Ajaib, Megawati yang dahulu ditolak karena perempuan sekarang melenggang tanpa pertentangan. Apalagi PPP memperoleh kursi wakil presiden yang sempat tertunda. Cuma PK yang konsisten dengan tidak bergabung ke Kabinet Gotong Royong. Namun sebagai bagian Fraksi Reformasi dimana PAN mengambil jatah menteri, PK tidak bisa serta merta disebut oposisi.
Konsistensi membela kepentingan umat Islam seperti isu Palestina, kemampuan merangkul banyak kalangan mulai Muhammadiyah sampai NU, juga perilaku kadernya yang bersih dari korupsi, membuat suara PK yang kemudian bernama PKS melonjak drastis pada Pemilu 2004. Meski baru mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada pilpres putaran kedua, PKS turut mengantarkan kemenangan Yudhoyono atas petahana Megawati yang kini didampingi KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang tidak lagi mengemong PKB.
PKB yang gagal mengusung kembali Abdurrahman Wahid karena pencalonannya ditolak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengikuti langkah PKS mendukung Yudhoyono pada putaran kedua. Partai bintang sembilan pun menempatkan kader terbaiknya, Ketua Umum Alwi Shihab dan Sekretaris Jenderal Saifullah Yusuf, di Kabinet Indonesia Bersatu. Namun manuver Gus Dur yang susah ditebak malah membuat kedua menteri itu kehilangan jabatan di partai. Gus Dur menempatkan keponakannya, Muhaimin Iskandar, kemudian putri kandungnya, Zannubah Arifah Chofsoh alias Yenny Wahid, di posisi-posisi strategis tersebut.
Kursi panas Ketua Umum PKB terus membara karena Muhaimin yang merapat ke Istana tak lama kemudian juga terpental dari kedudukannya. Langkah zigzag Gus Dur baru terhenti ketika pengadilan memenangkan gugatan kubu Muhaimin bersamaan dengan dimulainya Pemilu 2009. Konflik internal itu menurunkan semangat kader sehingga suara PKB menurun tajam.
Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono yang tak terbendung memporak-porandakan segmen pemilih partai nasionalis dan Islam. Pada periode keduanya, petahana SBY menunjuk teknokrat tak berpartai Boediono sebagai cawapres dan sekali lagi mengalahkan Megawati Soekarnoputri, yang kali ini menggaet mantan menantu Soeharto, Prabowo Subianto, dengan partai barunya, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Sementara itu, PKS yang tetap meraih suara simpatisan mendapat serangan eksternal berupa kecurigaan atas ideologi Islam transnasional yang akan dipaksakan bila partai dakwah ini sampai berkuasa. Padahal yang terjadi PKS kian membuka diri dengan menerima keberagaman umat Islam dan kebinekaan bangsa Indonesia. Upaya menjegal PKS dinilai "berhasil" setelah Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq dikaitkan dengan percobaan suap yang melibatkan orang kepercayaannya dengan pengusaha importir daging sapi. Solidaritas yang kuat menyelamatkan partai ini dari kejatuhan pada Pemilu 2014.
Saat rezim SBY yang berhaluan tengah segera berakhir karena tuntutan konstitusi, muncullah dua kutub ekstrem yang membuat masyarakat Indonesia mulai terpolarisasi. Prabowo Subianto yang disokong partai-partai Islam terutama PKS menampakkan sisi konservatif yang tidak bakal sejalan dengan PDIP yang dianggap kekiri-kirian dan kini mengusung mantan Wali Kota Solo Joko Widodo yang latar belakang keluarganya diragukan sampai diisukan terkait PKI.
PKB yang diajak PDIP berkoalisi agar tetap mendapat simpati massa Islam, sempat menawarkan Muhaimin Iskandar sebagai pasangan Jokowi, namun PDIP lebih sreg dengan Jusuf Kalla yang selain masih terkait dengan NU juga memiliki jaringan luas di luar Jawa. Politik aliran yang sudah bersemi sejak Pemilu 1955 tetapi meredup selama Orde Baru, seakan mengalami de javu saat Pilpres 2014.
Prabowo Subianto yang bersanding dengan Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN yang identik dengan massa Muhammadiyah, unggul di eks basis Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) seperti Jawa Barat dan Sumatera, sementara Jokowi-Jusuf Kalla menang di bekas lumbung Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Nahdlatul Ulama (NU), yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kecemasan akan populisme Islam yang disematkan ke Prabowo membuat daerah-daerah mayoritas nonmuslim melabuhkan pilihan ke Jokowi yang selanjutnya menempati RI-1.
Politik identitas yang berkelindan dengan polarisasi warga mencapai puncaknya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang didukung PDIP dan merasa dekat dengan elite NU membuat blunder dengan ikut mengomentari larangan memilih pemimpin kafir bagi kaum Muslimin. Diksi dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51Â yang diucapkan Ahok memicu kemarahan umat Islam di berbagai daerah. Dengan komando Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab, jutaan orang membanjiri kawasan Monas pada 2 Desember 2016 hingga penghuni Istana di seberangnya gemetar. Polisi pun menetapkan Ahok tersangka penistaan agama.
Dalam kepungan kubu konservatif, Ahok masih mendapat pembelaan dari GP Ansor. Tidak peduli Ahok sempat mengancam Rais Am PBNU KH Maruf Amin saat menjadi saksi yang memberatkannya dalam persidangan. PKB yang pada pilgub ini ikut mengusung Agus Yudhoyono-Silviana Murni, juga beralih mendukung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat di putaran kedua. Namun pengaruh FPI yang lebih kuat dari NU di ibukota telah mengantarkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung PKS dan Partai Gerindra ke Balai Kota Jakarta.