Mohon tunggu...
Muhammad Musleh
Muhammad Musleh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Pejalan

Berpikir dan Melangkah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cak Sapari dan Ludruk yang Tak Boleh Mati

28 September 2022   12:20 Diperbarui: 28 September 2022   19:54 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kematian tokoh protagonis dalam sebuah drama selalu membawa perasaan kehilangan bagi para penontonnya. Meski setelah layar ditutup semua akan menyadari bila semua kejadian itu fiktif belaka. Pemeran tokoh yang meninggal tadi tentu saja masih hidup setelah turun panggung. Bila kita berkesempatan menjumpainya mungkin kita bisa memberikan apresiasi atas aktingnya yang sempurna.

Kamis 15 September 2022 lalu Cak Sapari, legenda hidup ludruk Jawa Timur, meninggal dunia di rumahnya, kawasan Sidomulyo Baru, Surabaya, setelah berjuang melawan penyakit diabetes yang menderanya beberapa tahun terakhir.

Semua orang di dekatnya menangis, terutama Cak Kartolo, rekan seprofesinya dalam grup Kartolo Cs. Kepergian Cak Sapari memang tidak seperti kematian Sakerah atau Sarip Tambak Oso, dua lakon ludruk yang akan 'hidup kembali' pada pementasan berikutnya. Cak Sapari benar-benar meninggalkan kita untuk selamanya.

Kartolo Cs yang mulai manggung tahun 1980-an ialah pembaru ludruk yang dinilai kerap membosankan pada dua dasawarsa sebelumnya. Pemain ludruk tak ubahnya juru penerang pemerintah Orde Baru tentang keberhasilan pembangunan nasional.

Banyaknya grup ludruk yang bernaung ke militer, misalkan Ludruk Marinir Gajahmada, Surabaya, yang pernah diikuti Cak Kartolo yang notabene bukan tentara, menjadikan ludruk kehilangan watak mandiri dan kritis seperti awal kemunculannya.

Sebagai kesenian tradisional, ludruk memang sulit diketahui siapa pencetusnya pertama kali. Namun perkembangannya di Jawa Timur yang jauh dari kultur Mataraman membuat ludruk tampak berbeda dengan ketoprak yang bermula dari pusat kebudayaan Jawa, Surakarta Hadiningrat. Bila ketoprak berkisah mengenai legenda dan kerajaan, dengan tingkat bahasa yang disesuaikan dengan masyarakat di sekitar kraton, cerita dalam ludruk dan bahasa yang digunakan lebih dekat dengan keseharian rakyat jelata.

Karena bersentuhan dengan nasib wong cilik itulah ludruk sering kali menampilkan lakon pembela kawula dari kesewenang-wenangan penguasa seperti Sakerah dari Bangil, Pasuruan, dan Sarip Tambak Oso dari Sidoarjo. Kedua pahlawan lokal melawan kolonialisme Belanda yang terpinggirkan dari sejarah arus utama karena kehidupannya yang berbalut mitos ini tetap lekat di benak banyak orang karena kisahnya kerap direkonstruksi di panggung ludruk.

Karakter bersahaja tapi berprinsip kuat dari ludruk itu rupanya menarik perhatian pendiri Boedi Oetomo, Dokter Soetomo, yang kemudian rutin mengundang Loedroek Organitatie (LO) yang dipimpin Cak Durasim untuk tampil rutin di Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan, Surabaya. Wacana kebangkitan nasional yang semula cuma dikonsumsi segelintir elite kini mudah dicerna semua lapisan sosial.

Serbuan tentara Dai Nippon ke Hindia Belanda awalnya membawa harapan baru bagi perbaikan nasib pribumi. Propaganda 3A (Nippon Tjahaja Asia, Nippon Pelindoeng Asia, dan Nippon Pemimpin Asia) yang digencarkan pemerintah pendudukan Jepang ternyata cuma buat menarik simpati pribumi yang kemudian dieksploitasi sumberdayanya untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya.

