Narrated by Alfiah Rizqi Ramdhini, Badan Kesenatoran HMME "Atmosphaira" ITBÂ
"Tidak akan ada mahasiswa ITB yang DO karena masalah kesulitan finansial"
Narasi khas yang dulu sering didengar oleh orang---orang yang saat ini mencoba mencari peruntungan pendidikan di kampus yang katanya milik putra---putri terbaik bangsa. Realitas yang semakin sulit ditelan seiring dengan permasalahan akibat komersialisasi kampus negeri yang dialami kampus---kampus di Indonesia. Kasus pinjol miskonsepsi financial aid hanyalah satu satu dari sekian pucuk permasalahan yang terjadi, khususnya di ITB. Dalam lingkup yang lebih besar, masalah demi masalah terus muncul pada aspek kebijakan kampus di pelosok negeri.Â
Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan,Â
"Akan dibawa kemana arah perguruan tinggi di Indonesia?"Â
Semua berawal pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 88 Tahun 2014 yang mengatur tentang Perguruan Tinggi berbadan Hukum (PTN-BH) yang memberikan tanggung jawab bagi perguruan tinggi yang mampu mandiri untuk dapat menjalankan operasional dari dana nya sendiri. Persentase APBN yang diberikan sebagai dukungan kepada kampus mulai dikurangi, sementara banyak universitas belum cukup mandiri untuk melakukan operasional mandiri secara penuh tanpa dukungan pemerintah.Â
Perlahan, muncul isu sulitnya mendapat UKT yang adil di beberapa kampus. Di ITB, isu UKT ini mulai menyeruak semenjak seleksi penerimaan mahasiswa baru membuka jalur mandiri dan menetapkan UKT yang tinggi dan seragam untuk seluruh mahasiswa. Tak ayal, proses banding UKT pun mulai sulit dilakukan, hingga puncaknya pada kebijakan Financial Aid ITB tahun 2024 yang mewajibkan seluruh mahasiswa yang mendapat keringanan UKT, untuk mendukung tugas administrasi dan implementasi program kerja direktorat dan program studi. Ironisnya, kebijakan ini bahkan keluar tidak lama setelah seruan penolakan pembayaran UKT menggunakan pinjaman online membuat ITB menjadi sorot perhatian. Meskipun setelah isu ini menyeruak, ITB akhirnya membuat klarifikasi dan penyelerasan aturan sehingga aturan tersebut tidak lagi berpotensi menimbulkan miskonsepsi dan menandatangani perjanjian dengan KM ITB untuk memastikan kebijakan selalu berorientasi pada kesejahteraan mahasiswa.Â
Bagi saya, seluruh hal ini menjadi sebuah ironi yang membuat saya takut. Bukan apa-apa, saya tidak bisa membayangkan andai saya terlambat sedikit atau salah strategi ketika saya memutuskan universitas yang saya pilih. Mungkin impian masuk universitas sudah jadi kenangan belaka, mengingat ambruknya kondisi ekonomi yang mungkin gak hanya keluarga saya yang merasakan, tetapi banyak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah lainnya.Â
Mimpi buruk ancaman drop out atau kesulitan mengakses pendidikan akibat UKT yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi sulit dibayar, sulitnya fokus pada akademik karena harus menyeimbangkan kerja part time demi menyambung hidup, menarik diri dari kegiatan yang berpotensi membutuhkan dana yang tidak sedikit menjadi makanan sehari-hari bagi kami yang berjuang dalam ketidakpastian finansial. Hal yang terasa berat yang semakin berat dengan regulasi kampus dan pemerintah yang mencekik.Â
Memang, dahulu saya sering mendengar bahwa perguruan tinggi menjadi salah satu jalan impian dalam mendobrak kemiskinan struktural yang dialami sebuah keluarga. Dalam harapan bahwa anak yang mencicipi pendidikan lebih tinggi dapat mendapatkan kesempatan dan harapan hidup yang lebih baik, meski rasanya hal tersebut kini hanyalah seperti cerita masa lampau. Persaingan dengan sekolah yang berani menawarkan layanan pendidikan lebih baik, bimbel-bimbel yang memberikan perbedaan kontras pada kualitas sekolah negeri di pinggiran kota yang terus mendukung kesenjangan pendidikan. Hal ini akan terus menjadikan tren komersialisasi kampus sesuatu yang tampak normal, hingga mungkin berada pada titik yang ekslusif dan sulit tergapai.Â
Hal tersebut terasa berbanding terbalik ketika kita berbicara mengenai kesejahteraan dosen-dosen di perguruan tinggi. Per tahun 2025 ini, Kementerian yang membawahi perguruan tinggi membuat kebijakan dalam menghilangkan tunjangan kinerja dosen ASN, penghilangan ini masih seiring dengan gaji pokok dosen ASN yang masih kurang layak bagi dosen sehingga mau tidak mau, dosen harus berani riset dan bekerja palugada dalam mengamankan kebutuhan hidup keluarga.Â
Semua permasalahan terjadi tentu memperlihatkan sebuah realitas menarik dalam melihat kampus yang justru tampak tidak berorientasi pada mahasiswa dan dosen sebagai civitas akademik. Hal yang seharusnya menjadi landasan dasar dalam menentukan arah kebijakan kampus dan diperburuk lagi dengan rencana izin konsesi tambang bagi perguruan tinggi sebagai tindak lanjut pengelolaan dana PTN-BH. Permasalahan ini terasa sangat kompleks karena kesalahan tersebut telah dimulai dari akar kebijakan itu sendiri yang menyebabkan efek domino pada implementasinya di lingkup kampus. Perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi Negeri seharusnya menjadi tempat yang inklusif dan sarat akan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang ditunjukkan sejak dalam proses seleksi hingga kebermanfaatannya pada lingkungan.Â
Seperti pada pepatah yang dikenal tertoreh di Plaza Widya Nusantara ITB,Â
"Supaya kampus ini menjadi tempat anak bangsa menimba ilmu, belajar tentang sains, seni, dan teknologi;
Supaya kampus ini menjadi tempat bertanya, dan harus ada jawabnya;
Supaya kehidupan kampus ini membentuk watak dan kepribadian;
Supaya lulusannya bukan saja menjadi pelopor pembangunan, tetapi juga pelopor persatuan dan kesatuan bangsa." -Prof. Wiranto Arismunandar, rektor ITB 1996
Perguruan tinggi harus terus menjaga marwahnya dalam memastikan pendidikan berkualitas bagi anak bangsa. Kualitas yang dapat tercermin melalui mahasiswa dan dosen-dosen serta kemudahan dalam menimba dan menghasilkan riset-riset terbaik yang dapat mendukung kemajuan Negara. Di antara kebijakan pemerintah dan pejabat yang rakus gelar dan kekuasaan, idealisme akademisi dapat menjadi menjadi pengawal kebijakan pemerintah. Namun, akankah idealisme akademisi akan bertahan di bangsa ini?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI