Kutulis buku diari milikku di tengah malam ini dengan perasaan sedih, marah, dan kecewa. Tanpa kusadari air mata sudah mengalir deras di pelupuk mataku.Â
Segala hal yang aku rasakan saat ini kutuliskan kepada buku diari kesayanganku. Rasanya aku ingin malaikat pencabut nyawa segera datang untuk menghampiriku saat itu juga.Â
Setelah menangis cukup lama, akupun tertidur lelap karena mataku sudah sangat lelah menahan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Sebelum tidur, aku hanya bias berharap bahwa hidup yang kujalani serta orangtua yang kumiliki saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk.
"Kring!!! Kring!!! Kring!!!" Suara alarmku pagi ini berbunyi sangat nyaring membuat diriku lagsung bangun. Hari ini adalah hari senin, seperti biasa, aku harus segera bergegas mandi agar tidak terlambat masuk sekolah. Lalu, akupun segera mengenakan seragam putih biruku.Â
Tidak lupa aku mengenakan dasi dengan strip tiga yang menandakan bahwa sekarang aku sedang menginjak kelas 12 SMA. Hal itupun menandakan pula bahwa sebenter lagi aku dan teman-teman seangkatanku akan berjuang memperebutkan kursi di perguruan tinggi.Â
Setelah seragam yang kukenakan terpasang dengan sempurna di tubuhku, akupun beranjak keluar kamar menuju ruang makan untuk segera sarapan.
Ayah dan bundaku ternyata sudah berada di meja makan. Akupun menghampiri mereka dengan muka lesu. "Rama, Kenapa mukamu sangat lesu pagi ini?" Tanya ayahku.
Akupun membalas "Sepertinya aku hanya lelah bergadang, yah." Bundaku pun bergabung dengan obrolan kami.Â
"Wah, anak bunda hebat! Pasti kamu bergadang untuk belajar seleksi masuk perguruan tinggi ya? Pokoknya kamu harus keterima FKUI ya! Bunda yakin kamu pasti bisa!"Â
Ayahku pun membalas. "Betul tuh Rama! Kamu harus bisa seperti ayah! Jadi dokter lulusan universitas terbaik di negeri ini! Karena itu sudah menjadi tradisi dalam keluarga besar kita! Jangan sampai putus di kamu ya!" Akupun hanya mengangguk dengan pelan.
Namaku Rama, kelas 12 SMA Nusantara. Percakapan di meja makan pagi ini adalah percakapan yang sudah sangat sering terjadi. Aku terkadang bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa aku harus lahir dari keluarga keturunan dokter padahal aku sendiri tidak menaruh minat disana.Â
Jangankan ilmu kedokteran itu sendiri, pelajaran ilmu alam lainnya seperti kimia, fisika, maupun biologi pun tidak ada yang kusukai. Sudah berkali-kali aku mencoba untuk menyukai pelajaran-pelajaran tersebut tapi tetap saja tidak bisa.
Sebenarnya aku sangat menaruh minat kepada pelajaran yang berbau ilmu sosial seperti ekonomi, sosiologi, geografi, terlebih lagi sejarah. Namun rasanya menjadi anak IPS dari keluarga keturunan dokter rasanya begitu hina di mata kedua orangtuaku. Saat lulus SMP, aku mengatakan ke orangtuaku bahwa aku ingin masuk peminatan IPS pada saat SMA nanti.Â
Namun mereka hanya mengabaikan keinginanku dan memaksaku untuk tetap masuk peminatan MIPA. Sialnya, nilai UN pada saat SMP milikku berhasil mengantarkanku ke jurusn yang sangat tidak kusukai tersebut.
Tapi entah kenapa, meskipun aku tidak suka ilmu sains. Tetapi saat aku ulangan selalu meraih nilai yang cukup tinggi. Maka dari itu, ayah dan bundaku menaruh harapan yang cukup tinggi kepadaku. Aku sendiri bahkan tidak tahu nilai ulangan yang tinggi tersebut sebenarnya adalah keberuntungan atau justru membawa petaka untukku kedepannya.Â
Tiba-tiba aku tersadar begitu teman sebangku aku, Dhani, memanggilku. "Ram, kenapa bengong doang sih daritadi?" Akupun hanya tersenyum tipis sambil mengatakan apa yang kulamunkan tadi kepada Dhani.Â
Dhani pun mendengarkanku, tetapi beliau tidak memberikan saran apapun karena memang aku sudah menceritakan impianku yang harus terkubur karena kedua orangtuaku itu sebanyak lebih dari sepuluh kali sepertinya.
Bel sekolah berbunyi nyaring menandakan waktu pulang. Namun aku tidak langsung pulang ke rumah, masih ada les persiapan masuk perguruan tinggi sampai jam delapan malam nanti.Â
Begitulah rutinitasku setiap hari sebulan belakangan ini. Aku sangat lelah, stress, dan tertekan Untungnya, seleksi masuk perguruan tinggi itu tinggal seminggu lagi. Begitu ujian seleksi masuk perguruan tinggi itu selesai, aku ingin mengakhiri semuanya.
Seminggu kemudian, aku memasuki ruangan ujian dengan perasaan yang sebenarnya biasa saja. Aku tidak peduli dengan hasilnya. Karena begitu ujian ini selesai, aku akan segera mengakhiri seluruh impian dan ekspektasi orangtuaku terhadapku.Â
Ujianpun berlangsung dari pagi hingga siang. Begitu pengawas ujian mempersilahkan seluruh peserta ujian untuk meninggalkan ruangan, aku segera bergegas pulang.Â
Begitu sampai di rumah, ternyata kedua orangtuaku masih kerja dan belum ada di rumah. Akupun segera ke dapur dan mengambil pisau yang ada. Kugenggam erat pisau tersebut sambal tersenyum karena akhirnya aku bisa mngakhiri ini semua. Kuarahkan pisau tersebut tepat ke arah jantungku dan tiba-tiba semuanya menjadi sangat gelap.
Keesokan harinya...
"Berita hangat pagi ini, seorang siswa kelas 12 ditemukan bunuh diri di rumahnya sendiri. Terdapat pisau yang menancap di dada kiri siswa tersebut. Saat ini, polisi tengah melakukan penyelidikan terkait motif bunuh diri siswa tersebut," Ucap seorang penyiar berita pagi itu.
Dear diary, besok aku akan melaksanakan ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Rasanya aku lega, karena akhirnya besok aku bisa meninggalkan dunia ini tanpa beban.Â
Aku sebenarnya kasian sama ayah dan bundaku tetapi mereka tidak pernah mau mendengar impianku. Aku lelah hidup di dunia ini hanya mengejar impian mereka. Ayah, bunda, aku juga impianku sendiri!Â
Maaf bila selama ini aku sering menyusahkan ayah dan bunda. Maaf bila aku tidak bisa memenuhi impian ayah dan bunda. Tetapi, aku benar-benar sudah lelah untuk hidup di dunia ini. aku selalu berharap ayah dan bunda untuk tetap bahagia ya! Jangan lupa untuk mendoakanku agar tenang disana.
Jakarta, 13 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H