Lumbung petani dijarah hingga timbul kelaparan dimana-mana. Tenaga pemuda diperas dalam kerja paksa yang disebut romusha. Menyaksikan semua itu Cak Durasim tergerak melantunkan kidung, "Pagupon omahe doro..melok Nippon tambah soro.." yang membuatnya ditangkap dan disiksa di penjara Kalisosok sampai meninggal dunia.

Kedekatan ludruk dengan rakyat kecil berlanjut di era revolusi. Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) memanfaatkan ludruk untuk propaganda perjuangan kelas. Banyak lakon ludruk yang menyasar kapitalis lokal sebagai setan desa yang harus diganyang, tidak peduli pemilik tanah luas itu kiai yang sebagian di antaranya berasal dari wakaf umat Islam, khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU).

Kebencian pada persona pemimpin agama berbuah sinisme ke ajaran agama itu sendiri. Maka bermunculanlah tajuk pementasan ludruk yang dinilai melecehkan Tuhan seperti Matine Gusti Allah atau Gusti Allah Mantu yang menimbulkan resistensi dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor NU yang tidak bisa berbuat banyak karena ada perlindungan dari aparat negara yang bersimpati ke komunisme.

Puncak ambisi PKI adalah mendukung Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan enam jenderal Angkatan Darat (AD) dan membentuk Dewan Revolusi yang mendemisioner Kabinet Dwikora yang tentu saja ditentang Presiden Sukarno sehingga aksi ini kehilangan legitimasi politiknya sebelum meluas ke daerah.

Kaum santri yang sebelum peristiwa ini meletus selalu siaga menghadapi massa PKI setiap terjadi aksi sepihak, menemukan teman senasib-sepenanggungan, dalam hal ini tentara yang pimpinannya terbunuh, untuk menyerang balik ketika situasi sekarang tidak lagi menguntungkan PKI.

Penangkapan tokoh PKI dan underbouw-nya, termasuk pemain ludruk yang berinduk ke Lekra, tak jarang berujung ke pembantaian massal yang mengantar kengerian massa karena banyak mayat yang dibuang begitu saja di Kali Brantas alih-alih dimakamkan selayaknya masyarakat umum karena anggapan PKI tak beragama.

Selain PKI yang kemudian dilarang Jenderal Soeharto yang mengklaim mendapat mandat Presiden Sukarno untuk menyelamatkan negara melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), ludruk yang dicitrakan sebagai media propaganda PKI juga terkena imbasnya, meski pelarangan ludruk tidak sampai berlarut-larut mengingat manfaat yang mungkin bisa diambil Orde Baru darinya.

Militer yang merupakan penguasa de facto Indonesia pasca Sukarno menjadi patron baru grup ludruk memasuki era baru yang sama sekali berbeda. Bila di zaman penjajahan ludruk berada di barisan pejuang, lalu di masa revolusi bersama komunis melawan kapitalis, kini di dalam kontrol militer mesti mendukung program pemerintah.

Dalam situasi yang membelenggu kreativitas inilah muncul sosok Cak Kartolo yang tuwuk keluar-masuk grup-grup ludruk militeristik tersebut.

Bersama teman-temannya, terutama Cak Sapari, terbentuklah grup Kartolo Cs yang membawa suasana baru karena lawakannya yang dominan, sedikit mirip grup lawak Srimulat yang tengah menguasai panggung Ibukota Jakarta kala itu, hanya saja Kartolo Cs tetap setia dengan pakem ludruk lengkap dengan kidung jula-juli-nya.

Kartolo Cs tetap apolitis meski rezim Orde Baru akhirnya tumbang karena tuntutan reformasi. Ludruk tidak pernah kembali seperti era Cak Durasim yang menentang penguasa, juga tidak mungkin kembali seperti masa Lekra yang membelah bangsa. Mungkin inilah yang membuat ludruk Kartolo Cs bisa bertahan sekian lama. Sampai kabar duka itu datang pertengahan September tahun ini saat punggawa penting Kartolo Cs, Cak Sapari, harus 'turun panggung' untuk selamanya. Cukup Cak Sapari, ludruk tak boleh ikut mati!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun