kebanjiran. Ahh, jadinya serba salah kan?

Maka, jika pemerintah ingin para milenial ini sukses di sektor pertanian, setidaknya berikanlah dukungan yang optimal. Sebab, tidak sedikit kita melihat kebanyakan petani gagal bukan karena mereka tidak mampu dan tidak punya ilmu, tetapi karena pemerintahnya belum sepenuhnya membantu dalam sektor tersebut.

Aceh, November 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun