Sejak masih Sekolah Dasar (SD), saya sudah mulai sering pergi ke sawah membantu orangtua. Memasuki SMA, saya semakin rutin ke sawah untuk menyiram dan memberi pupuk tanaman.
Di tahun awal saya mulai ke sawah, perasaan malu dan tidak percaya diri sering membuat saya dilema.Â
Ada rasa malu jika ada teman-teman melihat saya sedang berada di sawah, terlebih jika itu adalah teman-teman sekolah. Ada perasaan tidak percaya diri ketika mereka melihat saya dalam kondisi tersebut.
Rasa malu dan tidak percaya diri ini normal dirasakan untuk anak muda seusia saya saat itu. Namun, semakin bertambahnya umur perasaan malu dan tidak percaya diri itu hilang dengan sendirinya. Ini mungkin karena pengaruh kebiasaan. Karena sudah hampir setiap hari saya harus membantu orangtua di sawah, membuat saya pun merasa nyaman-nyaman saja dengan keadaan tersebut.
Kemudian saya juga sempat bertanya pada teman-teman saya mengapa mereka enggan pergi ke sawah. Padahal, pekerjaan mereka di kampung bisa dikatakan memang tidak ada alias menganggur.Â
Namun mereka masih punya sawah yang harusnya dapat dijadikan ladang untuk menghasilkan uang. Tapi mereka lebih memilih mencari pekerjaan lain ketimbang menjadi petani.Â
Ketika saya tanya alasannya, jawaban mereka sama seperti saya dulu, merasa malu dan tidak percaya diri.
Kedua, Masih Ada Mindset Bahwa Jadi Petani itu Berujung Miskin
Di Indonesia, pekerjaan sebagai petani masih dipandang sebelah mata. Masih ada anggapan jika menjadi petani tidak menjamin masa depan yang cerah. Anggapan seperti inilah yang membuat milenial enggan terjun dalam sektor pertanian.
Banyak dari kalangan anak milenial punya pemikiran yang belum matang. Mereka cenderung cepat terpengaruh dengan apa yang dilihatnya.Â