Mohon tunggu...
Muhammad Nauval
Muhammad Nauval Mohon Tunggu... Perawat - Perawat | Aceh Tulen

Pecinta Kopi Hitam Tanpa Gula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ragam Prosesi Adat Pernikahan di Aceh

26 Juli 2019   22:14 Diperbarui: 26 Juli 2019   22:41 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aceh terkenal dengan keberagaman adat istiadatnya. Nilai-nilai adat tidak terlepas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), adat memiliki pengertian, cara ( kelakuan dan sudah menjadi kebiasaan ). Oleh karenanya, adat dianggap sebagai hal yang normal dalam kehidupan masyarakat Aceh. Adat Aceh dianggap istimewa karena nilai-nilai adat di Aceh tidak terlepas dari ruang lingkup agama sehingga adat dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat.

Salah satu adat yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat adalah adat dalam perkawinan. Namun disetiap daerah memiliki adat yang berbeda-beda, tidak terkecuali dengan Aceh.

Adat perkawinan dalam masyarakat Aceh bervariasi.  Dari pihak mempelai pria maupun wanita memiliki adat-adat sendiri yang harus dipenuhi dan dijalankan.

Berikut ada beberapa prosesi adat yang dilakukan dari pihak mempelai pria ( Calon Linto Baro ), :

1. Cah Roet ( Jak Keumalen ) -- Membuka Jalan

Sebelum melakukan resepsi pernikahan. Terlebih dulu pihak Pria ( Linto ) berkesempatan mengunjungi rumah calon dara baro ( wanita ). Adat ini dimaksudkan untuk mengenal lebih dalam kondisi keluarga wanita. Tentang bagaimana keadaaan rumahnya, perilaku keluarga, dan ini merupakan kesempatan kedua belah pihak keluarga tersebut untuk saling mengenal.

Biasanya ada dua pilihan cara yang dapat dilakukan dalam prosesi Cah Roet ini, bisa langsung dilakukan oleh orang tua linto ataupun keluarga. Namun, bisa juga diwakili oleh orang kepercayaan pihak linto.

Seiring berjalannya waktu, adat Cah Roet ini semakin melonggar. Pasalnya, perkembangan alat komunikasi yang semakin canggih membuat adat ini sudah mulai ditinggalkan sebagian orang, mereka lebih memilih jalan pintas, dengan alasan kedua belah pihak telah lama saling mengenal.

2. Ba Tanda ( Meminang )

Prosesi selanjutnya adalah Ba Tanda ( meminang ). Pihak Linto biasanya mengutus seorang utusan ( Seulangke ) untuk mengutarakan maksud dari keluarga linto. Dalam prosesi ini, pihak linto biasanya membawa bungong jaroe ( buah tangan ) dalam talam ( baki yang tidak berkaki ) yang didalamnya terdapat beberapa macam bawaan. Sering kita mengenal istilah asoe talam sige treun sapeu. Maksudnya adalah, isi dari bawaan yang dibawa terdapat perlengkapan pakaian satu set lengkap, dari ujung kepala hingga kaki. Juga dilengkapi dengan bawaan lainnya seperti, sirih, kue dan sebagainya.

Pihak wanita juga diberi kesempatan untuk musyawarah, apabila diterima maka pihak wanita akan mengisyaratkan dengan jawaban " InsyaAllah ". Namun bila tidak diterima, akan dijawab dengan istilah " hana get lumpoe " ( mimpi tidak baik), misalnya.

3. Peusijuek ( Tradisi tabur tepung tawar )

Peusijuek merupakan prosesi adat yang sakral. Biasanya peusijuek dilakukan beberapa hari menjelang pernikahan. Peusijuek dilakukan kedua belah pihak di rumah masing-masing. Peusijuek ini melibatkan teungku (ustad) dan sejumlah keluarga maupun masyarakat sekitar. Diawali dengan bacaan-bacaan doa yang dipimpin oleh teungku, hingga kemudian berlanjut dengan keluarga yang melakukan prosesi peusijuek ini pada calon linto baro.

Dalam adat yang satu ini juga mengenal istilah Rah Ule di Jeurat, merupakan proses yang dilakukan untuk meminta izin dari orangtua yang sudah meninggal. Momen ini juga dilakukan oleh linto baro untuk mendoakan orangtuanya yang sudah meninggal. Prosesi ini juga dipimpin oleh seorang teungku ( ustad ).

4. Meugatip ( Pernikahan )

Kebanyakan prosesi meugatip ini dilakukan di rumah mempelai wanita, namun seiring bergantinya zaman, prosesi meugatip kini banyak dilakukan di Masjid-masjid atau di Kantor Urusan Agama ( KUA ). Walaupun demikian, prosesi meugatip tentunya tidak akan terlepas dari yang namanya Jeulamee ( Mahar berupa emas ).

Jeulamee ini berbeda-beda nominal disetiap daerahnya. Aceh Pidie misalnya, kisaran jumlah Jeulamee yang harus dikeluarkan itu bervariatif tergantung kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga. Ada yang menuai kesepakatan pada angka sepuluh hingga lima belas manyam emas. Proses kesepakatan jumlah nominal jeulamee ini biasanya dilakukan pada saat Ba Tanda ( meminang ). Jika sudah satu pikiran, maka prosesi meugatip akan dilaksanakan.

5. Intat Linto ( Mengantar Mempelai Pria Ke Tempat Wanita )

Beberapa hari sebelum prosesi intat linto dilakukan. Keluarga Linto terlebih dulu mengantarkan Breuh Gateng ( Beras ) ke tempat mempelai wanita. Bukan hanya Breuh Gateng saja, juga diselipi dengan uang. Jika jumlah undangan tamu saat prosesi intat linto lumayan banyak, maka banyak juga jumlah nominal uang yang diserahkan pada pihak mempelai wanita.

Saat Prosesi intat linto dilaksanakan. Pihak linto juga harus menyiapkan bungong jaroe yang dikenal dengan istilah idang. Isi dalam idang ini bermacam-macam. Mulai dari makanan hingga perlengkapan pakaian lengkap dengan alat-alat kosmetik. Isi dan banyak tidaknya jumlah idang yang dibawa semuanya kembali pada kebijakan dari pihak linto.

idang yang dibawa oleh mempelai pria untuk mempelai wanita
idang yang dibawa oleh mempelai pria untuk mempelai wanita
6. Jak Tueng Dara Baro 

Prosesi Tueng dara baro dilakukan di rumah mempelai pria. Hampir sama dengan intat linto, cuma yang membedakan adalah idang yang dibawa tidaklah sebanyak yang dibawa saat intat linto. Juga tamu yang dibawa dari pihak dara baro biasanya juga tidak sebanyak saat intat linto. Begitulah kira-kira perbandingan antara acara intat linto dan tueng dara baro.

Inilah beberapa adat perkawinan yang harus dipenuhi di Aceh. Namun, jauh dari itu semua, ada juga masyarakat-masyarakat Aceh yang tidak melakukan semua secara lengkap adat-adat tersebut.

Pasti akan ada anggapan bahwa adat ini bukanlah suatu hal yang harus dipenuhi. Namun, banyak juga masyarakat Aceh yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi dari nilai-nilai adat tersebut. Juga, sudah sepatutnya bagi kita sebagai generasi penerus untuk melestarikan adat-adat yang sudah diwarisi oleh lelehur kita, apalagi adat yang positif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun