Mohon tunggu...
Muhammad Mulky Al Haramein
Muhammad Mulky Al Haramein Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi Bersarung

Usaha Tidak Pernah Mengkhianati Hasil

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

KH. Abu Bakar: Ulama Kharismatik Tambun-Bekasi (1907-1957)

7 Januari 2025   21:24 Diperbarui: 7 Januari 2025   21:24 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertepatan umur 26 tahun, Abu Bakar telah mukim di Makkah kurang lebih 12 tahun. Ketika di Makkah. Ia mempunyai guru beberapa guru diantaranya adalah Syaikh Muhammad Yasin Al-Padani, Syaikh Hasan Massat, Syaikh Ahyad Al-Bogori, Syaikh Alie Al-Maliki Al-Makki, dan Syaikh Abid Al-Maliki Al-Makki.

Pada tahun 1933, Abu Bakar kembali ke Indonesia untuk menjalankan ibadah sunnatullah dengan menikahi seorang perempuan Bernama Maemunah binti Saleh. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua anak, yakni Mandu Khaironi (meninggal saat lahir) dan Fachrurazy. Setelah itu, Abu Bakar kembali ke Makkah lagi bersama Istri dan anaknya. Selama tinggal untuk kedua kalinya di Makkah, mereka dikaruniai dua anak lagi, yakni Zarkasyi (meninggal saat masih kecil ketika di Makkah) dan Djamaluddin. Abu Bakar memliki total Sembilan anak, yaitu Mandu Khaironi, Fachrurazy, Zarkasy, Djamaluddin, Masnah, Muhaimin, Robiatul Adawiyah, Muhammad Kahfi, dan Munawaroh. Diantara anaknya yang masih hidup adalah Muhaimin (KH. Muhaimin juga sebagai perintis mendirikan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kabupaten Bekasi, yang kini menjadi salah satu tokoh kyai di daerahnya). Ketika saat Indonesia akan merdeka di tahun 1945, Abu Bakar kembali pulang ke tanah air tercinta Indonesia.

Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), muncul gagasan membentuk laskar atau pasukan bersenjata Hizbullah. Gagasan itu muncul sejak pemerintah pendudukan Jepang memberik pelatihan militer kepada para pemuda Islam di dalam Pembela Tanah Air (PETA). Setibanya di Indonesia, Abu Bakar bergabung bersama KH. Noer Alie (Ujung Harapan), KH. Ma'mun Nawawi (Cibarusah), KH. Muhammad Fudholi (Cikarang), H Darip (Jawara dari Klender, Jakarta Timur), dan lain-lain, berjuang melawan penjajah Belanda di Laskar Hizbullah di wilayah Bekasi dan sekitarnya (Bahar Maksum, dkk, 2017:140-143). 

Bahar Maksum, dkk (2017:144), mengemukkan terkait peninggalan Abu Bakar yakni kisaran tahun 1947-1948, ia memulai merintis di bidang pendidikan dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Al-Khairiyah. Keluarga Abu Bakar juga pernah tinggal di kompleks Yayasan tersebut sebelum akhirnya menetap secara permanen di area belakang Pasar Tambun. Berikutnya, Abu Bakar membangun masjid pertama di Tambun yang dinamakan Masjid At-Taqwa, terletak di dekat Polsek Tambun, di atas tanah wakaf milik H. Yusuf, orang kaya di daerah Tambun. Abu Bakar diberi kepercayaan sebagai Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di masjid tersebut.

 Pendidikan Al-Khairiyah pernah diteruskan sementara oleh anaknya, Fachrurazy. Akan tetapi dikarenakan kesibukan Fachrurazy di Jakarta menjadi Sekretaris Pribadi Menteri Agama, KH. Saifuddin Zuhri pada masa jabatan 1962-1967. Disisi lain pun, anak-anaknya beliau masih kecil, sehingga belum bisa ada yang meneruskan kepemimpinan di pesantren tersebut. Maka pendidikan tersebut diambil alih oleh H. Abdillah (Haji Dilah) dan diteruskan oleh mantunya yang Bernama KH. Dawam Anwar. Selanjutnya, status, legalitas dan nama YPI Al-Khairiyah berubah menjadi YAPINK (Yayasan Perguruan Islam El Nur El Kasysyaf) sejak tahun 1969 yang bertempat di Jl. Sultan Hasnudin 226, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. 

Peninggalan fisik yang masih ada sampai sekarang adalah yayasan dan masjid. Sebenarnya peninggalan KH. Abu Bakar ini mungkin masih ada, seperti rumah, kitabkitab, dll, jika tidak terbakar hangus oleh api. Rumahnya mudah terbakar karena terbuat dari bambu. 

Abu Bakar, Selain berperan dalam memajukan pendidikan di masyarakat melalui yayasan dan masjid di daerahnya, Abu Bakar juga berkontribusi dalam mendirikan organisasi kemasyarakatan muslim di Bekasi, yaitu Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama adalah organisasi Islam tradisional yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari bersama muridnya, KH. Abdul Wahab Hasbullah, pada tahun 1926. KH. Hasyim Asy'ari menjadi pemimpin pertama organisasi ini dan dihormati sebagai Ra'is Akbar atau pemimpin tertinggi.

Bahar Maksum, dkk (2017:145), menjelaskan, bahwa hubungan pertemanan dan persahabatan KH. Abu Bakar dengan tokoh-tokoh nasional seperti KH. A. Wahid Hasyim, KH. Dr. Idham Chalid, serta beberapa kiai lainnya, memperkuat keterlibatannya dalam perjuangan Nahdlatul Ulama (NU). Ikatan ini tidak hanya sekedar hubungan personal, tetapi juga membentuk komitmen kolektif dalam memperjuangkan nilai-nilai keislaman dan keumatan yang diusung oleh NU. Koneksi dengan para tokoh tersebut memperdalam dedikasinya terhadap NU, memperkuat kerjasama dalam pengembangan organisasi, dan menyebarluaskan pengaruh NU di kancah nasional. 

KH. Abu Bakar berperan dalam mendirikan sekaligus menjabat sebagai Ketua Pimpinan Cabang (PC) NU Kabupaten Bekasi. Pada saat yang sama, KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada periode 1952-1953, sementara KH. Dr. Idham Chalid juga pernah menjadi Ketua PBNU dari tahun 1956 hingga 1984.8 Meski tidak ada keterangan pasti mengenai tahun ketika KH. Abu Bakar menjabat sebagai Ketua PC NU, diperkirakan masa jabatannya bertepatan dengan kepemimpinan KH. A. Wahid Hasyim, yaitu sekitar 1952-1953. Pada tahun 1955, KH. Abu Bakar sempat ditawari untuk dilantik menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi dari Partai NU, tetapi ia menolak tawaran tersebut. Menurut KH. Abu Bakar, "jabatan itu merupakan amanat yang berat dan harus dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Karena, takut tidak mampu menjalankan amanat". 

Namun, dari konteks yang dijelaskan diatas, diperkirakan masa jabatannya sebagai Ketua PC NU bertepatan dengan kepemimpinan KH. A. Wahid Hasyim sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1952-1953. Hal ini didukung oleh fakta bahwa pada tahun 1955, KH. Abu Bakar menolak tawaran untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi dari Partai NU, menunjukkan keterlibatannya yang mendalam di NU pada masa-masa tersebut. Maka, kemungkinan besar KH. Abu Bakar menjabat sebagai Ketua PC NU Bekasi sekitar tahun 1952-1953, meskipun tidak ada catatan eksplisit yang menyebutkan tahun secara spesifik.

Bahar Maksum, dkk (2017:145), mengungkapkan, KH. Abu Bakar tidak hanya berperan dalam mengelola dunia pendidikan dan terlibat aktif dalam kegiatan politik, tetapi juga memiliki peran penting sebagai penceramah. Beliau sering kali memberikan ceramah ke berbagai daerah, bahkan berkesempantan ceramah di luar pulau Jawa, yakni di Kalimantan Selatan sehingga pengaruh dakwahnya begitu tersampaikan dirasakan. Salah satu bukti dari pengaruh tersebut adalah muridnya yang bernama K.H Mahfud yang telah mendirikan sebuah pesantren di Amuntai, Kalimantan Selatan. Pesantren ini menjadi salah satu wujud nyata dari penyebaran ajaran dan nilai-nilai yang diajarkan oleh KH. Abu Bakar melalui kegiatan ceramah dan dakwahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun